بسم الله الرحمن الر حيم
إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران– الآية: 102
“Iyyaka Na’budu wa Iyyakan Nasta’in”
Apa Maksud ayat “Iyyaka Na’budu wa Iyyakan Nasta’in” adalah “(Tuhan kami) Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”[1]
astagfirullah hal azim.
Ibadah kepada Allah Swt adalah menunjukkan bahwa Anda dimiliki oleh Allah Swt.[2] Isti’ânah (memohon pertolongan), meminta hal-hal yang bersifat spiritual dan maknawiyat dan ‘aun.[3] Sementara ‘aun bermakna mutlak pertolongan dan bantuan.[4]
Ayat-ayat yang disebutkan pada permulaan surah al-Fatiha berbicara tentang tauhid zat dan sifat. Adapun pada ayat, “Iyyaka Na’budu wa Iyyakan Nasta’in” berkata-kata tentang tauhid ibadah (ibadi) dan tauhid perbuatan (af’ali). Tauhid ibadah bermakna kita meyakini bahwa tiada satu pun yang layak disembah kecuali zat Allah dan berserah diri hanya pada-Nya serta menjauh dari penyembahan dan penyerahan diri kepada selain zat-Nya. Tauhid perbuatan (af’âli) adalah kita memandang bahwa satu-satunya yang memberikan pengaruh secara hakiki di alam ini adalah Allah Swt. Hal ini tidak bermakna bahwa kita tidak mencari media-media sebab, melainkan meyakini bahwa segala sesuatu dapat berlaku dan berpengaruh sesuai dengan titah Allah Swt.[5] Pemikiran dan keyakinan ini akan memutuskan diri dari segala sesuatu dan merapatkan dirinya hanya kepada Allah Swt.[6]
Imam Ridha As bersabda, “Iyyaka na’budu” adalah ekspresi keinginan kuat dan pencarian kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt dan mengungkapkan ketulusan dalam perbuatan untuknya dan bukan selain-Nya. Sementara iyyaka nasta’in adalah memohon taufik dan ibadah yang banyak dari Allah Swt dan memohon keberlangsungan segala karunia serta memohon pertolongan kepada Allah Swt.[7]
Berikut ini adalah beberapa poin tafsiran atas redaksi ayat di atas:[8]
Hanya Allah Swt yang layak dan harus disembah dan satu-satunya realitas yang dapat dimintai pertolongan hanyalah Allah Swt.
[9]
Dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya yang mencakup keyakinan-keyakinan manusia dan pada ayat ini menjelaskan amalan manusia yaitu ibadah kita dapat mengambil dua kesimpulan. Pertama, bahwa pikiran-pikiran manusia adalah dasar dan asas perbuatan-perbuatannya. Kedua, rububiyah Allah Swt atas seluruh makhluk, sifat Maharahman dan Maharahim serta kekuasan atas hari Kiamat adalah sebaik-baik dalil bahwa Dialah yang patut disembah.
[10]
Mengabaikan dirinya di hadapan Allah Swt merupakan salah satu adab penyembahan kepada-Nya. Penggunaan redaksi kata “kami” sebagai ganti “aku” terkadang dimaksudkan untuk pengagungan dan terkadang untuk menghindari ananiyah dan egoisme. Pelbagai indikasi adalah penentu maksud dan di sini selaras dengan penyembahan, menghindari ananiyah dan egosime. Karena itu, kami menyembah (na’budu) menggunakan bentuk kalimat mutakallim ma’a al-ghair (kami).
Manusia dalam beribadah kepada Tuhan dan ketulusan dalam ibadah memerlukan pertolongan Ilahi. Nasta’in mengacu pada seluruh tugas yang dapat disimpulkan dari surah al-Fatiha dan keharusan tauhid yang dapat disimpulkan dari iyyaka na’budu.
Manusia selagi memiliki ikhtiar dalam ibadah kepada Allah Swt, tanpa pertolongan-Nya manusia tidak akan mampu melakukannya.
[11]
Manusia senantiasa memerlukan pertolongan Allah Swt sepanjang hidupnya.
Mari kita ber istigfar mohon ampun atas kekhilafan kita
astagfirullah hal azim.
Ibadah kepada Allah Swt adalah menunjukkan bahwa Anda dimiliki oleh Allah Swt.[2] Isti’ânah (memohon pertolongan), meminta hal-hal yang bersifat spiritual dan maknawiyat dan ‘aun.[3] Sementara ‘aun bermakna mutlak pertolongan dan bantuan.[4]
Ayat-ayat yang disebutkan pada permulaan surah al-Fatiha berbicara tentang tauhid zat dan sifat. Adapun pada ayat, “Iyyaka Na’budu wa Iyyakan Nasta’in” berkata-kata tentang tauhid ibadah (ibadi) dan tauhid perbuatan (af’ali). Tauhid ibadah bermakna kita meyakini bahwa tiada satu pun yang layak disembah kecuali zat Allah dan berserah diri hanya pada-Nya serta menjauh dari penyembahan dan penyerahan diri kepada selain zat-Nya. Tauhid perbuatan (af’âli) adalah kita memandang bahwa satu-satunya yang memberikan pengaruh secara hakiki di alam ini adalah Allah Swt. Hal ini tidak bermakna bahwa kita tidak mencari media-media sebab, melainkan meyakini bahwa segala sesuatu dapat berlaku dan berpengaruh sesuai dengan titah Allah Swt.[5] Pemikiran dan keyakinan ini akan memutuskan diri dari segala sesuatu dan merapatkan dirinya hanya kepada Allah Swt.[6]
Imam Ridha As bersabda, “Iyyaka na’budu” adalah ekspresi keinginan kuat dan pencarian kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt dan mengungkapkan ketulusan dalam perbuatan untuknya dan bukan selain-Nya. Sementara iyyaka nasta’in adalah memohon taufik dan ibadah yang banyak dari Allah Swt dan memohon keberlangsungan segala karunia serta memohon pertolongan kepada Allah Swt.[7]
Berikut ini adalah beberapa poin tafsiran atas redaksi ayat di atas:[8]
Hanya Allah Swt yang layak dan harus disembah dan satu-satunya realitas yang dapat dimintai pertolongan hanyalah Allah Swt.
[9]
Dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya yang mencakup keyakinan-keyakinan manusia dan pada ayat ini menjelaskan amalan manusia yaitu ibadah kita dapat mengambil dua kesimpulan. Pertama, bahwa pikiran-pikiran manusia adalah dasar dan asas perbuatan-perbuatannya. Kedua, rububiyah Allah Swt atas seluruh makhluk, sifat Maharahman dan Maharahim serta kekuasan atas hari Kiamat adalah sebaik-baik dalil bahwa Dialah yang patut disembah.
[10]
Mengabaikan dirinya di hadapan Allah Swt merupakan salah satu adab penyembahan kepada-Nya. Penggunaan redaksi kata “kami” sebagai ganti “aku” terkadang dimaksudkan untuk pengagungan dan terkadang untuk menghindari ananiyah dan egoisme. Pelbagai indikasi adalah penentu maksud dan di sini selaras dengan penyembahan, menghindari ananiyah dan egosime. Karena itu, kami menyembah (na’budu) menggunakan bentuk kalimat mutakallim ma’a al-ghair (kami).
Manusia dalam beribadah kepada Tuhan dan ketulusan dalam ibadah memerlukan pertolongan Ilahi. Nasta’in mengacu pada seluruh tugas yang dapat disimpulkan dari surah al-Fatiha dan keharusan tauhid yang dapat disimpulkan dari iyyaka na’budu.
Manusia selagi memiliki ikhtiar dalam ibadah kepada Allah Swt, tanpa pertolongan-Nya manusia tidak akan mampu melakukannya.
[11]
Manusia senantiasa memerlukan pertolongan Allah Swt sepanjang hidupnya.
Mari kita ber istigfar mohon ampun atas kekhilafan kita
Astagfirullah hal adzim....
Rahasia penciptaan, perintah, kitab-kitab, syariat, pahala dan siksa
terpusat pada dua penggal kalimat ini, yang sekaligus merupakan inti
ubudiyah dan tauhid. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Allah
menurunkan seratus empat kitab, yang makna-maknanya terhimpun dalam
Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Makna-makna tiga kitab ini terhimpun di
dalam Al-Qur’an. Makna-makna Al-Qur’an terhimpun dalam surat-surat yang
pendek. Makna-makna dalam surat-surat yang pendek terhimpun dalam surat
Al-Fatihah. Makna-makna Al-Fatihah terhimpun di dalam iyyaka na’budu wa iyya-ka nasta’in. Dua kalimat ini dibagi antara milik Allah dan milik hamba-Nya. Separoh bagi Allah, yaitu iyyaka na’budu, dan separoh lagi bagi hamba-Nya, yaitu iyyaka nasta’in.
Ibadah mengandung dua dasar: Cinta dan penyembahan. Menyembah di sini
artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku cinta namun
tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa yang tunduk
namun tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Dia disebut orang
yang menyembah jika cinta dan tunduk. Karena itu orang orang yang
mengingkari cinta hamba terhadap Allah adalah orang-orang yang
mengingkari hakikat ubudiyah dan sekaligus mengingkari keberadaan Allah
sebagai Dzat yang mereka cinta, yang berarti mereka juga mengingkari
keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan), sekalipun mereka
mengakui Allah sebagai penguasa semesta alam dan pencipta-nya. Inilah
tauhid mereka yang terbatas pada tauhid Rububiyah, seperti pengakuan
bangsa Arab, tapi mereka tidak keluar dari syirik, sebagaimanafirman
Allah,
“Dan, sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.” (Az-Zumar; 38).
Isti’anah (memohon pertolongan) menghimpun dua dasar:
Kepercayaan terhadap Allah dan penyandaran kepada-Nya. Adakalanya
seorang hamba menaruh kepercayaan terhadap seseorang, tapi dia tidak
menyandarkan semua urusan kepadanya, karena dia merasa tidak membutuhkan
dirinya. Atau adakalanya seseorang menyandarkan berbagai urusan kepada
seseorang, padahal sebenarnya dia tidak percaya kepadanya, karena dia
merasa membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang memenuhi
kebutuhannya. Karena itu dia bersandar kepadanya.
Tawakal merupakan makna yang juga cocok dengan dua dasar ini, kepercayaan dan penyandaran, yang sekaligus merupakan hakikat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Dua
dasar ini, tawakal dan ibadah disebut-kan di beberapa tempat dalam
Al-Qur’an, yang keduanya disebutkan secaraberurutan, di antaranya,
“Dan, kepunyaan Allahlah apa yang gaib di langit dan di bumi dan
kepada-Nyalah dikembalikan semua urusan, maka sembahlah Dia dan
bertawakallah kepada-Nya.” {Hud: 123).
“Ibadah” didahulukan daripada “Isti’anah” di dalam Al-Fatihah merupakan gambaran didahulukannya tujuan daripada sarana. Hal ini bisa dilihat dari beberapa sebab:
1. “Ibadah” merupakan tujuan penciptaan hamba, sedangkan “Isti’anah” merupakan sarana untuk dapat melaksanakan “Ibadah” itu.
2. Iyyaka na’budu berkaitan dengan Uluhiyah-Nya dan asma “Allah”. Sedangkan iyyaka nasta’in berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan asma “Ar-Rabb”. Karena itu iyyaka na’budu didahulukan daripada iyyaka nasta’in,sebagaimana asma Allah yang didahulukan daripada asma Ar- Rabb di awal Al-Fatihah.
3. Iyyaka na’budu merupakan bagian Allah dan juga merupakan pujian terhadap Allah, karena memang Dia layak menerimanya, sedangkan iyyaka nasta’in merupakan bagian hamba, begitu pula ihdinash-shirath-almustaqim hingga akhir surat.
4. “Ibadah” secara total mencakup “Isti’anah” dan tidak bisa
dibalik. Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang
sempurna adalah orang yang memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak
bisa dibalik. Sebab orang yang dikuasai berbagai macam tujuan pribadi
dansyahwatnya, juga bisa memohon pertolongan kepada-Nya, hanya karena
ingin memuaskan nafsunya. Karena itu ibadah harus lebih sempurna.
Berarti “Isti’anah” merupakan bagian dari “Ibadah” dan tidak bisa dibalik, sebab “Isti’anah” merupakan permohonan dari-Nya, sedang “Ibadah” merupakan permohonan bagi-Nya.
dibalik. Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang
sempurna adalah orang yang memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak
bisa dibalik. Sebab orang yang dikuasai berbagai macam tujuan pribadi
dansyahwatnya, juga bisa memohon pertolongan kepada-Nya, hanya karena
ingin memuaskan nafsunya. Karena itu ibadah harus lebih sempurna.
Berarti “Isti’anah” merupakan bagian dari “Ibadah” dan tidak bisa dibalik, sebab “Isti’anah” merupakan permohonan dari-Nya, sedang “Ibadah” merupakan permohonan bagi-Nya.
5. “Ibadah” hanya dilakukan orang yang ikhlas, sedangkan “Isti’anah” bisa dilakukan orang yang ikhlas dan yang tidak ikhlas.
6. “Ibadah” merupakan hak Allah yang diwajibkan kepada hamba, sedangkan “Isti’anah” merupakan permohonan pertolongan untuk dapat melaksanakan “Ibadah”.
7. “Ibadah” merupakan gambaran syukur terhadap nikmat yang dilimpahkan
kepadamu, dan Allah suka untuk disyukuri. Pemberian pertolongan
merupakan taufik Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau komitmen
dalam beribadah kepada-Nya dan ibadahmu lebih sempurna, maka pertolongan
Allah yang diberikan kepadamu juga lebih besar.
8. Iyyaka na’budu merupakan hak Allah dan iyyaka nasta’in merupakan
kewajiban Allah. Hak-Nya harus didahulukan daripada kewajiban-Nya.
Sebab hak Allah berkaitan dengan cinta dan ridha-Nya, sedangkan
kewajiban-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Apa yang bergantungkepada
cinta-Nya harus lebih sempurna daripada apa yang bergantungkepada
kehendak-Nya. Semua yang ada di alam, para malaikat maupun syetan,
orang-orang Mukmin maupun orang-orang kafir, orang yang taat maupun
orang yang durhaka, semuanya bergantung kepada kehendak-Nya. Apa yang
bergantung kepada cinta-Nya adalah ketaatandan iman mereka. Orang-orang
kafir ada dalam kehendak-Nya dan orang-orang Mukmin ada dalam cinta-Nya.
Dari beberapa rahasia ini dapat diketahui secara jelas hikmah didahulukannya iyyaka na’budu daripada iyyaka nasta’in.
Wallahu A'lam Bissowaf.
No comments:
Post a Comment