Saturday, January 31, 2015

Petualangan Umar bin Khattab Mencari Menantu



Hafshah binti Umar bin Khatthab adalah salah satu istri Rasulullah Saw. Beliau adalah janda yang dinikahi Nabi Saw, setelah suaminya, Khunais bin Huzafah Al-Anshari mati syahid di perang Badar.
Ada cerita menarik sebelum Hafshah dinikahi oleh Rasulullah Saw.
Sebagai bapak yang baik, Umar bin Khatthab tidak ingin anaknya lama menjanda. Ia ingin agar anaknya segera menikah dan mendapat lelaki saleh sebagai pelindungnya. Setelah masa idah  Hafshah selesai, Umar segera menemui Usman bin Affan, seorang sahabat yang terkenal kemuliaannya.
“Usman! Jika kamu bersedia, aku ingin menikahkanmu dengan Hafshah,” ujar Umar.
Mendengar tawaran Umar, Usman menjawab, “Kalau begitu, aku akan berpikir terlebih dahulu,”
Beberapa hari Usman lewati untuk menimbang tawaran Umar hingga akhirnya ia menolak.
Masih didorong keinginan agar anaknya mendapat lelaki saleh, Umar datang menemui Abu Bakar, menawarkan hal yang sama. Mendengar tawaran Umar, Abu bakar hanya diam, tidak memberi jawaban.
Siapa mengira jika beberapa hari kemudian Hafshah malah dilamar oleh lelaki paling saleh dunia akhirat, Rasulullah Saw. Dan ternyata penolakan dari Utsman dan Abu Bakar disebabkan oleh tingginya kemuliaan yang dimiliki Hafshah, sehingga tidak ada yang lebih pantas meminangnya selain Rasulullah Saw.
And then, they lived happily ever after..
***
Dr. Ismail Ali Sulaiman, penulis buku tafsir dimana kisah ini saya baca, memberikan komentar bahwa tindakan Umar adalah tindakan seorang lelaki sejati. Ia sangat ingin mendapatkan menantu terbaik. Ia melawan gengsi untuk menawarkan anak gadisnya kepada para lelaki hebat yang dimiliki umat.
Bandingkan dengan bapak zaman sekarang. Ada yang memasung anak gadisnya di rumah, tanpa sedikitpun usaha, tetap berharap akan ada lelaki yang datang. Apa-apaan??!
Atau tipe lain, membiarkan anak gadisnya liar bebas menggembara. Syukur, jika anak gadisnya kembali sehat wal afiat dan mendapat pendamping yang pas sempurna. Bukankah tak jarang, bapak seperti ini ujungnya malah menanggung malu karena anaknya berbadan dua sebelum waktunya?
Inilah sebenarnya yang ditawarkan adat Minang. Orang bilang, wanita Minang agresif karena melamar lelaki. Ini adalah pemahaman yang keliru, karena sejatinya, bukan wanita Minang yang melamar, namun orang tuanya, mamaknya (paman dari pihak ibu), serta datuaknya (pemimpin suku).
Keluarga si wanita berusaha untuk mencari pendamping yang baik untuk anak gadisnya. Setelah didapat, baru diadakan tunangan (batimbang tando), dan dilanjutkan dengan prosedur pernikahan lainnya.
Bukankah sama, kegigihan Umar dengan kegigihan keluarga Minangkabau untuk mendapatkan menantu terbaik?
Terakhir, kepada para bapak, menginginkan menantu terbaik bukanlah aib yang harus dihindari. Itu adalah sebuah hal wajar, dan berusaha untuk menemukannya bukanlah sesuatu yang harus terhalang gengsi. Jika lelaki semulia, sesaleh, dan segarang Umar bin Khatthab saja sanggup menelan gengsi demi mendapatkan menantu terbaik, lalu bagaimana dengan kita yang jika dibandingkan dengan Umar entah berada dimana?
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Wednesday, January 28, 2015

Catatan Kecil Tentang Van Der Wijck


Sengaja saya sensor ;)

“Betapa seorang HAMKA berusaha menghilangkan sekat-sekat kesukuan bangsa kita, demi kemerdekaan,” ujar seorang kawan setelah menonton kisah cinta Zainudin dan Hayati di film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKV).

Entah kenapa, saya menangkap ada nada sindiran dari pernyataan tersebut. Saya yang orang Minang, tentu merasa sedikit tidak enak, karena seolah si kawan mengatakan, “Ternyata orang Minang menganggap rendah orang nonminang,”
Hm, benarkah demikian?
Kesalahpahaman penonton akibat film TKV sebenarnya tidak bisa disalahkan begitu saja, karena memang setelah saya tonton, kesalahan ada pada sutradara. Ada satu poin penting cerita yang entah disengaja atau tidak, dihapus dan tidak dimasukkan ke dalam cerita. Fatal.

Sejatinya, tenggelamnya kapal Van Der Wijck adalah roman karya Buya Hamka, ulama yang juga sastrawan angkatan Pujangga Baru, pada tahun 1938. Sekitar 7 dekade setelah pertama kali roman tersebut terbit, sebuah film adaptasi pun diproduksi, disutradarai oleh Sunil soraya, tepatnya tahun 2013.
Roman tersebut dimulai dengan kisah Pandeka Sutan (Pendekar Sultan, jika ingin diindonesiakan) yang diusir dari kampungnya, Batipuah, Tanah Datar, akibat membunuh mamaknya. Mamak adalah saudara lelaki ibu di Minangkabau. Pembunuhan tersebut berawal dari sengketa harta.
Pandeka Sutan diusir ke Cilacap, kemudian ia menetap di Makassar. Menikah dengan Daeng Habibah, dan lahirlah Zainudin, tokoh sentral roman ini. Daeng Habibah dan Pandeka Sutan meninggal kala Zainudin masih kecil. Tinggallah Zainudin dengan Mak Base sebagai pengasuhnya.
Dari sini, barulah kisah dilanjutkan oleh film Sunil Soraya. Zainudin berlayar ke kampung bapaknya, saling jatuh cinta dengan Hayati, cinta mereka tidak direstui dan seterusnya. Penonton normal akan mengira bahwa cinta Zainudin dan Hayati tidak bisa bersatu karena Zainudin bukan orang Minang. Wajar. Namun bukan itu sebabnya, poin penting yang dihilangkan di awallah yang membuat kesalahpahaman terjadi.
Zainudin ditolak karena di tubuhnya mengalir darah pembunuh, ayahnya Pandeka Sutan. Tahukah penonton kisah Pandeka Sutan? Tentu tidak. Yang tahu hanya yang pernah membaca.
Benarkah wanita Minang tidak diperkenankan menikah dengan lelaki nonminang sebagaimana yang digambarkan dalam film TKV?
Menjawab ini, saya lebih suka untuk mengemukakan beberapa fakta.
Tentu pembaca tahu dengan Prof. Yusril Ihza Mahendra, pakar tata negara yang sudah beberapa kali menjadi menteri. Selain tokoh besar perpolitikan Indonesia, beliau juga merupakan penghulu adat Minangkabau dengan gelar Datuak Maharajo Palinduang. Tahu tidak, ternyata ayah dari Prof. Yusril bukanlah orang Minang, ayahnya berasal dari Johor Malaysia. Meskipun bukan Minang, ayahnya tetap bisa menikahi gadis Minang, dan lahirlah Prof. Yusril.
Lagi, mantan menkominfo RI, Ir. Tifatul Sembiring. Mendengar namanya, terlihat bahwa ia berasal dari Sumatera Utara. Namun, tahu tidak, ternyata ibunya adalah orang Minang, dan Ir. Tifatul juga menghabiskan masa kecilnya di Guguak Tinggi, kampung ibunya. Bahkan, Ir. Tifatul juga merupakan penghulu adat dengan gelar kebesaran Datuak Tumangguang.
Jadi, anggapan bahwa wanita Minang dilarang menikah dengan lelaki nonminang itu keliru. Bahkan, beberapa orang tua akan bangga jika anak wanitanya menikah dengan lelaki nonminang, karena keturunan yang akan dihasilkan nanti memiliki dua suku.
Berbeda dengan lelaki Minang. Memang, tidak ada paksaan untuk menikahi siapa, namun sudah menjadi anjuran, bahwa lelaki Minang tidak menikah, kecuali dengan wanita Minang. Karena lelaki dalam adat Minangkabau tidak mewariskan suku, ia hanya mewariskan nasab.
Halaman depan roman

Kedua, salahkah keluarga Hayati jika mereka lebih memilih Aziz dari pada Zainudin?
Harus dikata, bahwa manusia hanya bisa menghukum perkara lahir, sedangkan urusan batin, biar Tuhan yang mengurusnya. Aziz berasal dari keluarga berada, ia pun punya pekerjaan yang menjamin kelangsungan hidupnya.
Adapun Zainudin, ia hanya orang baru di kampung bapaknya. Tak punya pekerjaan, penduduk sekitar mengira dia hanya menumpang tinggal di rumah bibinya. Kerjanya hanya menulis dan menulis, tidak ‘berseragam’, dan dia berani mengajukan lamaran kepada bunga desa. Normal, orang tua mana yang mau menyerahkan anak gadisnya kepada lelaki yang tidak jelas masa depannya?
Kesalahan keluarga Hayati hanya satu, mereka tidak meneliti lebih jauh sepak terjang Aziz dan kebiasaan judinya. Mereka juga tidak meneliti watak serta potensi Zainudin yang luar biasa. Sangat disayangkan.
Yah, ini sekedar kritik terhadap plot film TKV yang menurut saya tidak lengkap, dan ketidaklengkapan ini sangat fatal sehingga membuat banyak penonton salah sangka. Alhamdulillah, dahulu saya sempat membaca roman aslinya sehingga tahu apa yang kurang di dalam cerita.
Untuk komentar lain tentang film, manurut saya akting Herjunot Ali sebagai Zainudin sangat bagus. Saya tidak bisa berkomentar, apakah ia lihai atau tidak menirukan logat Makassar. Saya bukan orang Makassar. Namun akting lawan mainnya, Pevita, buruk. Bukan hanya kaku dalam bertingkah, logat Minangnya juga jauh dari harapan. Bagi saya, tidak ada alasan, “Maklum, dia kan bukan orang Minang,”
Hei, bukankah itu tugas seorang aktris? Memainkan perannya sesempurna mungkin? Tapi ya sudahlah, hanya orang Minang yang tahu apakah logatnya pas atau tidak. Toh, kebanyakan penonton tetap bisa menikmati cerita.
Ah, iya. Di akhir roman, sebenarnya Zainudin meninggal setelah sakit-sakitan kehilangan Hayati. Namun di film, Zainudin bisa move on, dan tak bisa dipungkiri, saya lebih suka ending di film dari pada roman aslinya.
Saya pribadi, tetap mengharapkan industri perfilman Indonesia menjadi lebih baik, bukan hanya dari segi kualitas visual, namun juga pesan moral yang terkandung di dalamnya. Khusus untuk film yang diadaptasi dari karya tulis, ada baiknya tidak terlalu mengubah poin cerita, apalagi jika sampai sefatal TKV, bahaya.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Monday, January 26, 2015

"Bu, Anakmu Ini Ingin Membujang,"




Bagi kebanyakan orang, jarak akan merenggangkan hubungan. Bagiku, jarak adalah kesempatan untuk lebih banyak berbagi.
Ya, memang ibu tak bisa berbagi cucian piringnya, ayah tak bisa berbagi kopi hitamnya, aku pun tak bisa berbagi tenagaku untuk menolong ayah mencuci mobil, atau membantu ibu mengangkat belanjaan. Yang kumaksud, berbagi cerita, pengalaman. Tak langsung, namun melalui media komunikasi yang teknologi sediakan.
Saat jauh, aku jadi sadar bahwa saat-saat bercerita dengan orang tua adalah saat yang paling berharga. Dengan ayah, aku akan banyak bercerita tentang pandangan ke depan. Siapa aku akan menjadi, apa yang akan kulakukan. Tak jarang beliau juga memberiku nasihat serta teori leadership yang beliau dapat sendiri dari pengalaman.

Dengan ibu, aku lebih banyak bercerita tentang apa yang sudah-sudah. Kegiatan berorganisasi, perkuliahan, dan yang tak kalah penting, beliau selalu menanyakan, “Di sana sekarang jam berapa?”, kemudian beliau jawab sendiri. Aku sudah beri tahu kalau Bukareh lebih cepat 5 jam dari Kairo.
Tak jarang pula, pembicaraan kami berujung pada perdebatan tentang pernikahan di usia muda, calon istri ideal, dan bla bla bla. Rumit nian. Baru membicarakan sudah membuat pusing, bagaimana nanti jika benar-benar melakukan? Ujung-ujungnya, aku akan katakan, “Ibu, anakmu ini tak ingin beristri. Ia lebih suka membujang!”
“Huss! Jangan sampai kejadian!” beliau segera meng’cut!’.
Ibu pun banyak bercerita tentang kegiatan beliau. Keseharian beliau di sekolah, mengajar, juga keseharian beliau saat mengurus adik-adikku yang mulai besar. Ejieb yang tahun ini akan Khatam Quran, Ulil yang mulai menunjukan minat di pertambangan, juga Aan yang kos di Padang, kuliah kedokteran. Semua laki-laki, tak ada perempuan.
Jika dulu saat masih di kampung, aku akan mendengar cerita ibu dengan ogah-ogahan, sekarang aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Banyak beban yang ditanggung ibu yang sebelumnya tidak pernah kubayangkan. Tentang sekolah tempat beliau mengajar yang suasananya tidak mengenakkan, meski murid-muridnya menyenangkan. Juga tentang bagaimana beliau harus mengurus rumah, ya seperti yang kubilang, tanpa bantuan anak perempuan. Berat, berat untuk membagi badan. Ayah selalu katakan, “Jika ingin tahu mengapa surga ada di telapak kaki ibu, maka lihatlah perjuangan ibu kalian!”
Seperti saat ini, saat aku mendengar cerita ibu yang dipindahtugaskan. Jika sebelumnya ibu mengajar di SDN Rawang Bunian, maka kini ibu sudah mulai mengajar di MIN Namuang. Dari Kementerian Pendidikan ke Kementerian Agama. Perpindahan adalah perpisahan, dan perpisahanlah yang ibu ceritakan.
Beliau bercerita bahwa meski sudah seminggu beliau pindah, murid-muridnya masih berat untuk rela. Masih ada yang setiap malam mengirim beliau sms, sekedar mengabarkan kalau belajar dengan ibu tiada duanya. Bahkan ada yang setiap hari bertandang ke rumah, sekedar melepas rindu pada ibu yang tak lagi terlihat di sekolah, itu si Aji namanya.
Bukan bersifat nepotisme, tapi ibu memang guru SD terbaik yang aku tahu. Tak pernah memanggil murid dengan sebutan ‘wa`ang’, tak pernah membentak, memukul, meski tetap pernah marah, namun selalu dalam batas wajar. Bukan aku yang menilai, namun murid-murid beliau. Gelar guru favorit selalu beliau dapat setiap diadakan perlombaan di hari guru.
Beliau mulai bercerita tentang murid-murid beliau yang memberi beliau surat serta puisi sebelum hari terakhir ibu mengajar. Ada Ana yang memberi beliau sebuah bros, pengapit jilbab. “Besok Ibu pakai baju merah ya Bu. Ibu pakai bros dari Ana,” pintanya.
Lebih ekstrim lagi, ada Difa yang memberi ibu minyak urut. “Bu, ini minyak kayu putih dari Ambon, hadiah perpisahan dari saya,” ujarnya. Sebuah kenangan antimainstream yang mendengarnya saja membuatku sangat terkesan. Aku jadi ingat salah satu tokoh ‘Negeri 5 Menara’ yang jago urut, bocah Ambon. Ah, aku lupa namanya.
“Wah! Jika dia memberi ibu minyak urut, berarti dia menyuruh ibu untuk keseleo!” ujarku ngeyel. Beliau tertawa. “Huss!” kembali beliau meng”cut!”.
Entah siapa yang punya rencana, seluruh murid dan beberapa orang tua akhirnya datang ke rumah, mengunjungi ibu. Sekitar 50 orang hadir. Rumah yang tadinya lapang, kini terasa kecil. Murid-murid ibu memberikan jilbab, hasil iuran, sebagai kenang-kenangan. Ada juga cincin, sajadah, serta barang-barang lain, kenang-kenangan perseorangan. Ibu mengatakan bahwa beliau tak kuasa menahan air mata saat seorang muridnya membacakan puisi-puisi serta surat-surat yang untuk beliau dituliskan.
Beliau akhirnya berpesan, bahwa perpisahan adalah sebuah keharusan. Ia satu paket dengan pertemuan. Jadi tak usah terlalu berlarut hingga setiap hari harus bertandang, mengirim puisi, surat ataupun sms seperti orang pacaran. “Kalian harus kuat!” ujar beliau, berusaha terlihat tegar, padahal mata begitu sembab.
Ah, beliau memang luar biasa. menyesal aku tak pernah punya guru seperti beliau waktu SD dulu. Seorang guru yang ditangisi kepergiannya. Seorang guru yang dirayakan perpisahannya. Dirayakan? Ah, bukannya perayaan hanya dilaksanakan untuk hal yang menyenangkan? Lalu mengapa perpisahan ini dirayakan? Lalu mengapa dirayakan dengan air mata? Lalu, lalu, ah sudahlah.
Yang aku tahu pasti, dimanapun kita berada, selalu berikan kesan mendalam sehingga kepergian kita akan disayangkan, perpisahan kita akan ditangisi. Seperti kata Pak B. J. Habibie, tokoh favoritku, “Dimanapun engkau berada, selalulah menjadi yang terbaik, dan berikan yang terbaik dari yang bisa kita berikan,”
Lalu mengapa judul tulisan ini tak sesuai dengan isi? Kawan, tanyakan pada rumput yang bergoyang! *kaboooor!

***

Kairo, 25 Januari 2015