Bismillah,
Imam Nawawi rahimahullah, yang keilmuannya luar biasa, yang hafalan hadisnya konon lebih dari 350.000, yang tulisannya tak hanya berisi ilmu namun juga dihiasi sastra karena kepiawaian beliau dalam Bahasa Arab, masih rendah hati untuk mnyebut dirinya sebagai pengikut Imam Syafi'i, -rahimahullah-
Dalam artian, ibadah beliau sesuai dengan hasil ijtihad Imam Syafi'i,
Sedangkan ustad-ustad sekarang, yang hafalan Qurannya patah-patah, yang hafalan hadisnya tak lebih dari dua puluh, yang kemampuan Bahasa Arabnya memprihatinkan, malah dengan sombong dan berani mengatakan bahwa pendapat ulama mazhab itu tidak ada gunanya untuk diikuti,
Jika Imam Nawawi saja -yang kecerdasannya seperti saya gambarkan di atas- masih butuh kepada fikih Imam Syafi'i, lalu kenapa ustad-ustad baru ini malah berani sekali bersifat tinggi hati?
Memang, bahwa Al-Quran dan hadis merupakan sumber utama dalam beragama. Namun perlu diketahui pula, bahwa keduanya akan sulit dipahami tanpa keilmuan yang memadai,
Karena keduanya disampaikan dengan sastra tingkat tinggi, juga dengan pilihan kata yang sangat teliti,
Sehingga kita butuh seseorang dengan keilmuan mantap untuk membantu kita mengamalkan dua sumber pokok ini,
Itulah yang dilakukan oleh Para Imam Mazhab -rahimahumullah-, yang mengorbankan waktu mereka untuk mendalami Al-Quran, menghafal ratusan ribu hadis, memantapkan Bahasa Arab selama bertahun-tahun, sehingga mereka bisa menulis mazhab, sebagai intisari praktis yang bisa langsung kita gunakan, tanpa harus bersusah payah lagi,
Jika masih berkeras untuk langsung merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, silakan! Namun pastikan, bahwa Anda sudah hafal Quran, hafal 350.000 hadis, memantapkan Bahasa Arab lisan dan tulisan. Dalam artian, silakan merujuk langsung kepada Quran dan Sunnah jika keilmuan Anda sudah selevel dengan Imam Syafi'i,
Jika Anda tidak mampu, -dan saya rasa zaman sekarang tidak akan ada lagi yang mampu-, maka mazhab yang sudah ada sajalah yang harus diikuti,
Karena keabsahannya terjamin, berabad-abad telah teruji,
Analoginya, jika Seiichiro Honda harus kehilangan kaki untuk menguji motor ciptaannya, haruskah kita juga kehilangan kaki?
Jika para Imam sudah berkorban banyak demi menghasilkan intisari yang bisa langsung kita praktekkan, haruskah kita juga harus mengulang dari nol? padahal hasil yang kita cari sudah ada di depan mata, tinggal diikuti,
Mempelajari fikih melalui salah satu mazhab -terutama mazhab yang empat- adalah hal mutlak, apalagi jika keilmuan kita memang jauh dari kata memadai,
Karena hanya ada dua golongan sombong yang merasa berhak untuk langsung mengambil hukum dari Quran dan Sunnah tanpa ilmu yang cukup ; (kita sama-sama tahulah. Tak perlu saya sebutkan di sini),
Kita yang sadar diri, ambillah jalan yang selamat. Apa itu? Itulah jalan yang sudah dilalui dan dibuka oleh ulama yang keilmuannya teruji,
Kembali lagi ke awal : Jika Imam Nawawi masih butuh merujuk kepada ijtihad Imam Syafi'i, lalu mengapa kita yang lemah ini merasa sombong untuk mampu berijtihad sendiri?
Saya ingin tegaskan, bahwa mazhab fikih yang dibangun para Imam tidaklah dilandaskan pada khayalan. Mazhab tersebut merupakan intisari dari Al-Quran dan hadis yang mereka susun secara sistematis agar kita yang tidak paham Quran dan hadis tetap bisa beramal sesuai dengan petunjuk keduanya. Tolong dipahami, :)
Semoga kita bisa menyadari sejauh mana batas diri,
Semoga kita bisa menghormati ulama, yang merupakan pewaris para Nabi, -Alaihimussalam-
Mohon maaf jika ada kata yang tidak pas serta kekurangan sana-sini,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
Pesan :
- Jika saudara mengikuti majlis ilmu, kemudian ustad pengisi majlis tersebut mulai mengatakan bahwa kita tidak perlu mengikuti Imam Mazhab, maka tolong ingatkan ustad tersebut tentang kerendahhatian seorang Imam Nawawi, dan bagaimana kita harus lebih rendah hati lagi
- Jika berkenan, sebarkan kepada sahabat-sahabat yang memiliki keinginan besar untuk belajar agama : agar mereka belajar dengan cara yang pas dan jalan yang benar, agar hasilnya pun tidak "bagai bunga kembang tak jadi"
Imam Nawawi rahimahullah, yang keilmuannya luar biasa, yang hafalan hadisnya konon lebih dari 350.000, yang tulisannya tak hanya berisi ilmu namun juga dihiasi sastra karena kepiawaian beliau dalam Bahasa Arab, masih rendah hati untuk mnyebut dirinya sebagai pengikut Imam Syafi'i, -rahimahullah-
Dalam artian, ibadah beliau sesuai dengan hasil ijtihad Imam Syafi'i,
Sedangkan ustad-ustad sekarang, yang hafalan Qurannya patah-patah, yang hafalan hadisnya tak lebih dari dua puluh, yang kemampuan Bahasa Arabnya memprihatinkan, malah dengan sombong dan berani mengatakan bahwa pendapat ulama mazhab itu tidak ada gunanya untuk diikuti,
Jika Imam Nawawi saja -yang kecerdasannya seperti saya gambarkan di atas- masih butuh kepada fikih Imam Syafi'i, lalu kenapa ustad-ustad baru ini malah berani sekali bersifat tinggi hati?
Memang, bahwa Al-Quran dan hadis merupakan sumber utama dalam beragama. Namun perlu diketahui pula, bahwa keduanya akan sulit dipahami tanpa keilmuan yang memadai,
Karena keduanya disampaikan dengan sastra tingkat tinggi, juga dengan pilihan kata yang sangat teliti,
Sehingga kita butuh seseorang dengan keilmuan mantap untuk membantu kita mengamalkan dua sumber pokok ini,
Itulah yang dilakukan oleh Para Imam Mazhab -rahimahumullah-, yang mengorbankan waktu mereka untuk mendalami Al-Quran, menghafal ratusan ribu hadis, memantapkan Bahasa Arab selama bertahun-tahun, sehingga mereka bisa menulis mazhab, sebagai intisari praktis yang bisa langsung kita gunakan, tanpa harus bersusah payah lagi,
Jika masih berkeras untuk langsung merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, silakan! Namun pastikan, bahwa Anda sudah hafal Quran, hafal 350.000 hadis, memantapkan Bahasa Arab lisan dan tulisan. Dalam artian, silakan merujuk langsung kepada Quran dan Sunnah jika keilmuan Anda sudah selevel dengan Imam Syafi'i,
Jika Anda tidak mampu, -dan saya rasa zaman sekarang tidak akan ada lagi yang mampu-, maka mazhab yang sudah ada sajalah yang harus diikuti,
Karena keabsahannya terjamin, berabad-abad telah teruji,
Analoginya, jika Seiichiro Honda harus kehilangan kaki untuk menguji motor ciptaannya, haruskah kita juga kehilangan kaki?
Jika para Imam sudah berkorban banyak demi menghasilkan intisari yang bisa langsung kita praktekkan, haruskah kita juga harus mengulang dari nol? padahal hasil yang kita cari sudah ada di depan mata, tinggal diikuti,
Mempelajari fikih melalui salah satu mazhab -terutama mazhab yang empat- adalah hal mutlak, apalagi jika keilmuan kita memang jauh dari kata memadai,
Karena hanya ada dua golongan sombong yang merasa berhak untuk langsung mengambil hukum dari Quran dan Sunnah tanpa ilmu yang cukup ; (kita sama-sama tahulah. Tak perlu saya sebutkan di sini),
Kita yang sadar diri, ambillah jalan yang selamat. Apa itu? Itulah jalan yang sudah dilalui dan dibuka oleh ulama yang keilmuannya teruji,
Kembali lagi ke awal : Jika Imam Nawawi masih butuh merujuk kepada ijtihad Imam Syafi'i, lalu mengapa kita yang lemah ini merasa sombong untuk mampu berijtihad sendiri?
Saya ingin tegaskan, bahwa mazhab fikih yang dibangun para Imam tidaklah dilandaskan pada khayalan. Mazhab tersebut merupakan intisari dari Al-Quran dan hadis yang mereka susun secara sistematis agar kita yang tidak paham Quran dan hadis tetap bisa beramal sesuai dengan petunjuk keduanya. Tolong dipahami, :)
Semoga kita bisa menyadari sejauh mana batas diri,
Semoga kita bisa menghormati ulama, yang merupakan pewaris para Nabi, -Alaihimussalam-
Mohon maaf jika ada kata yang tidak pas serta kekurangan sana-sini,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
Pesan :
- Jika saudara mengikuti majlis ilmu, kemudian ustad pengisi majlis tersebut mulai mengatakan bahwa kita tidak perlu mengikuti Imam Mazhab, maka tolong ingatkan ustad tersebut tentang kerendahhatian seorang Imam Nawawi, dan bagaimana kita harus lebih rendah hati lagi
- Jika berkenan, sebarkan kepada sahabat-sahabat yang memiliki keinginan besar untuk belajar agama : agar mereka belajar dengan cara yang pas dan jalan yang benar, agar hasilnya pun tidak "bagai bunga kembang tak jadi"
No comments:
Post a Comment