Sengaja saya sensor ;) |
“Betapa seorang HAMKA berusaha menghilangkan sekat-sekat kesukuan bangsa kita, demi kemerdekaan,” ujar seorang kawan setelah menonton kisah cinta Zainudin dan Hayati di film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKV).
Entah kenapa, saya menangkap ada nada sindiran dari pernyataan tersebut. Saya yang orang Minang, tentu merasa sedikit tidak enak, karena seolah si kawan mengatakan, “Ternyata orang Minang menganggap rendah orang nonminang,”
Hm, benarkah demikian?
Kesalahpahaman penonton akibat film TKV sebenarnya tidak bisa disalahkan begitu saja, karena memang setelah saya tonton, kesalahan ada pada sutradara. Ada satu poin penting cerita yang entah disengaja atau tidak, dihapus dan tidak dimasukkan ke dalam cerita. Fatal.
Sejatinya, tenggelamnya kapal Van Der Wijck adalah roman karya Buya Hamka, ulama yang juga sastrawan angkatan Pujangga Baru, pada tahun 1938. Sekitar 7 dekade setelah pertama kali roman tersebut terbit, sebuah film adaptasi pun diproduksi, disutradarai oleh Sunil soraya, tepatnya tahun 2013.
Roman tersebut dimulai dengan kisah Pandeka Sutan (Pendekar Sultan, jika ingin diindonesiakan) yang diusir dari kampungnya, Batipuah, Tanah Datar, akibat membunuh mamaknya. Mamak adalah saudara lelaki ibu di Minangkabau. Pembunuhan tersebut berawal dari sengketa harta.
Pandeka Sutan diusir ke Cilacap, kemudian ia menetap di Makassar. Menikah dengan Daeng Habibah, dan lahirlah Zainudin, tokoh sentral roman ini. Daeng Habibah dan Pandeka Sutan meninggal kala Zainudin masih kecil. Tinggallah Zainudin dengan Mak Base sebagai pengasuhnya.
Dari sini, barulah kisah dilanjutkan oleh film Sunil Soraya. Zainudin berlayar ke kampung bapaknya, saling jatuh cinta dengan Hayati, cinta mereka tidak direstui dan seterusnya. Penonton normal akan mengira bahwa cinta Zainudin dan Hayati tidak bisa bersatu karena Zainudin bukan orang Minang. Wajar. Namun bukan itu sebabnya, poin penting yang dihilangkan di awallah yang membuat kesalahpahaman terjadi.
Zainudin ditolak karena di tubuhnya mengalir darah pembunuh, ayahnya Pandeka Sutan. Tahukah penonton kisah Pandeka Sutan? Tentu tidak. Yang tahu hanya yang pernah membaca.
Benarkah wanita Minang tidak diperkenankan menikah dengan lelaki nonminang sebagaimana yang digambarkan dalam film TKV?
Menjawab ini, saya lebih suka untuk mengemukakan beberapa fakta.
Tentu pembaca tahu dengan Prof. Yusril Ihza Mahendra, pakar tata negara yang sudah beberapa kali menjadi menteri. Selain tokoh besar perpolitikan Indonesia, beliau juga merupakan penghulu adat Minangkabau dengan gelar Datuak Maharajo Palinduang. Tahu tidak, ternyata ayah dari Prof. Yusril bukanlah orang Minang, ayahnya berasal dari Johor Malaysia. Meskipun bukan Minang, ayahnya tetap bisa menikahi gadis Minang, dan lahirlah Prof. Yusril.
Lagi, mantan menkominfo RI, Ir. Tifatul Sembiring. Mendengar namanya, terlihat bahwa ia berasal dari Sumatera Utara. Namun, tahu tidak, ternyata ibunya adalah orang Minang, dan Ir. Tifatul juga menghabiskan masa kecilnya di Guguak Tinggi, kampung ibunya. Bahkan, Ir. Tifatul juga merupakan penghulu adat dengan gelar kebesaran Datuak Tumangguang.
Jadi, anggapan bahwa wanita Minang dilarang menikah dengan lelaki nonminang itu keliru. Bahkan, beberapa orang tua akan bangga jika anak wanitanya menikah dengan lelaki nonminang, karena keturunan yang akan dihasilkan nanti memiliki dua suku.
Berbeda dengan lelaki Minang. Memang, tidak ada paksaan untuk menikahi siapa, namun sudah menjadi anjuran, bahwa lelaki Minang tidak menikah, kecuali dengan wanita Minang. Karena lelaki dalam adat Minangkabau tidak mewariskan suku, ia hanya mewariskan nasab.
Halaman depan roman |
Kedua, salahkah keluarga Hayati jika mereka lebih memilih Aziz dari pada Zainudin?
Harus dikata, bahwa manusia hanya bisa menghukum perkara lahir, sedangkan urusan batin, biar Tuhan yang mengurusnya. Aziz berasal dari keluarga berada, ia pun punya pekerjaan yang menjamin kelangsungan hidupnya.
Adapun Zainudin, ia hanya orang baru di kampung bapaknya. Tak punya pekerjaan, penduduk sekitar mengira dia hanya menumpang tinggal di rumah bibinya. Kerjanya hanya menulis dan menulis, tidak ‘berseragam’, dan dia berani mengajukan lamaran kepada bunga desa. Normal, orang tua mana yang mau menyerahkan anak gadisnya kepada lelaki yang tidak jelas masa depannya?
Kesalahan keluarga Hayati hanya satu, mereka tidak meneliti lebih jauh sepak terjang Aziz dan kebiasaan judinya. Mereka juga tidak meneliti watak serta potensi Zainudin yang luar biasa. Sangat disayangkan.
Yah, ini sekedar kritik terhadap plot film TKV yang menurut saya tidak lengkap, dan ketidaklengkapan ini sangat fatal sehingga membuat banyak penonton salah sangka. Alhamdulillah, dahulu saya sempat membaca roman aslinya sehingga tahu apa yang kurang di dalam cerita.
Untuk komentar lain tentang film, manurut saya akting Herjunot Ali sebagai Zainudin sangat bagus. Saya tidak bisa berkomentar, apakah ia lihai atau tidak menirukan logat Makassar. Saya bukan orang Makassar. Namun akting lawan mainnya, Pevita, buruk. Bukan hanya kaku dalam bertingkah, logat Minangnya juga jauh dari harapan. Bagi saya, tidak ada alasan, “Maklum, dia kan bukan orang Minang,”
Hei, bukankah itu tugas seorang aktris? Memainkan perannya sesempurna mungkin? Tapi ya sudahlah, hanya orang Minang yang tahu apakah logatnya pas atau tidak. Toh, kebanyakan penonton tetap bisa menikmati cerita.
Ah, iya. Di akhir roman, sebenarnya Zainudin meninggal setelah sakit-sakitan kehilangan Hayati. Namun di film, Zainudin bisa move on, dan tak bisa dipungkiri, saya lebih suka ending di film dari pada roman aslinya.
Saya pribadi, tetap mengharapkan industri perfilman Indonesia menjadi lebih baik, bukan hanya dari segi kualitas visual, namun juga pesan moral yang terkandung di dalamnya. Khusus untuk film yang diadaptasi dari karya tulis, ada baiknya tidak terlalu mengubah poin cerita, apalagi jika sampai sefatal TKV, bahaya.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
No comments:
Post a Comment