Salah satu pengalaman menarik dalam 'talaqi' adalah, saat saya menemukan tiga nasihat berkait dari tiga orang guru berbeda, padahal kitab yang mereka ajarkan tidak sama,
Guru pertama, Syaikh Ahmad Maqdi, dahulu berkata, "Membatasi pendidikan agama menjadi hanya empat tahun (kuliah) hanya akan memperbanyak orang bodoh yang mengaku-ngaku sudah jadi ulama,"
Yap, dengan modal ijazah, namun keilmuannya tidak matang, seseorang sudah merasa berhak memberi fatwa,
Namun saya masih bertanya-tanya, mengapa sistem perkuliahan bisa menghasilkan ulama jadi-jadian seperti ini?
Pertanyaan ini dijawab oleh nasihat Syaikh Fauzi Al-Kunati,
"Penjurusan kuliah dalam sistem pendidikan Islam adalah 'bid'ah' barat. Pendidikan Islam tidak mengenal penjurusan model begini,"
Memang, terkadang, karena adanya jurusan, seorang calon ulama lupa dengan ilmu pokok yang harus mereka kuasai,
Mahasiswa Syariah akan mencukupkan diri dengan 'sedikit' pengetahuan Bahasa Arab dan hafalan hadis, mahasiswa Usuludin akan mencukupkan diri dengan 'sedikit' pengetahuan Bahasa Arab dan fikih, sedangkan mahsiswa Bahasa Arab akan mencukupkan diri dengan 'sedikit' pengetahuan fikih dan hadis, pilih ini cacat di situ, pilih itu cacat di sini,
Ujung-ujungnya yang dihasilkan adalah ulama setengah jadi,
Lalu bagaimana sebenarnya pendidikan yang harus dilalui seorang ulama?
Pertanyaan ini dijawab oleh nasihat Syaikh Salim Al-Khathib, Syaikh Yaman yang sekilas mirip dengan Amitabh Bachan Muda (bahkan lebih tampan, menurut saya :v ),
Beliau berkata, "Pendidikan ilmu agama itu hanya mengenal level. Pertama adalah 'muqallid', yaitu muslim keseluruhan (awam) yang berkewajiban mengikuti hasil ijtihad (penelitian) ulama,"
"Kedua adalah 'mujtahid', ini yang disebut ulama,"
"Mujtahid ini juga ada pembagiannya,"
"Pertama, 'faqih', sama seperti muqallid, namun ia menguasai dan hanya boleh mengeluarkan pendapat sesuai mazhab yang menjadi pegangannya,"
"Kedua adalah 'mufti'. Pada level ini, seorang alim sudah berhak berfatwa,"
"Ketiga adalah mujtahid mutlak. Pada level ini, seorang alim sudah bisa membangun mazhab sendiri. Namun untuk memenuhi syarat keilmuan seorang mujtahid ini susahnya luar biasa,"
Allah!
Ini jawaban yang selama ini saya cari-cari,
Bahwa sudah lama saya merasa, sistem pendidikan moderen memang tak sesuai dengan apa yang seharusnya seorang calon ulama jalani,
Menghasilkan seorang muqallid saja tidak bisa, apalgi mencetak seorang mufti,
Yang ada hanyalah orang yang mencampuradukkan pendapat ulama, mencari yang mudah-mudah saja, para ulama terdahulu tidak dihormati,
Saat terjun ke masyarakat, bukannya membuat perbaikan, malah menambah keruh suasana karena selalu membahas hal khilaf, hal sensitif, tanpa ilmu serta metode dakwah yang memadai,
Maka dari itu, izinkan saya berpesan dari hati ke hati,
Belajar itu bukan untuk gelar, terutama ilmu agama. Niatkanlah belajar itu untuk menjaga warisan Nabi Saw,
Kuliah memang memberi kita wawasan, namun ilmu sesungguhnya hanya akan kita dapatkan jika kita 'menempel' dengan guru, bukan menempel dengan 'kurikulum kejar target ajaran',
Menempel dengan guru, dalam artian kita pindahkan seluruh isi kepala guru tersebut kepada kepala kita, 'copy-paste', begitu kira-kira jika diibaratkan,
Sedangkan menempel dengan kurikulum, ilmu yang kita dapatkan bagaikan mobil oplosan, comot sini comot sana, mujur jika bisa dirakit dengan baik. Jika tidak bagaimana? Apa mau kecelakaan di tengah jalan? Ini yang saya khawatirkan,
Terjawab sudah, mengapa sejak satu abad terakhir, tidak ditemukan lagi ulama sekaliber Said Nursi ataupun Imam Suyuthi, sistemlah yang menghendaki hal demikian,
Makanya saya bersemangat, saat Syaikh Fauzi Al-Kunati menjanjikan akan mengajari kami dengan metode pendidikan yang ditempuh para ulama hebat,
Mudah-mudahan kita bisa istikamah, siapa tahu kita bisa jadi ulama selevel Imam Suyuthi, pencerah sejati bagi umat,
Maaf, terlalu panjang memang untuk sebuah status, namun menuliskannya adalah sebuah amanat,
Bersyukurlah, kita bisa menuntut ilmu di Al-Azhar, sehingga kita bisa mengimbangi kuliah dengan talaqi. Ilmu dapat, wawasan juga dapat,
Semoga para calon ulama paham dengan amanah yang mereka emban, dan semoga nanti, dimanapun berbakti, akan selalu memberi manfaat dan maslahat,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
Guru pertama, Syaikh Ahmad Maqdi, dahulu berkata, "Membatasi pendidikan agama menjadi hanya empat tahun (kuliah) hanya akan memperbanyak orang bodoh yang mengaku-ngaku sudah jadi ulama,"
Yap, dengan modal ijazah, namun keilmuannya tidak matang, seseorang sudah merasa berhak memberi fatwa,
Namun saya masih bertanya-tanya, mengapa sistem perkuliahan bisa menghasilkan ulama jadi-jadian seperti ini?
Pertanyaan ini dijawab oleh nasihat Syaikh Fauzi Al-Kunati,
"Penjurusan kuliah dalam sistem pendidikan Islam adalah 'bid'ah' barat. Pendidikan Islam tidak mengenal penjurusan model begini,"
Memang, terkadang, karena adanya jurusan, seorang calon ulama lupa dengan ilmu pokok yang harus mereka kuasai,
Mahasiswa Syariah akan mencukupkan diri dengan 'sedikit' pengetahuan Bahasa Arab dan hafalan hadis, mahasiswa Usuludin akan mencukupkan diri dengan 'sedikit' pengetahuan Bahasa Arab dan fikih, sedangkan mahsiswa Bahasa Arab akan mencukupkan diri dengan 'sedikit' pengetahuan fikih dan hadis, pilih ini cacat di situ, pilih itu cacat di sini,
Ujung-ujungnya yang dihasilkan adalah ulama setengah jadi,
Lalu bagaimana sebenarnya pendidikan yang harus dilalui seorang ulama?
Pertanyaan ini dijawab oleh nasihat Syaikh Salim Al-Khathib, Syaikh Yaman yang sekilas mirip dengan Amitabh Bachan Muda (bahkan lebih tampan, menurut saya :v ),
Beliau berkata, "Pendidikan ilmu agama itu hanya mengenal level. Pertama adalah 'muqallid', yaitu muslim keseluruhan (awam) yang berkewajiban mengikuti hasil ijtihad (penelitian) ulama,"
"Kedua adalah 'mujtahid', ini yang disebut ulama,"
"Mujtahid ini juga ada pembagiannya,"
"Pertama, 'faqih', sama seperti muqallid, namun ia menguasai dan hanya boleh mengeluarkan pendapat sesuai mazhab yang menjadi pegangannya,"
"Kedua adalah 'mufti'. Pada level ini, seorang alim sudah berhak berfatwa,"
"Ketiga adalah mujtahid mutlak. Pada level ini, seorang alim sudah bisa membangun mazhab sendiri. Namun untuk memenuhi syarat keilmuan seorang mujtahid ini susahnya luar biasa,"
Allah!
Ini jawaban yang selama ini saya cari-cari,
Bahwa sudah lama saya merasa, sistem pendidikan moderen memang tak sesuai dengan apa yang seharusnya seorang calon ulama jalani,
Menghasilkan seorang muqallid saja tidak bisa, apalgi mencetak seorang mufti,
Yang ada hanyalah orang yang mencampuradukkan pendapat ulama, mencari yang mudah-mudah saja, para ulama terdahulu tidak dihormati,
Saat terjun ke masyarakat, bukannya membuat perbaikan, malah menambah keruh suasana karena selalu membahas hal khilaf, hal sensitif, tanpa ilmu serta metode dakwah yang memadai,
Maka dari itu, izinkan saya berpesan dari hati ke hati,
Belajar itu bukan untuk gelar, terutama ilmu agama. Niatkanlah belajar itu untuk menjaga warisan Nabi Saw,
Kuliah memang memberi kita wawasan, namun ilmu sesungguhnya hanya akan kita dapatkan jika kita 'menempel' dengan guru, bukan menempel dengan 'kurikulum kejar target ajaran',
Menempel dengan guru, dalam artian kita pindahkan seluruh isi kepala guru tersebut kepada kepala kita, 'copy-paste', begitu kira-kira jika diibaratkan,
Sedangkan menempel dengan kurikulum, ilmu yang kita dapatkan bagaikan mobil oplosan, comot sini comot sana, mujur jika bisa dirakit dengan baik. Jika tidak bagaimana? Apa mau kecelakaan di tengah jalan? Ini yang saya khawatirkan,
Terjawab sudah, mengapa sejak satu abad terakhir, tidak ditemukan lagi ulama sekaliber Said Nursi ataupun Imam Suyuthi, sistemlah yang menghendaki hal demikian,
Makanya saya bersemangat, saat Syaikh Fauzi Al-Kunati menjanjikan akan mengajari kami dengan metode pendidikan yang ditempuh para ulama hebat,
Mudah-mudahan kita bisa istikamah, siapa tahu kita bisa jadi ulama selevel Imam Suyuthi, pencerah sejati bagi umat,
Maaf, terlalu panjang memang untuk sebuah status, namun menuliskannya adalah sebuah amanat,
Bersyukurlah, kita bisa menuntut ilmu di Al-Azhar, sehingga kita bisa mengimbangi kuliah dengan talaqi. Ilmu dapat, wawasan juga dapat,
Semoga para calon ulama paham dengan amanah yang mereka emban, dan semoga nanti, dimanapun berbakti, akan selalu memberi manfaat dan maslahat,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
No comments:
Post a Comment