Sunday, May 29, 2016

Cerdas dalam Memandang Ikhtilaf Ulama

Dalam memandang hasil ijtihad ulama, sering kita temukan perbedaan-perbedaan, meski tak sedikit pula kita dapatkan kesepakatan,
.
Namun terkadang, perbedaan hasil ijtihad ulama tersebut hanya dalam tataran teks, namun tetap sama dalam penerapan,
.
Contoh, dalam perkara mandi, mayoritas ulama menyimpulkan rukunnya hanya dua : niat, kemudian mengalirkan air ke seluruh badan,

.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa ada rukun tambahan antara niat dan membasuh badan, sehingga rukun mandi menjadi 3. Yaitu : membersihkan segala kotoran keras yang menempel di badan, yang tidak bisa hilang dengan sekali basuhan,
.
Sekilas, dua pendapat tersebut memang berbeda, namun jika ditelisik lebih lanjut dalam prakteknya, maka yang kita temukan adalah kesepakatan,
.
Karena yang menyimpulkan rukun mandi hanya dua pun, tetap mensyaratkan agar setiap kotoran di badan, yang bisa menghalangi air ke kulit, terlebih dahulu dihilangkan,
.
Yang satu menjadikannya rukun, yang satu menjadikannya syarat. Beda redaksi, namun sama pengamalan,
.
Jika kita memandang perbedaan ulama dengan nafsu, tentu perbedaan dan perselisihanlah yang akan kita kedepankan,
.
Bukan hanya menimbulkan perdebatan, bahkan bisa berakhir kekerasan,
.
Namun jika memandang perbedaan ulama dengan akal jernih dan adab mantap, maka memang rahmat yang kita dapatkan,
.
Bahwa sering kali dua hal terlihat berbeda, namun ternyata keduanya sama saat dengan saksama diperhatikan,
.
Masih banyak masalah lain yang hampir mirip dengan permasalahan di atas. Maka untuk bisa memahami masalah tanpa menimbulkan masalah baru, pahamilah dengan nurani sehat yang ingin kebenaran, bukan dengan nafsu yang seringnya ingin menjatuhkan,
.
Semoga adab kita terhadap para ulama tetap terjaga, karena melalui merekalah kita bisa dapatkan apa yang telah Rasulullah Saw wariskan,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Berdakwah Tanpa Menghakimi

Di sebuah pengajian.
.
Seorang dai menyebutkan lafaz hadis berbahasa Arab, kemudian menerjemahkan dan menjelaskannya.
.
“Jadi, di dalam hadisnya Rasulullah Saw menjelaskan bahwa, apabila mati anak Adam, maka terputuslah pahalanya, kecuali tiga; ilmu yang bermanfaat, sedekah jariah dan anak saleh yang mendoakannya. Selain tiga amal itu, semuanya tertolak dan pahalanya tidak sampai kepada si mayat,”

.
“Sehingga, membaca surat Yasin, al-Fatihah, ataupun surat-surat lainnya saat takziah, itu pahalanya tidak akan sampai kepada si mayat. Bahkan melakukan hal tersebut adalah bid’ah, dan tempatnya adalah di neraka!” ujarnya berapi-api.

.
Salah seorang jamaah pun menunjuk tangan, hendak bertanya.
.
“Ustaz! Tadi Ustaz sampaikan bahwa kalau seseorang sudah mati, maka pahalanya tidak akan bertambah, kecuali tiga hal di dalam hadis tadi. Saya jadi mau bertanya Ustaz. Kira-kira, doa untuk si mayat pada salat jenazah itu, pahalanya sampai ke mayat atau tidak?”
.
Si dai pun terdiam.
.
“Andai pahalanya tidak sampai, karena memang tidak termasuk salah satu dari tiga di dalam hadis tadi, berarti salat jenazah yang kita lakukan selama ini sia-sia ya Ustaz? Berarti Nabi sudah memerintahkan ibadah yang sia-sia kepada kita, Ustaz? Kan pahalanya tidak akan bermanfaat bagi si mayat kan?”
.
Si dai kembali diam. Beberapa jamaah mulai bisik-bisik berisik.
.
“Atau mungkin malah Ustaz yang salah memahami hadis tadi, karena salah menerjemahkannya. Di dalam hadis tersebut, Rasul Saw menyebutkan bahwa yang terputus adalah ‘amaluhu’ (amalnya), bukan ajruhu (pahalanya). Nah, kesalahan terjemah ini yang berdampak pada kesalahpahaman memahami hadis tersebut, Ustaz. Karena yang namanya orang mati, ya jelas dia tidak bisa beramal lagi. Kecuali amal yang berdampak panjang, yaitu mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang lain sehingga terus terpakai, menyedekahkan benda bermanfaat sehingga bisa terus digunakan, dan mendidik anak agar jadi saleh sehingga bisa terus mendoakannya. Ini yang dimaksud ‘amal’ di dalam hadis tersebut ustaz, Ustaz. Perbuatan.”
.
Jamaah yang tadi mulai berisik, kini jadi hening.
.
“Kalau masalah pahala, ya itu kan urusannya dengan Allah, Ustaz. Kita kan cukup berusaha agar tabungan pahala kita banyak. Bukan hak kita pula mengatakan bahwa sebuah pahala itu sampai atau tidak. Jadi saya pikir, tak usahlah ustaz mengharamkan orang membaca al-Quran, bahkan sampai membid’ahkannya. Ini akan membuat orang bertanya-tanya, apakah mungkin seseorang diazab di neraka gara-gara membaca Quran?”
.
Si dai mulai terpelongo.
.
“Karena, perlu ustaz ketahui, ulama pun berbeda pendapat mengenai masalah ini. Ada yang mengatakan bahwa pahala bacaan Quran tersebut sampai kepada mayat, ada pula yang mengatakan bahwa pahalanya tidak sampai kepada si mayat. Akan tetapi, ustaz, perlu digarisbawahi, bahwa semua ulama SEPAKAT bahwa YANG MEMBACA QURAN PASTI DAPAT PAHALA. Tidak ada yang mengatakan kalau yang membaca Quran itu akan diazab di neraka,”
.
“Makanya, setelah membaca Quran, kita berdoa agar Allah juga memberikan pahala kepada si mayat sebesar pahala yang Allah berikan kepada si pembaca Quran tadi. Mau Allah kabulkan atau tidak, itu adalah HAK ALLAH, BUKAN HAK KITA SEBAGAI MAKHLUK,”
.
Akhirnya, majlis yang tadi ceramahnya diisi oleh si dai, malah berganti menjadi ta’lim yang diisi oleh salah satu jamaah. Dai yang tertukar. :D
.
***
.
Memang, segala sesuatu dalam beragama harus dikembalikan kepada Quran dan sunah,
.
Akan tetapi, kembali kepada Quran-sunah tanpa pemahaman tepat, ujungnya akan berakhir pada pengamalan salah,
.
Makanya, kembalilah kepada Quran-sunah sesuai dengan pemahaman yang sah,
.
Pemahaman siapa? Ya pemahaman ulama, pewaris Nabi Saw, yang baru akan berani menafsirkan Quran-sunah setelah memantapkan segala ilmu terkait, juga diiringi dengan rasa takut kepada Allah,
.
Jangan turuti penafsiran dengan pendapat pribadi yang tidak didasari keilmuan yang matang. Jangan kira untuk memahami Quran-sunah cukup dengan terjemah. Jangan kira memahami Quran-sunah itu mudah,
.
Lagi, kembalilah kepada para ulama, ulama yang sebenar ulama, yang akan lebih memilih diam dari pada salah,
.
Ah, ya, untuk pada da'i, saat berdakwah, cukup berdakwah. Jangan labelkan sesat, kafir, bahkan penghuni neraka kepada target yang akan kita bina. Boleh jadi nanti efeknya seperti cerita di atas, si dai diskakmat oleh jamaah,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
.
*Cerita hanyalah fiktif belaka
.
*Terinspirasi dari nasihat Syaikh Salim al-Khathib dalam salah satu majlis ilmu beliau
.
*Maaf jika menyinggung hal-hal sensitif. Karena meskipun sensitif, hal ini perlu disampaikan

Sunday, May 22, 2016

Yang Berfatwa Yang Ber'neraka'

Tak bisa dipungkiri, era postmodern dan dampak yang ia bawa tak bisa dbendung. Terutama dari segi membanjirnya informasi, sehingga setiap orang merasa berhak untuk berkomentar dengan akses informasi tadi sebagai dasar hipotesis pendukung. Tak ada lagi istilah ahli bidang ini-itu, karena keahlian akan dibantah dengan data dari website ini-itu. Profesionalisme menjadi buntung.

Komentator-komentator dadakan mungkin akan berpikir matang-matang jika yang ia komentari adalah urusan eksak macam kedokteran maupun konstruksi bangunan. Terang saja, salah komentar, nyawa orang jadi taruhan, bangunan roboh jadi tanggungan. Komentar-komentar asal biasanya hanya akan bercokol pada bidang yang akibatnya tidak akan terlihat secara lahir segera; agama.


Komentar yang berkaitan dengan agama, khususnya hukum, biasanya disebut fatwa. Di dalam Islam, untuk bisa berfatwa, sebenarnya ada aturannya. Hanya orang ‘alim’ lah yang boleh berfatwa.

Dr. Farid Anshari menjelaskan di dalam buku beliau, Mafhûmu’l Âlimiyyah, bahwa untuk menjadi seorang alim, paling tidak ada tiga poin kematangan yang mesti ada ; iman kuat, ilmu padat serta wawasan terkait waktu dan tempat. Jika satu kurang, keulamaan seseorang dianggap cacat. Cacat dalam artian, seseorang yang tidak memenuhi syarat, mencoba-coba untuk ber’fatwa’, ia akan tetap berdosa meskipun ‘fatwa’-nya tadi benar hasinya.

Berbeda dengan orang yang memenuhi syarat. Setelah ia berijtihad, namun fatwanya keliru, ia tetap mendapat satu pahala. Dengan kata lain, mengomentari sesuatu yang berkaitan dengan agama bukan hal main-main. Kabarnya, di ijazah Madrasah Sumatera Thawalib tempoe doeloe tertulis jelas dengan Bahasa Arab, “Siapa yang bermain-main dengan fatwa, berarti ia bermain-main dengan api neraka”. Alamak!

Wajar. Komentar maupun keputusan asal-asalan yang diambil dalam bidang eksak akan langsung terlihat hasilnya. Sedangkan komentar berkaitan agama, hasilnya akan terlihat jauh setelah komentar di keluarkan. Hasilnya nanti akan terlihat bukan di dunia. Mau benar ataupun salah, komentar agama yang dilandaskan pada metode yang cacat, dilakukan oleh persona yang belum memenuhi syarat, maka maaf, hanya dosa yang akan didapat.

Tak heran jika Imam Malik, seorang mujtahid terkemuka di masanya tak merasa gengsi untuk mengatakan ‘saya tidak tahu’ untuk 36 dari 40 pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Lebih baik mengaku tidak tahu dari pada fatwa yang dihasilkan hanya fatwa kacau.

Bandingkan dengan komentator-komentator dadakan kini, yang keilmuannya tak sampai seperseratus ilmu Imam Malik. Namun kecepatan tanggap serta sambaran lidahnya untuk setiap masalah begitu mencengangkan, karena memang tidak didahului proses ijtihad dan pengkajian yang baik. Niatnya mau memberi pencerahan, namun ujungnya malah diri ke neraka tertarik.

Lalu apa saja keilmuan yang harus dikuasai agar bisa berfatwa?

Dr. Farid Anshari menjelaskan, keilmuan yang harus dikuasai untuk bisa menjadi seorang alim mencakup 3 hal. Pertama adalah ilmu yang berkaitan dengan wahyu; al-Quran dan hadis. Minimal, seorang alim harus menghafal sepertiga awal al-Quran yang rata-rata memang berkaitan dengan hukum, dan untuk hadis, beliau tidak mensyaratkan jumlah, meskipun beliau tetap tekankan untuk menghafal hadis-hadis hukum sebanyak-banyaknya. Mungkin rekomendasi Dr. Salim al-Khathib bisa dijadikan penjelas, bahwa sebaiknya seorang alim menghafal kitab Bulûghu’l Marâm.

Kedua, berkaitan dengan ilmu Bahasa Arab, bahasa yang dengannya diturunkan syariat. Bahasa Arab di sini tidak cukup menguasai nahu-sharaf, namun banyak cabang lain seperti ilmu bayân, ma’âni, ‘arûdh dan lainnya, sehingga Bahasa Arab bukan sekedar menjadi bahasa yang ‘dibisai’, namun memang benar-benar di-ahli-i, lisan dan tulisan.

Ketiga, berkaitan dengan modal pemahaman serta ilmu analisis dalil yang dimiliki. Mencakup ilmu al-Quran, ilmu mushthalah hadis, fikih, usul fikih, mantik, akidah serta tasawuf.

Keempat, yang paling penting, adalah fiqhu’l wâqi’ alias pengetahuan yang berkaitan dengan keadaan sesuatu yang akan dikomentari. Mau mantap semua syarat yang tiga di atas, jika tidak punya pengetahuan tentang sikon ketupat (situasi, kondisi, keadaan, waktu dan tempat –meminjam istilah Buya Deswandi), maka fatwa yang dihasilkan nantinya bisa jadi cacat.

Jika dokter saja yang mengurus penyakit dunia mesti memenuhi persyaratan yang luar biasa susah, apatah lagi ulama yang mengurus penyakit akhirat. Dunia bersifat fana, bertahan sementara, sedangkan akhirat bersifat baka, bertahan selama-lamanya.

Jika sahabat menemukan pribadi yang mengaku-ngaku mampu berfatwa tanpa ilmu dasar yang memadai, ingatkan kembali apa yang ada di ijazah Parabek dahulu, “Bermain-main dengan fatwa, bermain-main dengan api neraka,”. Wallahu a’lam.

Apakah Ibadah Anda Sudah Benar?

Ternyata orang yang tidak fasih membaca al-Fatihah, shalatnya tidak sah,
.
Ternyata orang yang menunda mengganti puasa Ramadannya yang batal sehingga sampai pula Ramadan berikutnya, harus mengganti puasa ditambah membayar denda berupa fidyah,
.
Ternyata masih banyak muslimah yang masih tidak mampu, ada juga yang salah paham dalam membedakan haid, nifas dan istihadhah,
.
Ternyata ada kesalahan kita selama ini dalam memilih panitia pengumpulan zakat mal dan zakat fitrah,
.

Ternyata, ternyata, ternyata...
.
***
.
Andai umat tahu bahwa penyakit akhirat ini lebih berbahaya dari pada penyakit dunia, tentu mereka akan berlomba-lomba untuk 'berobat' dan berkonsultasi kepada ulama terkait syariah,
.
Karena penyakit dunia, paling parah hanya berujung kematian. Sedangkan penyakit akhirat akan kekal selamanya. Dan bagaimana jadinya jika kekekalan itu dihabiskan di neraka paling bawah?
.
Tak ada istilahnya, "Saya tidak tahu, tentu saya dimaafkan," Karena ada perbedaan besar antara 'TIDAK TAHU' dan 'TIDAK BERUSAHA mencari tahu'. Yang satu benar, yang satu salah,
.
Bagaimana mungkin seseorang masih mengaku tidak tahu, padahal di sekelilingnya ulama banyak memberikan petuah?
.
Kalaupun ada ulama yang tidak memberikan pendidikan agama secara detail di masjid, datangilah mereka ke rumah,
.
Anggap ia dokter, dan Anda pasiennya. Hanya saja, penyakit yang diurus ulama adalah penyakit terkait akhlak, akidah, dan ibadah,
.
Urusan agama jangan dianggap enteng. Jangan sekali-kali terlintas di pikiran bahwa, 'Allah Maha Pengampun' sebagai dalih untuk membela kemalasan diri, sehingga lupa bahwa 'Yang Maha Pedih Azabnya' juga merupakan salah satu sifat Allah,
.
Ukur kapasitas pribadi. Sudah sejauh mana sahnya salat saya? Apakah puasa saya sudah benar? Apakah zakat saya sudah pas? Tanyakan kepada ulama, agar ibadah yang kita lakukan sah dan terarah,
.
Malu bertanya sesat di jalan. Jangan sampai kita tersesat dari agama yang lurus, padahal untuk bertanya kepada ulama sangat-sangat mudah,
.
Pun juga kepada para ustaz-alim-ulama. Berilah kajian berkesinambungan di masjid dan surau, terkait ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu 'ain, dan juga bersumber kepada kitab-kitab muktabar. Jangan lagi berikan umat kajian usul fikih maupuan mustalah hadis, karena ilmu seperti ini hukum mempelajarinya fardhu kifayah,
.
Letakkan sesuatu pada tempatnya. Ketahui kebutuhan dan kemampuan jamaah,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Waspadai Guru Kurang Ajar

Salah satu KESALAHAN TERBESAR orang tua adalah 'terlalu' percaya kepada guru dalam mendidik anaknya,
.
Pikir mereka, semua guru adalah makhluk sempurna tanpa cela,
.
Tak peduli siapa yang mendidik anaknya, yang penting uang sekolah dibayar tiap bulan, baju seragam anaknya diganti tiap tahun, tak lupa memberi jajan serta subsidi pulsa,
.
Materi materi materi,
.
Kualitas guru tak lagi diperhatikan,
.
Mau guru pintar ataupun tak becus mengajar, yang orang tua ingin tahu hanyalah anaknya lulus ujian,
.
Keadaan macam ini nanti tidak hanya akan mencetak anak (mungkin) pintar namun kurang ajar, pun akan membentuk guru nakal berkarakter asal-asalan,
.
Yaitu guru yang mengajar sangat kurang, memberi tugas sangat banyak, kemudian saat melihat murid-muridnya kewalahan, ia akan berkata, "Kalau kalian kesulitan, mari belajar ke rumah ibu-bapak guru, tapi tentu dengan BIAYA TAMBAHAN!"
.
Ada lagi guru yang sudah merasa berada di zona nyaman, gaji diterima tiap bulan, tanpa sekalipun ada laporan pertanggungjawaban. Sehingga di sekolah, karena merasa tak akan ada yang protes, ia bebas saja membentak dan menghardik murinya, yang masih SD, masih ingusan. Tak jarang melakukan kekerasan,
.
Lebih parah lagi, ada oknum guru yang ketahuan berselingkuh sesama guru, tetapi oleh Kementerian Pendidikan masih saja dipertahankan!!
.
Andai saja orang tua lebih peduli, memperhatikan, serta berani bersuara-mengambil tindakan, hal ini tentu tak akan terjadi. Tak akan ada guru nakal pemeras murid dengan dalih 'pelajaran tambahan'. Tak akan ada guru bermulut kasar yang hobi membentak dan tak berakhlak. Tak akan ada guru pendosa yang merasa aman,
.
Ayah, bunda, sudah sejauh mana ayah-bunda nilai kualitas guru yang mengajar anak-anak? Atau jangan-jangan ayah-bunda tidak kenal, bahkan mungkin juga tak pernah berjumpa dengan mereka?
.
Karena mendidik anak adalah kewajiban orang tua. Jika kewajiban orang tua tersebut dipercayakan kepada oknum tak becus, berarti kewajiban tadi belum gugur. Dan kewajiban yang tak dijalankan akan berbuah dosa,
.
Kenali guru-guru mereka, pastikan bahwa guru-guru tersebut memang pribadi cerdas, berkualitas, serta baik akhlaknya,
.
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Jangan harap anak-anak menjadi pribadi saleh dan pintar, jika ayah-bunda percayakan kepada guru yang tidak jelas kualitasnya,
.
Mudah saja; pantau apa saja yang didapat anak setiap hari, pantau keadaan guru di sekolahnya setiap pekan, dan kalau memang perlu tindakan, ajak orang tua lain untuk berkonsultasi dengan kepala sekolah jika ada hal yang tidak sesuai, agar bisa diperbaiki keadaannya,
.
Mohon maaf, saya memang belum menjadi orang tua. Masih bujang. Namun izinkan saya memberi nasihat, paling tidak sebagai pendidik, pun juga sebagai pribadi yang dibesarkan di tengah keluarga pendidik. Mudah-mudahan ada manfaatnya,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Calon Ibu Harus Cerdas -_^

Wanita yang bercita-cita untuk jadi ibu rumah tangga, sekolah pertama dan terbaik bagi anak-anaknya memang harus cerdas dan berpendidikan,
.
Apa lagi bagi laki-laki yang akan menjadi imam dengan segala tanggung jawab yang mesti ia emban,
.
Namun jika menganggap kecerdasan dan keberpendidikan hanya sebatas pada bangku sekolah maupun kuliah, itu merupakan satu bentuk kebodohan,
.

Karena belajar itu bisa dimana dan dari mana saja. Kursus keterampilan, majlis taklim, bersilaturahim dengan pakar, apapun itu asal bisa menambah pengetahuan,
.
Alam takambang manjadi guru. Bukankah banyak contoh ilmu yang didapat dari alam? Mulai dari ilmu silat harimau Minang bahkan hukum gravitasi pun ditemukan karena merenung dari alam. Bukan dari bangku sekolahan,
.
Andai Issaac Newton dipaksa untuk sekolah dengan sistem kini, entah hukum gravitasi akan ditemukan,
.
Andai Mark Zuckerberg dipaksa untuk menyelesaikan kuliahnya, entah apakah facebook tetap bisa kita gunakan,
.
Bill Gates, bahkan Buya Hamka pun tidak mengenyam bangku kuliah. Namun apakah kita akan katakan bahwa mereka tidak berpendidikan?
.
Coba lihat sekeliling. Betapa banyak sarjana, bahkan master, namun berapa sih, yang benar-benar bisa disebut terdidik? Betapa banyak yang lakunya seperti kebanyakan wakil rakyat kita di Senayan? Yang berlagak intelek namun isinya ringan?
.
Bukan, berpendidikan tidak dinilai dari apa strata yang didapat dari bangku kuliah. Berpendidikan itu dilihat dari sejauh mana ilmu yang didapat itu bermanfaat bagi orang lain. Tidak hanya disimpan, ijazahnya dipajang, ilmunya dilupakan,
.
Jadi jangan berkecil hati bagi ibu, kawan, atau siapapun yang tidak bisa mengecap bangku kuliah. Karena bukan gelar akademis yang menandakan kita berpendidikan,
.
Tetaplah belajar dari buaian sampai ruh meninggalkan badan. Belajar dari kawan hingga bahkan koran. Kemudian berikan dan gunakan ilmu yang kita punya untuk kebaikan,
.
Alhamdulillah, ibu saya, meski beliau tidak sarjana, ia adalah wanita paling cerdas dalam pandangan saya. Ia sukses menjadi istri yang taat pada suami, menjadi ibu yang sabar mengasuh anak, menjadi guru SD yang beberapa kali menyabet penghargaan guru teladan,
.
Coba lihat ibu masing-masing kita. Boleh jadi mereka bukan sarjana, bukan master, bukan profesor, bahkan mungkin ada yang tidak mengecap sekolah. Namun beliau-beliau bukanlah wanita tidak berpendidikan. Mereka adalah para wanita cerdas, dan kita anak-anak mereka adalah bukti bahwa meski bukan sarjana, mereka patut mendapat tanda jasa serta penghargaan,
.
Semoga kepada mereka, rahmat, taufik serta hidayah selalu Allah limpahkan,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
.
kalau ada yang bilang, 'Zaman sudah berubah. Kini gelar akademis adalah segalanya, tak peduli ilmu di kepala sedalam Palung Mariana,'
.
Jawab, 'Apakah Mark Zuckerberg dan Bill Gates hidup di masa lalu?'

Wanita Pendaki Gunung Itu...

J : Ustaz, apa hukumnya perempuan mendaki gunung?
.
U : Hadis riwayat Imam Bukhari, "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berjalan sehari semalam jika tidak ditemani mahramnya ataupun suaminya."
.
Imam mazhab yang empat sepakat, bahwa hadis ini menjadi landasan hukum haramnya wanita melakukan perjalanan tanpa suami ataupun mahram. Baik perjalanan tersebut panjang maupun pendek. Asal sudah keluar kampung, sudah berbeda masjid untuk jumatannya, maka wanita wajib ditemani mahram atau suami.
.


Ulama kontemporer ada yang membolehkan wanita berjalan sendiri, dengan syarat ia menggunakan jasa transportasi terpercaya dan dijamin keamanannya. Akan tetapi, pendapat ini tidak disandarkan pada pendapat imam mujtahid.
.
Kalau mendaki gunung? Ya boleh, tapi dengan syarat tadi : bahwa si wanita harus ditemani suami atau mahram. Suami atau mahram pun haruslah kuat dan terpercaya, jika tidak, makruh hukumnya. Ditakutkan keselamatan si wanita terancam.
.
Apalagi saat mendaki gunung, terkadang ada kondisi dimana sebagian pendaki butuh dipapah, bahkan digendong oleh pendaki lainnya. Bahkan, saat ada pendaki yang suhu tubuhnya menurun drastis, ia harus dipeluk beramai-ramai oleh pendaki lainnya. Bagaimana mungkin seorang wanita muslimah yang taat akan melakukan hal ini? Makanya, kembali ke syarat tadi: harus ada mahram atau suami.
.
Begini lho, jangankan untuk mendaki gunung. Untuk pergi umrah saja, wanita wajib ditemani mahram. Wallahu a'lam.
.
J : Ustaz, lalu bagaimana dengan wanita yang melakukan perjalanan sendirian untuk menuntut ilmu ke kota lain? Bukankah itu boleh?
.
U : Lho? Siapa yang mengatakan boleh?
.
J : Hmmm, hmmm.. Lalu bagaimana hukumnya Ustaz?
.
U : Untuk wanita yang melakukan perjalanan ke kota lain untuk menuntut ilmu ataupun hal lainnya, maka ini adalah masalah bertingkat.
.
Pertama, hukum wanita berjalan sendirian tanpa mahram. Kedua, hukum wanita bermukim sendiri di daerah asing yang jauh dari keluarga.
.
Untuk hukum berjalan, tadi sudah disampaikan, bahwa hukumnya haram kecuali ditemani oleh suami maupun mahram, sesuai kesepakatan Imam Mazhab yang 4 berdasarkan hadis sahih riwayat Imam Bukhari.
.
Untuk bermukim di daerah asing tanpa suami atau mahram, hukum aslinya adalah boleh. Akan tetapi, jika tempat tinggal si wanita tidak aman, maka hendaknya ia ditemani oleh mahram maupun suaminya.
.
Dengan kondisi saat ini, tempat tinggal yang aman bisa jadi adalah asrama. Yang tidak aman adalah tempat kos-kosan, kecuali kos-kosan tersebut punya sistem keamanan yang baik dan punya aturan ketat tentang membawa kawan lawan jenis. Kapan perlu, kos-kosan tersebut mesti punya satpam. Wallahu a'lam.
.
J : Lalu kalau wanita tidak boleh berjalan sendiri, namun boleh bermukim sendiri di tempat asing, bagaimana solusinya ustaz?
.
U : Solusinya, si wanita harus dijemput dan diantar jika hendak melakukan perjalanan. saat sudah sampai di tujuan, maka baru si wanita boleh ditinggal, karena keadaannya sudah aman.
.
Oh iya, tambahan. Jika si wanita 'maksa' untuk melakukan perjalanan tanpa ditemani mahram ataupun suami, maka ia tidak boleh menjamak dan mengqashar salat. Ia pun tidak boleh membatalkan puasa.
.
Karena perjalanan yang ia lakukan tersebut hukumnya haram, dan melakukan hal haram adalah maksiat. Dan kemudahan dalam agama seperti jamak dan qashar shalat serta kebolehan membatakkan puasa hanya diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perjalanan yang dibolehkan agama, bukan perjalanan maksiat.
.
J : Wah, saya sudah berkali-kali melakukan perjalanan macam itu ustaz, dan setiap berjalan, saya selalu menjamak dan mengqashar salat saya.
.
U : Berarti salat-salat tersebut harus diganti, karena tidak sah. Wallahu a'lam.
.
***
.
Dikembangkan dari penjelasan Syaikh Salim Al-Khathib di majlis beliau kemarin sore.
.
***
.
Sudah cukup rasanya kita disuguhi catatan kriminal terhadap wanita karena berjalan sendirian,
.
Pembegalan, perampokan, pencopetan, bahkan pelecehan seksual pun, wanita banyak menjadi korban,
.
Jika yang hilang adalah harta, maka gampang mencari gantinya. Namun jika yang hilang adalah kehormatan?
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Menghidupkan Kembali Pendidikan Berbasis Surau

Ini tentang sistem yang telah mencetak tokoh hebat semacam Buya HAMKA, Bung Hatta, H. Agus Salim, H. Ghafar Ismail, Syaikhah Rahmah Al-Yunusiyah, Hj. Rasuna Said, Tan Malaka dan tokoh hebat lainnya,
.
Dulu anak-anak Minang di siang hari membantu orang tua ke sawah, belajar bertani serta belajar 'leadership' dengan menggembala,
.
Sekarang anak-anak Minang di siang hari pergi sekolah, bermain kelereng (mungkin juga main di warnet dan tempat rental PS) dan belanja,
.
Dulu anak-anak Minang di malam hari langsung ke surau untuk salat berjamaah, belajar mengaji, fikih, akidah, serta tasawuf dan akhlak,
.
Sekarang anak-anak Minang di malam hari sibuk mengganti siaran tivi, matanya terpaku pada tayangan yang kebanyakan tidak layak,
.

Dulu anak-anak lelaki Minang di surau belajar silat, yang karena diiringi pendidikan spiritual lewat tasawuf dan akhlak, ia sadar bahwa kemampuan silatnya hanya boleh digunakan untuk kebaikan,
.
Kini anak-anak Minang belajar banyak jenis bela diri, tanpa diiringi pendidikan spiritual. Tak heran jika kemampuan yang ia punya digunakan untuk sesuatu yang bukan-bukan,
.
Dulu permainan anak-anak Minang bernilai sosial tinggi semacam semba lakon dan taleon,
.
Kini permainan anak-anak Minang 'terkesan' egois macam game online ataupun playstation,
.
Dulu wanita Minang, apapun profesinya, tetap terampil menenun, menjahit apalagi sekedar memasak,
.
Kini wanita Minang merasa gengsi mengurus rumah tangga. Ia serahkan kepada pembantu untuk bersih-bersih dan masak, ia serahkan kepada baby sitter urusan mengasuh anak,
.
Dulu remaja Minang akan pergi merantau, mencari induk semang, kemudian bekerja sambil belajar terus menerus, mengasah potensi diri,
.
Sekarang remaja Minang banyak yang belajar merokok di sekolah, pacaran di sekolah, bertukar video yang bukan-bukan di sekolah, bahkan ada yang sampai mengenal shabu dan ekstasi,
.
Dulu antara orang tua dan anak terdapat komunikasi intens dan keterbukaan,
.
Kini anak-anak pergi jam 7 pulang jam 5. Sesampainya di rumah lelah, malamnya sibuk membuat PR. Hari liburnya masih membuat PR jika tidak balas dendam dengan berfoya-foya. Tak ada cerita membantu orang tua. Hubungan orang tua dan anak hanya sebatas membayar uang sekolah dan memberi jajan,
.
Sekarang tahu kan bedanya, mengapa dahulu banyak tokoh hebat dari ranah Minang, sedangkan sekarang tidak seberapa?
.
Sekarang tahu kan, bahwa bukan darah Minang yang membuat tokoh-tokoh dahulu hebat, namun karena sistem yang menempa mereka?
.
Bahwa generasi Minang dahulu dididik dengan pendidikan berbasis surau (masjid), yang menempa intelektual, emosional dan spiritual, bahkan juga melatih fisik dengan silat,
.
Generasi dulu sudah pintar, saleh, tahu adab dan adat, pintar silat pula,
.
Generasi sekarang; yang saleh,saleh saja. Yang pintar, pintar saja. Yang tahu adat, tahu adat saja. Yang pintar silat, pintar silat saja. Jarang ada yang merangkum semuanya,
.
Apapun profesinya, dokterkah, politikuskah, ilmuankah, ulamakah, semua generasi Minang dahulu tetap ditempa di surau sehingga menjadi generasi luar biasa,
.
Bahkan, lelaki Minang dahulu akan dianggap banci jika tidak tidur di surau. Dianggap masih manja berlindung di ketiak orang tua,
.
Sudah saatnya kita kembalikan kejayaan pendidikan berbasis surau agar generasi emas bisa bangkit kembali,
.
Bahwa Surau dalam sistem adat Minangkabau bukan hanya tempat Shalat, namun juga pusat pendidikan intelektual dan mental serta pusat pelatihan bela diri,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Jangan Mengacak 'Ladang' Orang

Setiap kita dituntut untuk sehat, namun tidak semua kita dituntut untuk menjadi dokter yang ahli ilmu kesehatan,
.
Setiap kita dituntut untuk punya tempat tinggal (papan), namun tidak semua kita dituntut untuk menjadi arsitek yang ahli ilmu bangunan,
.
Semua kita dituntut untuk beragama, namun tidak semua kita dituntut untuk menjadi ulama yang ahli ilmu keagamaan,
.
Yang ingin sehat, tak perlu jadi dokter. Cukup ikuti apa yang dokter sarankan,

.
Yang ingin punya rumah, tak perlu jadi arsitek. Cukup ikuti apa yang arsitek dirikan,
.
Yang ingin beragama, tak perlu jadi ulama. Cukup ikuti apa yang ulama ajarkan,
.
Begini caranya menghargai setiap orang di bidang yang ia dalami. Yang dokter jangan sok tahu bangunan. Yang ulama jangan sok tahu kesehatan. Yang arsitek jangan sok tahu keagamaan,
.
Menyadari kapasitas diri adalah kuncinya. Merasa bisa di segala bidang adalah awal dari kehancuran,
.
Lagi,
.
Saat dokter menulis resep obat, cukup terima, beli obatnya, konsumsi dengan teratur. Jangan tanya lagi, "Sakit ini kok obatnya ini dok? Apa reaksinya terhadap penyakit? Alasan?"
.
Saat arsitek membangunkan rumah, cukup terima, jangan tanya lagi, "Ini kok kemiringan tangganya segini Gan? Penjelasan?"
.
Saat ulama memberikan pelajaran, cukup terima, jangan tanya lagi, "Ini dalilnya apa ustaz? Adakah dari sunnah ataupun Quran?"
.
Karena bertanya (atau mempertanyakan) itu adalah tindakan meragukan. Dan meragukan orang yang memang ahli di bidangnya adalah sebuah penghinaan,
.
Padahal dokter, arsitek dan ulama sudah menghabiskan banyak waktu untuk mendalami bidangnya, dan semua yang mereka sampaikan pasti punya sandaran kuat serta rujukan,
.
Namun, sandaran dan rujukan itu cukup mereka yang tahu. Sedangkan selain mereka, cukup menerima, karena diberi tahu pun, bisa jadi orang lain tak paham, bisa jadi malah sok paham sehingga berlagak jadi dokter, berlagak jadi arsitek, berlagak jadi ulama. Ini yang kita khawatirkan,
.
Karena Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah mencintai; apabila kalian bekerja secara profesional," (Hadis sahih dari Siti Aisyah RA, Imam Thabrani yang meriwayatkan)
.
Ah, ya! Pastikan dokter Anda, arsitek Anda dan ustaz Anda memang pribadi berkompeten, bukan gadungan, sehingga hasil kerja dan hasil katanya memang bisa dipertanggungjawabkan,
.
Semoga kita bisa paham posisi, sadar kapasitas diri, menghargai setiap tokoh di bidangnya masing-masing dan memperbaiki kualitas pribadi di bidang yang kita geluti. Mantapkan!
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
.
Saran untuk ustaz-ustaz yang dipercaya mengisi kajian : Tolong cukup berikan jamaah cara beragama, jangan ajarkan mereka ilmu agama jika hanya sekedar tanggung sini tanggung sana.
Bahaya. Nanti yang muncul malah jamaah yang merasa diri bisa berfatwa.

Mohon dibedakan antara membentuk jamaah yang beragama dengan membentuk jamaah yang berilmu agama.

Jika ingin membentuk pribadi yang berilmu agama, ajarkanlah ilmu agama tersebut di pondok pesantren dengan metode yang benar -> sistematis dan berkesinambungan.

Beragama Jangan Membuat Rusuh

Dulu, waktu saya kelas satu aliyah, saya sempat menjadi pribadi yang suka menganggap ini haram dan menghukumi itu bid'ah,
.
Suatu ketika, saat sedang duduk-duduk dengan Uda Yunal Isra dan Uda Yazid 'ejieb', saya mencoba beropini, "Menurut habib, doa bersama itu bid'ah, Da. Karena, melakukan hal itu saja Nabi Saw tidak pernah,"
.
Da Yunal tersenyum sejenak, kemudian menjawab, "Dari mana Habib tahu kalau Nabi Saw tidak pernah berdoa bersama? Memangnya sudah berapa hadis yang Habib hafal? Sudah berapa kitab hadis yang Habib telaah?"
.

Jleb! Saya diskakmat dengan jawaban singkat. Tiba-tiba saya merasa bersalah,
.
***
.
Kini baru saya sadar, bahwa ternyata praktek doa bersama itu ada di zaman Nabi, terutama saat keadaan mendesak, seperti doa qunut dan doa salat istisqa', karena yang berdoa dan yang mengaminkan punya keinginan yang sama. Semakin saleh yang berdoa, semakin banyak yang mengaminkan, harapannya doa tersebut cepat dikabulkan Allah,
.
Itu mungkin titik awal saya merenung; dengan pengetahuan yang sedikit, kenapa saya begitu mudah mengatakan ini salah,itu haram? Saya jadi paham, bahwa agama itu lapang, jangan dipersempit, jangan pula diperlapang. Agama bukan kekang, namun adalah ajaran santun dan indah,
.
Saya jadi paham, bahwa dalam ibadah, terdapat banyak perbedaan pendapat, dan tidak ada pendapat yang salah (selama disandarkan kepada hujjah serta 'Imam Mujtahid' yang diakui ilmunya). Yang salah adalah yang menyalahkan. Alhamdulillah,
.
***
.
Itu cerita saya, namun kini, ternyata kesalahan saya dahulu dilakukan oleh oknum-oknum ustaz yang seharusnya menjadi penerang, bukan penyebab perpecahan,
.
Seperti saat hari raya kemarin, baru saya tahu ternyata sudah banyak masjid yang tidak lagi takbiran setelah salat, dengan alasan, "Ustad yang mengisi pengajian di sini melarang,"
.
Lho?! Dilarang kenapa?? Mereka menjawab, "Karena Nabi Saw tidak pernah melakukan,"
.
Antara prihatin dan sedih, kok bisa-bisanya ada ustaz yang pikirannya sempit seperti itu. Kok bisa ada ustaz yang pikirannya tidak lebih baik dari saya waktu kelas 1 aliyah dulu? Belumkah ia baca tentang sunnahnya takbiran di dalam Kitab Busyra Karim Syarah Muqaddimah Hadhramiyah?
.
Atau apakah hafalan hadisnya sudah lebih banyak dari pada Imam Nawawi, dan nalar alimnya lebih tajam dari pada Imam Taqiyuddin As-Subky, sehingga ia bisa menghukumi kalau takbiran itu salah?
.
Innalillah, innalillah,
.
Takbiran adalah salah satu syiar Islam dalam berhari raya. Ia adalah tanda bahwa umat Islam berbahagia,
.
Bahkan dengan takbiran, orang yang lidahnya asing dengan lafaz zikir akan terbiasa mengucapkan. Yang telinganya asing akan terbiasa mendengarkan. Betapa banyak pahala orang takbiran yang membuat orang lain pun ikut berzikir dalam hatinya?
.
Kalaupun memang, ada ulama mujtahid yang melarang takbiran, hendaknya praktek takbiran yang sudah ada jangan dilarang. Bukankah tadi sudah saya katakan, bahwa jika ada perbedaan pendapat Imam, berarti pendapat ini benar, yang itu pun benar. Yang salah adalah yang menyalahkan,
.
Apatah lagi jika memang tidak ada Imam yang melarang takbiran. Siapa kita untuk bisa berfatwa bahwa ini haram, ini dilarang karena Nabi Saw tidak pernah melakukan?
.
Semoga masjid-masjid lebih selektif memilih ustaz yang akan mengisi pengajian,
.
Semoga ustaz-ustaz juga lebih bijak dalam menyampaikan ilmu dan berdakwah, jangan gunakan status sebagai sarana untuk menimbulkan permasalahan,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
.
NB :
Baiknya kita sadar, bagaimana mungkin kita yang hafalan hadisnya baru 40, sudah berani menyalahkan, atau membid'ahkan apa yang ditulis oleh 'Imam Mujtahid'* yang rata2 hafalan hadisnya lebih dari 40 ribu? smile emotikon
.
*Imam Mujtahid : Ulama yang keilmuannya berlevel tinggi sehingga ia berhak meneliti serta menghukumi sesuatu berdasarkan dalil yang ada.

Tentang Jenggot dan Bulu Ketiak

Memprihatinkan, adalah saat wanita diajak untuk salat ke mesjid, ia menjawab dengan hadis bahwa, "Salat wanita yang paling afdhal itu di rumahnya sendiri,"
.
Akan tetapi saat ia diajak jalan-jalan, berkeliaran, diajak belanja, ia paling bersemangat, bergegas berhias diri,
.
Padahal, jika ingin menghidupkan sunnah dengan tidak salat ke masjid, maka mestinya usah pula keluar rumah untuk urusan yang tidak lebih besar pahalanya dari pada salat di mesjid. Ini tolong dipahami,
.
Itu namanya memelintir hadis demi memenuhi hasrat nafsu. Kalimat yang benar tapi digunakan untuk tujuan yang salah. Karena makna hadis tersebut adalah bahwa wanita itu makruh hukumnya keluar rumah, bahkan sekedar untuk salat ke masjid. Pemahaman mestinya seperti ini,
.


Menyedihkan, adalah saat lelaki berjenggot karena ingin 'nyunnah', pun mencela orang yang mencukur jenggotnya karena menganggap mereka tidak mencontoh Nabi Saw,
.
Akan tetapi bulu ketiak si penumbuh jenggot juga hampir sama panjang dengan jenggotnya tadi,
.
Muncul pertanyaan, apakah memang berjenggot karena sunnah, atau karena malas mencukur? Bulu ketiak tersebut cukup menjadi bukti,
.
Bahwa sunnah adalah sunnah, melakukannya adalah ibadah, namun jangan jadikan ia tameng untuk menutupi kemalasan dan hasrat diri,
.
Mohon maaf jika ada yang tidak pas. Karena memang perlu rasanya menuliskan hal ini,
.
Semoga niat kita selalu lurus, mencintai dan mengikuti Nabi Saw,
.
Semoga kita terhindar dari lidah tajam serta pandangan merendahkan terhadap orang yang belum mampu menghidupkan sunnah. InsyaAllah, hidayah akan Allah beri,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Jangan Sampai Rugi Dua Kali

Di sebuah bandara di Eropa
.
Sekelompok pemuda ingin melaksanakan salat berjamaah saat azan magrib berkumandang. Tidak ada mushala, mereka pun mencari sudut yang lumayan sepi, kemudian membentuk saf dan melaksanakan salat.
.
Orang-orang yang lewat melihat takjub, ada pula yang heran. Tidak setiap hari mereka bisa melihat sekelompok pemuda beribadah di tempat umum. Was wes wos was wes wos, berisik bisik-bisik.

.
Di antara para 'pembisik', ternyata ada seorang Arab. Ia langsung menghampiri salah satu pemuda tersebut sesaat setelah salat mereka selesai. Terjadilah percakapan seru setelah mereka berbasa-basi. (Orang arab : A | Pemuda muslim nonarab : P)
.
A : Kalian kok masih terpaku pada praktek-praktek ibadah kuno seperti ini? Tahu tidak, di sini dan di Amerika, orang sudah menginjakkan kaki di bulan. Sedangkan kalian masih saja sibuk salat. Sia-sia tahu!

.
P : (heran, kok ada orang Arab yang pola pikirnya seperti ini) Bapak orang Arab kan? Bapak muslim?
.
A : Iya dik.
.
P : Bapak salat?
.
A : Tidak. Sudah lama saya tinggalkan.
.
P : Bapak sudah pernah ke bulan atau belum?

A : Belum dik.

P : Naaaaah.. Berarti bapak rugi dua kali. Sudah tidak salat, tidak juga ke bulan. Biarpun kami tidak ke bulan, paling tidak kami masih salat pak, masih sadar untuk menyembah tuhan. Tidak ada ibadah yang sia-sia pak. Setiap amalan akan dibalasi, mau yang baik, mau yang buruk.
.
A : :|
.
***
.
*Disadur dari kisah yang disampaikan Syaikh Salim Al-Khathib di majlis ilmu beliau. Dengan sedikit perubahan.
.
***
.
Sebenarnya bukan ibadah yang menghalangi kita untuk maju dalam teknologi,
.
Namun memang mental konsumtif dan terlalu bergantung pada orang lain, sehingga untuk maju, kita masih menunggu yang lain, tidak punya motivasi,
.
Untuk apa membuat pesawat sendiri? Kan Amerika punya. Untuk apa membuat telepon genggam sendiri? Kan Korea ada. Kita ya tinggal membeli,
.
Kalau pola pikir kita masih seperti ini, berarti kita masih punya mental terjajah. Padahal Rasulullah Saw selalu mendidik kita untuk mandiri,
.
Bahwa beliau saat sampai di Madinah, tidak hanya membangun masjid, namun beliau juga membangun pasar agar penduduk Madinah bisa mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung pada Yahudi yang saat itu punya pasar dan menguasai ekonomi,
.
Kita harus ambil contoh. Jadilah pribadi yang taat beribadah, namun juga tidak ketinggalan untuk urusan duniawi,
.
Jangan sampai sudah malas beribadah, miskin harta, miskin ilmu pula. Dunia kosong, akhirat melarat. Rugi dua kali,
.
Karena seorang muslim sejati, ia selalu mengusahakan keselamatan akhirat, tanpa melupakan maslahat dunia. Ini difirmankan Allah dalam Al-Quran kitab suci, (QS : Al-Qashash : 77)
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Aturan Haid yang Banyak Tidak Diketahui Wanita

WANITA HARUS BACA!! (SANGAT PENTING)
.
Jika haid wanita berhenti setelah azan asar, maka ia wajib segera mandi junub kemudian melaksanakan salat asar. IA JUGA HARUS MENGGANTI (QADHA) SALAT ZUHUR,
.
Kenapa? Karena zuhur dan asar adalah dua salat yang bisa dijamak, waktu wajib dua salat ini sama ; sama-sama siang,
.
Jika seseorang wajib salat asar, otomatis ia juga wajib salat zuhur, meskipun ia masih dalam keadaan junub saat waktu zuhur telah usai,

.
Makanya, seorang wanita yang haidnya berhenti setelah azan asar, ia wajib pula melaksanakan salat zuhur dengan niat qadha, bukan dengan niat jamak,
.
Hal ini juga berlaku bagi wanita yang haidnya berhenti setelah azan isya. Ia wajib salat isya, SEKALIGUS MENQADHA SALAT MAGRIB,
.

Namun jika haidnya berhenti antara azan zuhur dan ashar, cukup baginya shalat zuhur. Yang diganti hanyalah shalat yang bisa dijamak dengan salat pertama yang ia laksanakan saat suci saja,
.
Wallahu a'lam
.
***
.
Penjelasan ini bisa dilihat di Syarhu Muqaddimati`l Hadhramiyyah yang disusun oleh Syaikh Sa'id bin Muhammad Ba'isyin hal. 167, cetakan Beirut : Muassasah Arrisalah,
.
Kitab-kitab fikih yang cukup panjang juga memuat permasalahan ini. Namun, banyak yang melewatkannya, karena belajar lompat-lompat, padahal belajar itu harus total dan terarah,
.
Lalu bagaimana dengan wanita yang sudah biasa tidak mengganti salat zuhur dan magrib karena tidak tahu?
.
Salatnya tetap harus diganti, mengingat salat adalah ibadah paling utama. Yang meninggalkannya dilabeli fasik tingkat tinggi, bahkan beberapa juga menganggapnya sebagai salah satu bentuk kekufuran,
.
Hitunglah berapa kira-kira salat yang terlewat, kemudian ganti sedikit demi sedikit hingga semuanya lunas dilaksanakan,
.
"Tapi bukankah ketidaktahuan itu dimaafkan?"
.
Ada beda antara tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu,
.
Sekarang, dimana informasi banyak tersedia, ustad banyak tempat bertanya, bagaimana mungkin hal penting seperti ini terlewatkan?
.
Tidak ada dispensasi. Yang terlewatkan harus tetap diganti. Lebih baik berlelah mengganti di dunia dari pada di akhirat harus menanggung beban,
.
"Saya ikut kajian keislaman di kampus saya, namun ustaz pembimbing kajian tidak pernah sekalipun memberi pengetahuan ini. Apa yang harus saya lakukan?"
.
Salat tetap harus diganti. Makanya, selektiflah memilih ustaz pembimbing kajian keislaman,
.
Karena banyak ustaz sekarang yang sebenarnya bukan ustaz, namun hanya berbekal ijazah, ia mengaku-ngaku bahwa ia dan Imam Syafii sudah sepadan,
.
Buktinya, bukannya memberi yang dibutuhkan jamaah, ia malah memberi apa yang teringat di kepalanya. Kajiannya tidak sistematis, pun banyak bolong sana-sini, banyak hal penting yang terlewatkan,
.
Semoga setiap ustaz bisa memberi pendidikan fikih komprehensif kepada setiap jamaahnya, agar kekeliruan seperti contoh di atas tidak lagi dilakukan,
.
Semoga setiap yang ingin berguru juga selektif dalam memilih guru. Pilihlah yang bijak juga berilmu. Jangan asal-asalan,
.
Berilmu tapi tak bijak, ia akan ajarkan hal yang tak perlu. Bijak tapi tak berilmu, ia tak akan berani mengungkit hal yang ia tidak tahu. Ya otomatis tidak ada ilmu yang jamaah dapatkan,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
.
NB :
Masih banyak pembahasan fikih wanita yang penting namun jarang dipedulikan, pun banyak disalahpahami,
.
Contoh : - Jika wanita terbangun setelah azan subuh dan mendapati darah haidnya sudah berhenti, apakah ia wajib mengganti salat isya karena ada kemungkinan darahnya berhenti sebelum subuh?
.
- Jika darah haid wanita berhenti siang hari saat ia sedang di sekolah ataupun kampus sehingga tidak mungkin mandi junub, bolehkah ia menunda mandi hingga pulang?
.
- Bagaimana cara membedakan darah haid dan darah istihadhah (penyakit)?
.
- Benarkah jika darah haid keluar selama 17 hari, maka dua hari terakhir tersebut adalah darah istihadhah?
.
- Jika darah keluar setelah subuh dan berhenti menjelang magrib di hari yang sama, apakah itu darah haid?
.
Sudahkah kita tahu? "Fas`alû ahladz-dzikri in kuntum la ta'lamûn"
.
Oh iya, sampaikan pesan ini kepada ibu, kakak, adik, ataupun kawan-kawan sebanyak-banyaknya agar tidak ada yang masih berhutang di pengadilan Allah kelak.

Memaksimalkan Fungsi Masjid

Ada kutipan menarik di majlis Syaikh Salim al-Khathib suatu sore, saya nukilkan :
.
"Adalah sebuah bid'ah yang banyak dilakukan orang saat ini : menutup masjid setelah salat dilaksanakan,
.
Sehingga orang yang terlambat berangkat ke masjid tidak mendapat kesempatan,
.
Padahal tujuan orang berwakaf untuk masjid adalah agar wakafnya dimanfaatkan,
.
Namun saat pengurus masjid menutup masjid, harta wakaf tadi tidak maksimal diberdayakan, pahala untuk orang yang berwakaf pun tertahan,
.
Mestinya masjid itu dibuka siang malam, bahkan jika ada musafir yang ingin bermalam, disilakan,
.

Mereka tak perlu menghabiskan banyak uang untuk menginap di hotel. Mereka bisa istirahat di masjid, berkah juga didapatkan,
.
Namun memang ada beberapa pengecualian,
.
Jika yakin bahwa pencurian akan terjadi saat masjid dibuka, maka masjid boleh dikunci, agar aset masjid aman,
.
Namun jika hanya perasaan dan tidak yakin bahwa pencurian akan terjadi, bukalah pintu masjid selebar-lebarnya, biarkan orang beribadah sepuas-puasnya tak peduli kapan,
.
Kalaupun ujung-ujuangnya mereka hanya tidur di masjid, itu pun merupakan ibadah, atas niat iktikaf, sahabat Nabi radhiyallahu 'anhum pun dahulu banyak yang melakukan,
.
Lalu kenapa kita berani melarang-larang orang untuk menikmati harta wakaf yang memang diperuntukkan bagi orang banyak keseluruhan?"
.
***
.
Mestinya kita memang jangan menghalangi orang lain untuk beribadah, apalagi beribadah menggunakan harta wakaf yang memang milik bersama,
.
Pesan ini diperuntukkan bagi pengurus masjid. Berhubung saya bukan pengurus masjid, makanya saya sebarkan di sini, mudah-mudahan ada pengurus masjid yang baca, grin emotikon
.
Jika ada di antara sahabat yang ingin menyampaikan pesan ini kepada pengurus masjid setempat, silakan! Membagikan ilmu agar banyak yang tahu kan juga ladang pahala,
.
Semoga semua harta wakaf kaum muslimin yang ada bisa maksimal dimanfaatkan, semoga semua masjid bisa diramaikan, semoga yang kaya juga tidak ragu untuk mewakafkan sebagian hartanya,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Begini Menikah Itu Seharusnya

Dulu, dengan menikah, seorang lelaki otomatis akan mendapatkan pekerjaan,
.
Misalnya ayah saya, yang karena menikah, beliau bisa bercocok tanam di tanah pusaka suku Pisang, menanam jeruk serta sayuran,
.
Atau Pak Ngah saya (paman), yang karena menikah dengan kakak ayah saya, beliau bisa bercocok tanam di tanah pusaka suku Simabua, kadang menanam jagung kadang menanam ubi batang, tergantung apa yang laku di pasaran,
.
Bahkan Nabi Musa AS pun, karena menikah pula, beliau bisa mendapatkan pekerjaan sebagai penggembala dari Nabi Syu'aib, terlepas dari apakah beliau menikah dahulu atau bekerja dahulu, yang penting keduanya beriringan,
.
Adapun sekarang, dengan bekerja, seorang lelaki baru bisa melangsungkan pernikahan,
.

Jangankan pengangguran, yang sudah bekerja dengan gaji pas-pasan saja akan banyak pertimbangan, banyak pertanyaan,
.
Pertanyaan paling utama : dengan apa nanti anak gadis orang diberi makan?
.
Beda memang, pernikahan dulu mendatangkan rahmat, pernikahan kini malah membuat melarat, materi kini menjadi patokan segala urusan,
.
Ini mungkin salah satu alasan mengapa di Minang ada sistem tanah pusako, yang merupakan harta milik kaum, harta bersama, namun hak penggunaannya dimiliki oleh wanita, sebagai modal nanti jika akan melangsungkan pernikahan,
.
Dan sistem ini pula yang kini mulai hilang, terjual demi segepok uang, diharamkan berbekal dalil sedang, tanpa paham dampak 10 atau 20 tahun kemudian,
.
Lihatlah sekarang dampaknya sudah mulai terlihat, banyaknya generasi muda yang takut menikah karena alasan klise : tak punya pekerjaan,
.
Mereka lupa bahwa 20 tahun lalu, pernikahanlah yang membawa rejeki, meskipun hanya sepetak tanah untuk bertani, insyaAllah cukup untuk kebutuhan rumah tangga asal punya kemauan,
.
Kita lupa, bahwa orang-orang dahulu bukanlah orang-orang bodoh. Mereka adalah orang-orang cerdas yang membentuk sistem berdasarkan pengalaman, dengan pertimbangan maslahat, pun juga dengan memperhatikan batasan-batasan syariat yang merupakan perintah Tuhan,
.
Dampaknya jelas, pernikahan yang kini menjadi momok menakutkan, dulu merupakan penyebab datangnya berkah melimpah, pembuka pintu rejeki, benar-benar menjadi sumber 'ketenangan', (litaskunû ilaihâ)
.
Dan banyak dampak-dampak lain yang insyaAllah akan disebutkan jika ada kesempatan,
.
Alhamdulillah, ayah, pak ngah, serta banyak orang sempat mendapatkan rejeki lewat pernikahan,
.
Mudah-mudahan generasi ini tetap bisa mendapatkan rejeki macam ini, generasi-generasi sesudahnya pun tak lupa kita doakan,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Bagi yang Ingin Berpolitik

Syaikh Salim Al-Khatib, Rabu kemarin sempat menyinggung masalah politik dan kepemimpinan,
.
Beliau berkata, bahwa sebaiknya, kita menahan diri dari politik hingga datangnya Imam Mahdi Al-Muntazhar, Imam, pemimpin yang dijanjikan,
.
Bukan pasrah dan tidak melakukan apa-apa, namun urusan politik saat ini benar-benar mengkhawatirkan,
.

Intrik dan juga permainan, kadang dihiasi tipuan, yang munafik disanjung sedangkan yang lurus dan jujur akan dikucilkan, tak sedikit yang dipenjarakan,
.
Ini efek politik di dunia, coba efeknya di akhirat kita bayangkan,
.
Ulil Amri atau pemimpin, selain ditanya tentang ibadah pribadi seperti salat puasa zakat dan semacamnya, mereka juga akan ditubruk dengan bermacam-macam pertanyaan,
.
"Sudahkah zakat rakyat kau berdayakan?"
.
"Sudahkah hukum jinayat dan had kau jalankan?"
.
"Sudahkah kau jamin seluruh rakyatmu mendapat tempat berlindung, pakaian dan makanan?"
.
"Sudahkah undang-undang ekonomi daerahmu sesuai dengan standar fikih muamalat dan perdagangan?"
.
Sedangkan kita yang bukan pemimpin, tidak akan ditanya hal-hal demikian,
.
Ulama hanya akan ditanya, "Apakah ilmu agama sudah kau ajarkan?"
.
Karena kewajiban ulama hanya mengajarkan, sedangkan umara (pemimpin) lah yang menjalankan,
.
Jika ulama sudah mengajarkan, sedangkan pemimpinnya ogah-ogahan, yang menanggung dosa ya para pemimpin, karena amanah para ulama sudah dijalankan, amanah pemimpin yang disia-siakan,
.
Lain pemimpin, lain ulama, lain pula orang umum keseluruhan,
.
Jika ulama dituntut untuk mengajarkan, pemimpin dituntut untuk menjalankan, maka orang umum (rakyat) hanya akan ditanya, apakah punya "keinginan"? Dan sudahkah keinginan itu disuarakan?
.
Jika hanya diam, mengapa? Apakah karena nyawa jadi taruhan, ataukah karena nurani sudah kosong dari kepedulian?
.
Lihat, ada tuntutan bertingkat tergantung predikat yang kita sandang. Dan tuntutan terhadap ulil amri (pemimpin) adalah yang paling sulit untuk diwujudkan,
.
Mungkin nanti akan muncul pertanyaan, bolehkah ulama menjalankan kewajiban yang seharusnya ditanggung pemimpin? Atau, bolehkah orang umum mengajarkan apa yang seharusnya diajarkan oleh ulama? TIDAK, itulah satu-satunya jawaban,
.
Karena setiap orang punya bidangnya masing-masing. Dan saat seseorang lancang mengobok-obok sesuatu yang bukan bidangnya, tunggulah kehancuran,
.
Yang bukan pemimpin, jangan merasa jadi pemimpin sehingga seenaknya main hakim sendiri. Merusak ketentraman,
.
Yang bukan ulama, dan yang tidak belajar sesuai dengan metode pendidikan ulama yang diakui, jangan merasa jadi ulama sehingga hanya dengan modal 'tuntunan salat lengkap', sudah berani berfatwa dalam bidang ekonomi dan perdagangan,
.
Yang bukan dokter, jangan coba-coba mengurus orang sakit. Jika si pasien mati di tangan Anda, itu adalah pembunuhan,
.
Yang bukan arsitek, jangan coba-coba membangun gedung setinggi Burj Khalifa. Jika runtuh, penjara jadi taruhan,
.
Setiap orang punya tanggung jawab masing-masing, dan setiap tanggung jawab punya tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Dan tanggung jawab pemimpin adalah yang paling sulit, jika tak ingin dikatakan mustahil. Apalagi jika melihat sistem perpolitikan yang saat ini dijalankan,
.
Menjauhlah dari politik dan kepemimpinan, sehingga di akhirat kita tidak akan ditanya tentang hukum Allah yang tidak kita jalankan,
.
Selama kita tidak ikut terlibat dalam politik, maka di akhirat nanti kita tidak akan ditanya macam-macam. Lebih aman,
.
Di akhir nasihat, beliau mengatakan bahwa nasihat ini sangat berat, namun penting untuk disampaikan,
.
Saya sebagai murid, merasa berkewajiban untuk menyebarkan agar kita semua sadar dan paham, mengapa dahulu sahabat sehebat Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu menangis saat beliau dipercaya sebagai Amirul Mukminin, Khalifah umat Islam, pemimpinnya orang-orang beriman,
.
Jika beliau saja menangis, lalu siapa kita sehingga dengan penuh nafsu mengejar jabatan?
.
Semoga kita sadar tentang posisi dan tanggung jawab yang kita emban,
.
Semoga dengan maksimal bisa kita jalankan sehingga di akhirat nanti tidak memberatkan,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Mengapa Kita Harus Mengikuti Para Imam?

Bismillah,
Imam Nawawi rahimahullah, yang keilmuannya luar biasa, yang hafalan hadisnya konon lebih dari 350.000, yang tulisannya tak hanya berisi ilmu namun juga dihiasi sastra karena kepiawaian beliau dalam Bahasa Arab, masih rendah hati untuk mnyebut dirinya sebagai pengikut Imam Syafi'i, -rahimahullah-

Dalam artian, ibadah beliau sesuai dengan hasil ijtihad Imam Syafi'i,

Sedangkan ustad-ustad sekarang, yang hafalan Qurannya patah-patah, yang hafalan hadisnya tak lebih dari dua puluh, yang kemampuan Bahasa Arabnya memprihatinkan, malah dengan sombong dan berani mengatakan bahwa pendapat ulama mazhab itu tidak ada gunanya untuk diikuti,


Jika Imam Nawawi saja -yang kecerdasannya seperti saya gambarkan di atas- masih butuh kepada fikih Imam Syafi'i, lalu kenapa ustad-ustad baru ini malah berani sekali bersifat tinggi hati?

Memang, bahwa Al-Quran dan hadis merupakan sumber utama dalam beragama. Namun perlu diketahui pula, bahwa keduanya akan sulit dipahami tanpa keilmuan yang memadai,

Karena keduanya disampaikan dengan sastra tingkat tinggi, juga dengan pilihan kata yang sangat teliti,

Sehingga kita butuh seseorang dengan keilmuan mantap untuk membantu kita mengamalkan dua sumber pokok ini,

Itulah yang dilakukan oleh Para Imam Mazhab -rahimahumullah-, yang mengorbankan waktu mereka untuk mendalami Al-Quran, menghafal ratusan ribu hadis, memantapkan Bahasa Arab selama bertahun-tahun, sehingga mereka bisa menulis mazhab, sebagai intisari praktis yang bisa langsung kita gunakan, tanpa harus bersusah payah lagi,

Jika masih berkeras untuk langsung merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, silakan! Namun pastikan, bahwa Anda sudah hafal Quran, hafal 350.000 hadis, memantapkan Bahasa Arab lisan dan tulisan. Dalam artian, silakan merujuk langsung kepada Quran dan Sunnah jika keilmuan Anda sudah selevel dengan Imam Syafi'i,

Jika Anda tidak mampu, -dan saya rasa zaman sekarang tidak akan ada lagi yang mampu-, maka mazhab yang sudah ada sajalah yang harus diikuti,

Karena keabsahannya terjamin, berabad-abad telah teruji,

Analoginya, jika Seiichiro Honda harus kehilangan kaki untuk menguji motor ciptaannya, haruskah kita juga kehilangan kaki?

Jika para Imam sudah berkorban banyak demi menghasilkan intisari yang bisa langsung kita praktekkan, haruskah kita juga harus mengulang dari nol? padahal hasil yang kita cari sudah ada di depan mata, tinggal diikuti,

Mempelajari fikih melalui salah satu mazhab -terutama mazhab yang empat- adalah hal mutlak, apalagi jika keilmuan kita memang jauh dari kata memadai,

Karena hanya ada dua golongan sombong yang merasa berhak untuk langsung mengambil hukum dari Quran dan Sunnah tanpa ilmu yang cukup ; (kita sama-sama tahulah. Tak perlu saya sebutkan di sini),

Kita yang sadar diri, ambillah jalan yang selamat. Apa itu? Itulah jalan yang sudah dilalui dan dibuka oleh ulama yang keilmuannya teruji,

Kembali lagi ke awal : Jika Imam Nawawi masih butuh merujuk kepada ijtihad Imam Syafi'i, lalu mengapa kita yang lemah ini merasa sombong untuk mampu berijtihad sendiri?

Saya ingin tegaskan, bahwa mazhab fikih yang dibangun para Imam tidaklah dilandaskan pada khayalan. Mazhab tersebut merupakan intisari dari Al-Quran dan hadis yang mereka susun secara sistematis agar kita yang tidak paham Quran dan hadis tetap bisa beramal sesuai dengan petunjuk keduanya. Tolong dipahami, :)

Semoga kita bisa menyadari sejauh mana batas diri,

Semoga kita bisa menghormati ulama, yang merupakan pewaris para Nabi, -Alaihimussalam-

Mohon maaf jika ada kata yang tidak pas serta kekurangan sana-sini,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Pesan :

- Jika saudara mengikuti majlis ilmu, kemudian ustad pengisi majlis tersebut mulai mengatakan bahwa kita tidak perlu mengikuti Imam Mazhab, maka tolong ingatkan ustad tersebut tentang kerendahhatian seorang Imam Nawawi, dan bagaimana kita harus lebih rendah hati lagi

- Jika berkenan, sebarkan kepada sahabat-sahabat yang memiliki keinginan besar untuk belajar agama : agar mereka belajar dengan cara yang pas dan jalan yang benar, agar hasilnya pun tidak "bagai bunga kembang tak jadi"