Tuesday, May 20, 2014

Mencari Dan Memilih Pemimpin Dari Kacamata Islam

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI




























Mencari Dan Memilih Pemimpin Dari Kacamata Islam


PERNYATAAN ini diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari r.a, Ia berkata, "Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi Muhammad SAW. Salah seorang mereka berkata, "Ya Rasulullah SAW angkatlah kami sebagai pejabatmu." Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya," (HR Bukhari dan Muslim)

Selanjutnya, diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah r.a, Ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, "Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan, sebab apabila engkau diberi jabatan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepadamu. Namun, apabila jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya," (HR Bukhari dan Muslim).

Bila mencermati dua hadist Nabi Muhammad SAW ini sangat jelas bahwa dalam ajaran Agama Islam tidak boleh memilih pemimpin yang minta dipilih atau pemimpin yang mencalokan diri menjadi calon pemimpin. Dalam ajaran Islam tidak dibenarkan memilih pemimpin yang mencalonkan diri, pemimpin tidak boleh meminta untuk dipilih menjadi pemimpin akan tetapi pemimpin itu harus diberi, diamanahkan ummat atau rakyat untuk dipilih menjadi pemimpin.

Dari hadist Nabi Muhammad SAW itu terlihat adanya larangan ummat Islam untuk memilih pemimpin yang mencalonkan diri, pemimpin yang minta dipilih, pemimpin yang memohon dukungan, menghiba-hiba minta dipilih menjadi calon pemimpin.

BERAT MENJADI PEMIMPIN

Menjadi pertanyaan begitu tegas Nabi Muhammad SAW melarang ummatnya untuk jangan memilih pemimpin yang minta dipilih menjadi pemimpin. Hal ini sangat beralasan dan sangat tepat karena sangat berat menjadi seorang pemimpin.

Beratnya menjadi pemimpin terlihat dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Auf bin Malik, Rasullullah bersabda, "Jika kalian mau, aku beri tahu kepada kalian tentang jabatan, apa hakikat jabatan itu? Awalnya adalah celaan, yang kedua adalah penyesalan dan yang ketika adalah adzab di hari kiamat, kecuali orang yang berlaku adil. Bagaimana mungkin ia dapat berlaku adil terhadap keluarga-keluarganya?" (HR al-Bazzar).

Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan." (HR Bukhari). Hadist berikutnya Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebenarnya di dunia ini sudah ditunjukkan Allah SWT para pemimpin yang pada dasarnya menyesal menjadi pemimpin. Hal ini terlihat para pemimpin yang habis atau sedang menjabat harus berurusan dengan hukum dan masuk penjara. Namun, hadist Nabi Muhammad SAW itu juga mengatakan kebahagiaan para pemimpin yang dapat berlaku adil. Faktanya, banyak pemimpin hari ini yang belum mampu menjalankan amanah yang dimintanya sendiri.

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya." (HR. Bukhari). Satu tanda menjadi pemimpin itu tidak mudah, sangat sulit dan Nabi Muhammad SAW sebagai tauladan seorang pemimpin memberikan pedoman untuk pemimpin yang baik.

Syarat menjadi pemimpin itu pertama harus Shiddiq (berkata jujur), kedua harus Fathonah (cerdas), ketiga harus Tabligh (mampu berkomunikasi) dan keempat harus Amanah (bisa dipercaya). Empat syarat ini tidak mudah dan harus ada dalam setiap diri pemimpin. Keempat syarat ini harus ummat atau rakyat yang menilainya, apakah ada pada diri seseorang, apa bila ada maka ummat atau rakyat yang memilihnya menjadi pemimpin.

Jika ada pada diri seseorang yang empat syarat ini maka layaklah seseorang itu menjadi pemimpin. Tidak perlu seseorang itu minta dipilih menjadi pemimpin, cukup seseorang itu memenuhi syarat yang empat itu. Empat syarat itu harus dimiliki dan harus dinilai ummat atau rakyat bahwa seseorang itu memiliki atau tidak empat syarat tersebut. Apa bila tidak dimiliki maka ummat atau rakyat tidak akan memilihnya menjadi pemimpin.

Empat syarat ini mutlak harus dimiliki calon pemimpin maka dalam ajaran Islam melarang seseorang meminta dirinya untuk dipilih menjadi pemimpin. Tidak dibenarkan meminta-minta untuk dipilih menjadi pemimpin. Tidak boleh mencalonkan diri dan yang dibenarkan dalam ajaran Islam adalah dicalonkan atau dipilih ummat atau rakyat karena ummat atau rakyat menilai seseorang itu layak menjadi seorang pemimpin.

Pemimpin yang dimaksud Nabi Muhammad SAW itu adalah pemimpin yang terkait dengan pemimpin ranah publik yakni mulai dari kepala desa (Lurah), bupati (wali kota), gubernur, legislatif, DPD ataupun presiden. Ajaran Agama Islam sudah memberikan petunjuk yang jelas mengenai bagaimana mencari dan memilih pemimpin, baik melalui ayat ayat dalam Al Qur'an maupun hadits hadits Nabi Muhammad SAW.

Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 28 yang artinya, "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)."

Siapa yang dipilih calon pemimpin menurut Agama Islam ditegaskan Allah SWT lagi dalam Al Qur'an Surat An Nisa ayat 144 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?"

Peringatan Allah SWT ini cukup tegas dalam Al Qur'an Surat Al Maidah ayat 51 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim."

Dari hadist dan firman Allah SWT ini dalam memilih calon pemimpin menurut ajaran Agama Islam cukup jelas dan tegas, tinggal lagi bagaimana implementasinya dalam kehidupan ummat Islam sehari-hari. Hal ini penting karena pemimpin menjadi penentu dalam kehidupan ummat Islam sehari-hari dan ummat Islam harus mengetahui dengan baik dan benar tentang kepemimpinan dan tentang tata cara memilih pemimpin menurut ajaran Agama Islam.

Setiap ummat Islam harus mengetahui tata cara memilih calon pemimpin menurut ajaran Agama Islam agar diperoleh pemimpin yang benar-benar baik dan benar sehingga mampu membawa ummat ke jalan yang baik dan benar pula. Bila ini dapat terwujud maka kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat akan diperoleh ummat Islam.

Salah satu hal yg tidak bisa lepas dari kehidupan kita sebagai muslim adalah memilih pemimpin. Yang dimaksud dengan pemimpin di sini terutama yg terkait dengan pemimpin di ranah publik, seperti walikota, gubernur, ataupun presiden.
Islam sendiri sudah memberikan petunjuk yg jelas mengenai bagaimana mencari dan memilih pemimpin, baik melalui ayat2 di Al Qur’an maupun hadits2 dari Rasululloh SAW.
Pertama, beragama Islam.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran(3):28)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (An Nisa(4):144)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al Maidah(5):51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah(5):57)
Kedua, laki-laki.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An Nisa(4):34)
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpinnya.” (HR. Bukhari)
Ketiga, dewasa (baligh). Baligh di sini terutama mampu berpikir dengan baik, serta sudah bisa membedakan hal2 yg benar dan salah.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An Nisa(4):5)
Keempat, adil. Pengertian adil di sini adalah adil secara umum, tidak berat sebelah memihak salah satu golongan, terutama kelompok yg berkaitan dengan dirinya atau menguntungkan dirinya.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad(38):26)
Kelima, amanah dan berlaku profesional serta mempunyai ilmu/pengetahuan di bidangnya. Dengan berlaku amanah dan mempunyai pengetahuan di bidangnya, maka seorang pemimpin akan dipercaya dan bisa dengan mudah memecahkan persoalan2 yg timbul.
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf(12):55)
Kita juga sering mendengar hadits Rasululloh SAW sebagai berikut
“Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Keenam, sehat fisik dan mental, karena seorang pemimpin seringkali dituntut bekerja keras tidak mengenal waktu serta banyak mendapat tantangan dan serangan dari lawan2 politiknya.
“Dari Abu Dzar berkata, saya bertanya kepada Rasululloh SAW, mengapa engkau tidak meminta saya memegang sebuah jabatan?; Abu Dzar berkata lagi, lalu Rasululloh SAW menepuk punggung saya dengan tangannya seraya berkata; Wahai Abu Dzar,sesungguhnya kamu seorang yang lemah. Padahal, jabatan itu sesungguhnya adalah amanat (yang berat untuk ditunaikan)” (HR. Muslim)
Rasululloh SAW juga menyatakan agar TIDAK MEMILIH SESEORANG MENJADI PEMIMPIN KARENA YBS MENGINGINKANNYA.
“Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi saw. Salah seorang mereka berkata, ‘Ya Rasululloh SAW angkatlah kami sebagai pejabatmu.’ Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasululloh SAW bersabda, ‘Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya’,” (HR Bukhari [7149] dan Muslim [1733]).
Dalam riwayat lain
“Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah r.a, ia berkata, “Rasululloh SAW bersabda kepadaku, ‘Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan, sebab apabila engkau diberi jabatan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepadamu. Namun apabil jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya’,” (HR Bukhari [7147] dan Muslim [16522]).
Diriwayatkan dari Auf bin Malik dari Nabi saw. beliau bersabda, “Jika kalian mau, aku beri tahu kepada kalian tentang jabatan, apa hakikat jabatan itu? Awalnya adalah celaan, yang kedua adalah penyesalan dan yang ketika adalah adzab di hari kiamat, kecuali orang yang berlaku adil. Bagaimana mungkin ia dapat berlaku adil terhadap keluarga-keluarganya?” (HR al-Bazzar [1597]).
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR Bukhari no. 7148)
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Dari sekian banyak syarat dan ketentuan dalam mencari dan memilih seorang pemimpin, poin 1 dan 2, yakni beragama Islam dan laki-laki seringkali menjadi bahan perdebatan tiada akhir. Pro dan kontra seringkali terjadi dan berfokus pada 2 poin ini,terutama di Indonesia.
Tahun 1999, sempat terjadi perdebatan sengit ketika Megawati hendak naik menjadi presiden. Mayoritas ulama dan kaum muslim menolak pencalonan Megawati menjadi presiden terutama dengan dalil bahwa harusnya laki2 yg lebih berhak menjadi pemimpin. Namun, ketika Megawati menjadi presiden apa yg terjadi? Yg menjadi Wakil Presiden adalah Ketua dari Partai Pembangunan Persatuan (PPP) yg notabene partai Islam. Ironis kan? :-)
Demikian pula dengan ‘predikat’ agama Islam yg mesti disandang oleh pemimpin. Ada yg mengatakan bahwa agama Islam di sini bukan syarat mutlak, alias mesti ada catatan khusus.
Saya setuju dengan pendapat ini, terutama jika kaum muslim hidup di negara/lingkungan yg mayoritas non muslim. Sebagai contoh, kaum muslim di Amerika Serikat jelas tidak bisa memilih pemimpin (presiden) yg beragama Islam, terutama karena belum ada calon presiden dari kalangan Islam. Namun, di beberapa negara bagian, kaum muslim sudah bisa mempunyai senator yg beragama Islam.
Yang seringkali menjadi ganjalan di hati saya adalah sikap kaum muslim yg menjadikan Islam sebagai SATU-SATUNYA SYARAT DALAM MEMILIH PEMIMPIN. Pokoknya Islam, pokoknya mesti yg seagama, seiman, pilih yg terbaik di antara yg terburuk, bla bla bla.
Saya, terus terang katakan bahwa orang2 yg memilih dg dasar demikian sama halnya dengan membeli kucing dalam karung. Mungkin pernyataan ini terlalu kasar atau liberal, namun mari kita kaji dan telaah lebih mendalam sebelum anda marah ataupun tidak suka apalagi mencap saya sebagai orang kafir ataupun orang liberal (JIL).
“Pokoknya Islam” ini seringkali menjadikan kaum muslim (terutama di Indonesia) menjadi object politik yg selalu dibodohi oleh orang2 licik, culas, dan jahat yg kebetulan memegang tampuk kekuasaan. ‘Sialnya’ lagi, orang2 tersebut ternyata beragama Islam pula, orang2 yg mengaku dan menyatakan bahwa sesama muslim itu saudara namun dalam kenyataannya (dalam berpolitik) mereka seringkali tidak ragu menusuk dari belakang kaum muslim.
Perilaku dan sikap “Pokoknya Islam” ini pula yg menjadikan agama Islam menjadi bahan ejekan, cemoohan, dan dihina karena ternyata pemimpin2 (beragama) Islam yg dipilih ternyata memiliki sifat korup, jahat, culas, licik, khianat, dan perilaku2 tidak Islami lainnya.
“Ah, kalo itu kan urusan dia dengan ALLOH SWT.”
“Setidaknya itu yg terbaik dari yg terburuk.”
“Tugas kita harus mengingatkan dia, bla bla bla…”
Pernyataan2 di atas mungkin pernah kita dengar, tapi apa iya lantas kita hanya berwacana dan beropini dengan pernyataan2 di atas?
Menurut saya, korupsi itu tidak sekedar kejahatan dan kemaksiatan yg bisa diselesaikan urusannya dengan ALLOH SWT. Namun, juga terkait (sangat) erat dengan hajat hidup orang banyak (masyarakat/manusia). Bagi saya, seorang koruptor yg (ingin) bertobat tidak cukup hanya dengan berdoa kepada ALLOH SWT agar dosa2nya diampuni. Akan tetapi, dia juga mesti mengembalikan hak-hak masyarakat yg telah dia rampas dengan cara yg lalim.
Berapa banyak masyarakat yg mati karena dana kesehatan dikorupsi? Berapa banyak pengungsi dan orang yg tertimpa bencana mati kelaparan karena bantuan yg mereka tidak jauh dari memadai atau layak? Berapa banyak anak-anak yg tidak bisa sekolah karena dana pendidikannya disunat sana sini?
Dengan kata lain, apabila ada calon pemimpin yg beragama Islam namun perilakunya tidak Islami, maka JANGAN DIPILIH!
“Tugas kita harus mengingatkan dia, bla bla bla…”
Ah, menurut saya statement/pernyataan di atas hanya sekedar omong kosong belaka! Saya tidak yakin dan tidak percaya masih ada pemimpin (di Indonesia) seperti Umar bin Khatab yg ketika dia berkata,”Jika saya salah, beritahu saya” dan kemudian ada seseorang yg tidak kalah lantang berkata,”Umar, jika kamu salah, saya akan luruskan kamu dengan pedang”. Terlalu bermimpi (kebangetan) jika saya mengharapkan ada pemimpin seperti itu.
Lha wong pemimpin2 yg sudah ada saja, walau sudah diingatkan berkali-kali (dari cara yg halus hingga demo besar2an) tidak pernah ada tindakan yg nyata untuk melakukan perubahan sesuai yg diminta oleh masyarakat.
“Ulama juga punya tanggung jawab moral dengan menegur pemimpin, bla bla bla…”
Lagi2 pernyataan yg membuai dan menina bobokan. Mengharapkan ulama di Indonesia untuk bisa bersikap tegas dan menjaga moral di Indonesia mirip mimpi di siang bolong. Ketika ulama sudah tunduk pada penguasa dan setiap tindakannya adalah ‘pesanan’ dari penguasa, maka saat itu matilah moral suatu masyarakat.
Pemimpin yg mengaku Islam namun pada kenyataannya berlaku khianat (tidak amanah) juga tidak perlu dipilih! Slogan “Pilih ahlinya…” (yg tentu saja ditujukan kepada dirinya) pada saat kampanye dan ternyata saat menjabat tidak bisa dibuktikan bahwa dirinya ahli seperti yg digembar-gemborkan, jelas merupakan suatu KEBOHONGAN YANG SEDEMIKIAN NYATA! Bahkan jika kita menilik pada hadits Rasululloh SAW di atas, “Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.”(HR. Bukhari) maka mestinya pemimpin2 ‘kacangan’ seperti itu banyak2 muhasabah dan bertobat, bukannya mencalonkan diri kembali menjadi pemimpin. ;-)
Jadi, mestinya mencari dan memilih pemimpin bukan sekedar beragama Islam, namun dia juga mesti memenuhi syarat2 yg telah saya tuliskan di atas.
Saya sendiri, jika ada pilihan calon pemimpin yg Islam namun berlaku tidak adil, khianat, tidak bisa dipercaya dengan calon pemimpin yg non muslim namun memiliki sifat adil, bisa dipercaya, tegas, maka saya akan memilih pemimpin yg non muslim.
“Wah, anda menyalahi hukum ALLOH SWT, adzab akan menimpa anda!”
“Anda kafir!”
“Anda menyesatkan orang2!”
Sesungguhnya saya berlindung kepada ALLOH SWT atas kesalahan saya dalam memilih pemimpin ini. Namun, saya mempunyai prinsip yg sama dengan Ibnu Taimiyah yg mempunyai pendapat sebagai berikut:
“Sesungguhnya ALLOH SWT mendirikan (mendukung) negara yang adil meskipun negara itu kafir, dan ALLOH SWT tidak mendukung (negara) yang zalim sekalipun negara itu Muslim.”
pernyataan Ibnu Taimiyah mengenai pemimpin yg muslim tapi dzalim dengan pemimpin non muslim tapi adil.
Pernyataan Ibnu Taimiyah ini akan terasa relevan jika kita melihat banyak negara2 kafir yg masyarakatnya bisa hidup dengan tenang dan sejahtera, walau negara tersebut tidak punya sumber daya alam yg cukup. Kita bisa lihat Jepang. Meski negara kafir itu sering dilanda bencana gempa, gunung meletus, bahkan tsunami, namun kita bisa lihat masyarakatnya hidup tenang, tolong menolong, tepat waktu, hormat pada orang tua. Bandingkan dengan negara kita. Mayoritas Islam, tapi kekayaan alam diambil orang, sering terjadi amuk massa, pemimpinnya korup, masyarakatnya banyak yg hidup dengan kondisi yg memprihatinkan.
Arab (Saudi)? Di balik kekayaan sumber daya alam (minyak) yg dimiliki dan kemakmuran yg dinikmati masyarakat Arab (Saudi), sebenarnya banyak kebobrokan pemimpin dan masyarakatnya. Hanya saja, seperti tulisan saya di sini dan sini, kaum muslim cenderung enggan untuk membahasnya, dengan berbagai alasan, terutama “jangan mengungkit aib saudaramu”. ;-)
Penutup,
Sebenarnya jika menjadikan figur Rasululloh SAW sebagai seorang pemimpin, maka syarat2 menjadi/memilih pemimpin itu ‘mudah’.
1. Shiddiq (berkata jujur)
2. Fathonah (cerdas)
3. Tabligh (mampu berkomunikasi)
4. Amanah (bisa dipercaya)

Sayangnya, seperti saya tulis di atas, banyak (calon) pemimpin yg beragama Islam namun tidak memenuhi 4 kriteria di atas. Boro2 4 syarat, bisa memenuhi 1 saja sudah bisa dikatakan ‘beruntung’. ;-)
Dan bagi saya, memilih pemimpin (beragama) Islam yg jahat sebenarnya merugikan kita, di dunia dan di akhirat. Di dunia, kita dirugikan dengan sifat jahatnya yg membuat banyak masyarakat sengsara. Di akhirat, kita juga akan diminta pertanggungjawabannya karena memilih pemimpin yg jelas2 jahat/tidak amanah/khianat.
Dan sesungguhnya, dengan memilih pemimpin Islam yg jahat, sebenarnya kita sudah menjerumuskan saudara kita itu ke dalam jurang neraka. Mengapa? Karena dengan menjadikan dia sebagai seorang pemimpin, maka dia akan lebih leluasa melakukan tindak kejahatannya, seperti korupsi, menyengsarakan masyarakat serta dampak kejahatannya akan lebih luas dan merusak.
Seharusnya pemimpin Islam yg jahat itu merasa malu mencalonkan diri sebagai pemimpin karena kejahatan yg dia lakukan sebenarnya mencoreng nama Islam itu sendiri. Bagaimana mungkin orang2 (terutama non muslim) bisa percaya Islam itu rahmatan lil ‘alamin (rahmat/anugerah bagi alam semesta) jika ternyata untuk kelompok masyarakat yg kecil saja sudah menjadi bencana dan menimbulkan kesengsaraan? ;-)
Terkait dengan pemilihan Gubernur DKI, banyak orang khawatir dengan pasangan Jokowi-Basuki. Mereka melihat sosok Basuki yg Cina dan non Islam adalah ancaman bagi kaum muslim (terutama di Jakarta). Tak ayal, banyak black campaign yg ditujukan kepada mereka, yg (menurut saya) lucunya juga dilakukan oleh ‘MUI DKI Jakarta’ seperti bisa dilihat di sini.
Menurut saya, ketakutan itu terlalu berlebihan. Pertama, sosok Jokowi sendiri adalah muslim yg bisa dipercaya. Hasil kepemimpinannya di Solo membuktikan bahwa dia memenuhi 4 syarat pemimpin di atas. Kedua, Basuki berada di posisi (calon) wakil gubernur. Dengan demikian, bukan pengambil keputusan langsung. Tidak perlu taktu, masih ada Jokowi (pemimpin yg Islam) yg diharapkan bisa ‘mengendalikan’ Basuki/Ahok agar tidak melampaui batas, apalagi merugikan kaum muslim (Jakarta). Jika anda masih takut dg Ahok dan tidak percaya dg Jokowi, coba cek agama wakil walikota Solo. Yak, non muslim. So, Jokowi sudah punya pengalaman bekerjasama dengan pemimpin yg non muslim.
Mari kita berdoa, semoga ALLOH SWT selalu melindungi kita dari pemimpin2 jahat, apalagi pemimpin jahat yg beragama Islam. Dan PILIHLAH PEMIMPIN YG ADIL!
Semoga berguna.


No comments:

Post a Comment