Thursday, April 16, 2015

Horizon




“Cuih!” dan lendir kental itu sudah cukup membunuh hormatku pada ayahmu.

Berulang-ulang, kejadian itu terus berputar di benakku bagai kaset rusak yang dipaksa terus bergerak.

Ayahmu menganggapku begitu hina. Di matanya aku tak akan pernah pantas bersanding denganmu. Kau bagai langit yang menjulang tinggi, sedangkan aku bagai bumi yang setiap hari diinjak dan diludahi.

Kau menunduk, kemudian menatapku lama. Hatiku terasa hancur saat ayahmu menolak lamaranku. Aku merasa seperti lelaki tak berguna.

“Kau tahu apa itu horison, Mal?” kau menatapku dengan sedikit senyum. Wajahmu menularkan hawa sejuk di hatiku yang kini kelabu.

“Horison?”

Sejenak heran menghinggapiku. Aku tahu horison, namun kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu?

“Ya, horison. Kau lihat di ujung laut sana, tepat dimana matahari dua jam lagi akan tenggelam. Garis tempat awal matahari bersembunyi. Itulah horison,”

“Lalu?” aku merasa bingung. Kau seolah sedang menjelaskan makalah astronomi.

“Jika memang aku kau ibaratkan langit, dan kau buminya, maka horison adalah tempat dimana kita akan bersatu.”

Bulir bening menetes dari mata sayumu. Aku tahu kau pun merasa hal yang sama. Aku tahu kita sama-sama terluka.

***


Aku menatap meja tamu yang kosong, tak ada makanan, tak ada minuman. Asap rokok mengepul dari mulut lelaki berkalung perak itu. Dia, pedagang emas terbesar di kota ini, ayahmu.

“Kau yakin bisa menghidupi anak perempuanku?” tatapan sinisnya terasa bagai sinar pengecil, merendahkan, membuatku merasa bodoh, kenapa lancang sekali aku duduk di sini. Lantai marmer hijau yang harusnya menyejukkan mata terasa bagai dasar kuali raksasa yang membuat kakiku melepuh jika tak segera beranjak dari sini.

“Huh, anak gadisku itu cantik, bungsu pula! Kau pikir dengan pekerjaanmu itu kau bisa berikan apa yang selama ini aku beri padanya? Apa kau bilang tadi? Karyawan perminyakan? Hei kau lihat aku! Sejak dulu aku dan para leluhurku tak ada yang jadi karyawan! Kami semua memiliki usaha walau kecil-kecilan. Kami semua bermental bisnis, bukan pegawai dan karyawan kacangan!”

Ku lihat kau mengintip di balik tirai sutra, pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah. Sekejap, aku kembali menunduk. Kepalaku bagai dihimpit besi seberat 50 kg, tak sanggup aku menengadah. Bahkan untuk sekedar menelan ludah, aku harus mengerahkan seluruh kekuatan otot leherku. Ini lebih berat dari pada wawancara kerja yang baru aku lalui sebulan lalu.

Patung kepala naga tepat berada di dinding belakang ayahmu, terpantul oleh marmer hijau mengkilat. Ia seolah menatapku, mengejek aku yang sedari tadi hanya membisu, tak mampu menjawab walau hanya satu kata, mati kutu.

“Bukan, bukan hanya masalah pekerjaanmu yang aku tak suka. Anak muda, aku tidak suka kau! Kau dengar itu? Aku memang tak suka kau!”

Cukup! Aku sudah merasa muak mendengar ocehan lelaki botak ini sedari tadi! Bergegas aku berdiri, angkat kaki dari rumah sialan yang telah membuatku seolah anjing kurap yang bisa dimaki dan dilempar kotoran! Aku masih punya harga diri!

“Hei anak muda, coba kau dengar ini!”

Langkahku sejanak terhenti saat memutar pegangan pintu. Aku menoleh ke belakang, kali ini tepat menatap lelaki tua itu.

“Aku tak ingin darahku dikotori oleh darah kalian. Kalian lihat, siapa kriminal negeri ini? Orang-orangmu! Kau lihat siapa orang miskin di negeri ini? Orang-orangmu! Kau paham maksudku? Darah orang-orangmu itu pembawa sial! Pembawa petaka!”

Bangsat! Ku banting pintu bercat emas dengan kuat.

***

Tahukah kau, ada dua cara mudah membuat magnet. Yang pertama kau bisa lilitkan kabel yang telah dihubungkan ke baterai ke sebuah batangan besi. Yang kedua kau bisa menggesek-gesekkan magnet secara satu arah berulang-ulang ke batangan besi itu. Semakin lama kau gesekkan, makin kuat magnet baru yang kau dapat. Dan ku pikir, cinta tak jauh beda dengan magnet.

Cinta pada pandangan pertama, kau bisa sebut itu dengan magnet baru jenis pertama. Bagai batangan besi yang telah dililit kabel berarus, zzzzzt! Cinta itu muncul. Hati terasa hangat, otak dipenuhi bayang orang yang dicinta. Orang bilang, cinta jenis ini tak pernah dusta, ia akan melihat apa adanya. Sayang, aku tak pernah merasakannya.

Ada juga cinta langka yang hanya muncul pada segelintir orang. Mungkin inilah yang kurasakan padamu. Cinta yang muncul karena gesekan berkesinambungan yang telah terjadi bahkan sejak aku belum paham konsep cinta. Gesekan setiap kali aku melihat poni rambut pendekmu yang selalu sama dari dulu, sejak kita masih memakai seragam TK dan masih membawa bekal ke sekolah. Cinta yang aku rasa bagai magnet yang dibuat dengan gesekan, gesekan yang berlangsung sangat lama hingga aku yakin megnet yang ku sebut cinta ini telah menjadi magnet abadi, magnet yang tak akan pernah mati. Magnet cinta yang muncul karena terbiasa.

Aku tak merasa cemburu saat dulu kau pacaran dengan Hendri, anak teman ayahmu. Aku sadar aku tak berhak marah, tak berhak pula mengaturmu. Tapi aku bisa pastikan aku selalu merasa rindu saat bangkumu di sebelahku kosong. Aku merasa kosong jika sehari saja aku tak melihat mata sipitmu. Aku merasa hampa jika sehari saja aku tak mendengar tawa cekikikanmu.

Aku tak tahu kenapa selama 13 tahun kita selalu menuju sekolah yang sama, bahkan juga selalu ada di kelas yang sama. Kebetulan? Saat kau percaya konsep takdir, pasti kau tak akan percaya adanya kebetulan. Semuanya telah diatur oleh Dia Yang Maha Bijaksana.

“Aku akan kembali. Pasti!” aku menatap matamu yang kuyu.

Aku tahu ini berat, tapi apa boleh buat. Kau harus membantu bisnis ayahmu, sedangkan aku harus kuliah, memenuhi amanah dari orang tuaku, keluargaku. Aku harus menjadi cucu kakekku yang pertama yang menjadi sarjana. Aku harus menjadi anak yang akan mengubah nasib keluarga.

Kau membalas menatapku. Tiga belas tahun sudah kita selalu bersama, tapi saat ini, di sini, aku merasa kehangatan dari tatapanmu. Rindu selalu aku rasakan saat aku tak berjumpa denganmu, tapi yang ku rasa kini berbeda, bukan sekedar rindu. Perasaan bahagia, hangat, tapi juga sedikit sakit di tulang dada, mungkinkah karena tubuhku mengenalimu sebagai bagian darinya yang hilang?

Aku mulai mengerti hakikat sebuah cinta. Aku mulai sadar mengapa banyak orang rela berkorban nyawa deminya. Semua rasa yang ku punya akan kuberikan padamu. Segala apa yang kubisa akan kuserahkan padamu. Hanya kau yang berhak atas sayangku, rinduku, cemburuku.

***
“Pak, sebentar lagi kita sampai di Terusan Suez,”

Seorang kelasi berpakaian rapi mengagetkan aku yang sedari tadi menatap langit Laut Merah yang jernih. Angin sejuk musim semi menerpa wajahku, mempermainkan rambutku yang mulai panjang. Beberapa kali ombak nakal membuat kapal oleng, namun tak cukup kuat menggulingkan kapal besar ini.

“Ah, ya!”

Aku harus bersiap-siap memasuki perbatasaan negara Mesir. Segala dokumen penting yang harus diselesaikan dan tetek-bengek urusan antar negara. Ini pertama kalinya aku melakukan pelayaran kapal sejak aku bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan perminyakan.

Ah, andai kau tahu, kini aku tak lagi hanya sekedar karyawan seperti sepuluh tahun lalu, saat ayahmu mengusirku, menolakku mentah-mentah. Aku kini adalah asisten ahli sang direktur. Ayahmu pasti terkaget-kaget jika tahu sudah jadi apa aku sekarang.

Kebutuhan untuk sumber minyak baru mengharuskanku untuk melakukan penelitian secara langsung ke lokasi penambangan, di Maroko. Kenapa aku harus memilih kapal dari pada pesawat? Tak perlulah kini kau tahu.

Aku suka pekerjaanku saat ini. Bosku, Prof. Ahmad Syarbaini Simabua, adalah seorang muslim, asli Indonesia dan taat beragama. Ayahmu pasti akan sangat terkejut saat tahu kalau ternyata kini perusahaan minyak terbesar di negeri kita tak lagi dipegang oleh orang-orang bermata sipit, namun kini dipegang oleh pemilik asalnya, orang asli Indonesia, yang dulu sempat dilecehkan oleh ayahmu.

Prof. Syarbaini sudah ku anggap bagai ayah sendiri. Aku tak tahu bagaimana ia memandangku, namun para karyawan memulai desas-desus bahwa beliau mau menjodohkanku dengan anak perempuan bungsunya yang kini masih di bangku kuliah, Maya namanya. Wanita anggun berkerudung dalam. Kau ingat tentang teori cinta dan magnet yang pernah kuceritakan? Ku pikir aku merasa cinta jenis magnet pertama padanya.

Ah, aku tak ambil pusing. Yang aku tahu kini adalah aku bekerja untuk orang yang tepat, yang melakukan bisnis bukan sekedar mencari keuntungan, namun untuk mengembalikan bangsanya kembali ke puncak kejayaan. Sepuluh tahun terakhir membuatku membuka mata, melihat dengan jernih, bahwa ternyata hampir seluruh lini bisnis di negeriku dipegang oleh orang-orang nonpribumi, dipegang oleh asing. Pantas jika dulu ayahmu memandang rendah aku dan kaumku.

Surat darimu dua tahun lalu masih kusimpan, kini kugenggam. Kau akhirnya luluh dengan kekangan ayahmu, menikah dengan lelaki pilihannya, Hendri. Aku masih ingat tampangnya yang seperti bos Yakuza. Aku hancur, namun aku tahu bahwa hidup harus tetap kujalani. Pertunjukkan harus tetap kulanjutkan.

Ah, ya. Tentu kau masih penasaran, kenapa aku harus memilih naik kapal laut yang memakan waktu lebih lama dari pada pesawat?

Pertama, karena aku ingin lebih dekat dengan karyawan-karyawanku. Aku tak ingin terlalu eksklusif hingga seolah memperbudak karyawan yang bahkan rela berkorban nyawa demi aku, demi Prof. Syarbaini. Aku mencintai mereka, dan aku tahu mereka juga mencintai aku.

Kedua, entah kenapa aku tertarik saat beberapa karyawan bercerita padaku bahwa mereka akan membelah Samudera Hindia untuk menuju Maroko sana. Aku jadi teringat sore terakhir aku melihatmu setelah mukaku diludahi ayahmu. Aku masih ingat saat kau memberiku perumpamaan tentang horison, garis pertemuan langit dan bumi sambil menunjuk ujung Samudera Hindia.

Aku kini sadar bahwa horison hanyalah garis khayal karena keterbatasan penglihatan manusia. Aku sadar bahwa sebenarnya langit dan bumi tak pernah bertemu. Aku sadar bahwa kau dan aku tak akan pernah bisa bersatu.

***

 Kairo, 21 Oktober 2013

*Tulisan pernah dimuat di Buletin Informatika Orsat ICMI Kairo

No comments:

Post a Comment