بسم الله الرحمٰن الرحيم
إنَّ الحمدَ للَّهِ نحمدُهُ ونستعينُهُ ونستغفرُهُ ونعوذُ باللَّهِ من شرورِ أنفسنا ومن سيِّئاتِ أعمالنا ، من يَهدِهِ اللَّهُ فلاَ مضلَّ لَهُ ومن يضلل فلاَ هاديَ لَهُ وأشْهدُ أن لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وحدَهُ لاَ شريكَ لَهُ وأنَّ محمَّدًا عبدُهُ ورسولُهُ
أما بعد، فإن أصدق الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
Bagaimana Hukum Mengikuti Banyak Mazhab…?
bagaimana hukumnya mengikuti atau mengamalkan banyak mazhab….?
bagaimana hukumnya mengikuti atau mengamalkan banyak mazhab….?
Karena di beberapa pesantren dikatakan bahwa hal tersebut tidak boleh…
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan keimanan dan keislaman ke dalam hati kita semua, serta telah menunjukkan kita ke jalan dakwah ini. Shalawat dan salam untuk junjungan kita Rasulullah SAW.
Berkaitan dengan pertanyaan ini, dalam bahasa pesantren dikenal dengan sebutan talfiq, ada satu statement yang ingin ana sampaikan bahwa,"Tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam, akan tetapi yang ada adalah kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang sudah dijelaskan dalam kitab-kitab hadits." Mungkin sebagian dari kaum muslimin yang belum pernah menelaah sejarah lengkap kehidupan dan proses pembelajaran tafsir dan hadits-hadits nabi SAW, yang berlangsung di berbagai belahan bumi khususnya Mekah, Madinah, Mesir, Irak (kufah dan Basrah), dan tempat-tempat lainnya, yang berlangsung dari Abad ke-1 hingga abad ke-7 Hijriyah akan mengatakan bahwa statement ana adalah suatu kesalahan.
Sebenarnya, ana ingin menyampaikan sejarah pengembangan hadits-hadits nabi di masa kejayaan islam, yaitu abad ke-1 hingga abad ke-7. Akan tetapi, jika hal itu ana sampaikan disini, maka akan sangat memerlukan tulisan yang panjang. Dengan demikian, bagi yang kurang setuju dengan statement ana di atas, ana anjurkan untuk menelaah sendiri langsung ke kitab-kitab sejarah yang membahas pengajaran tafsir dan hadits-hadits nabi SAW di 7 abad tersebut.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apa buktinya bahwa tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam…???
Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita lihat apa komentar dan wasiat langsung dari para Imam Mazhab yang terkenal, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sebenarnya imam mazhab sangatlah banyak, namun ana hanya menyebutkan imam yang empat ini, karena imam yang empat inilah yang sangat populer di Indonesia (semoga Allah merahmati mereka semuanya ).
Berikut ini ana sampaikan wasiat mereka yang secara langsung ataupun tidak langsung menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam, yaitu:
Wasiat Imam Abu Hanifah
1) "Jika telah shahih suatu hadits, maka ia adalah mazhabku." (Disebutkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Al-Hasyiyyah)
2) "Tidak halal bagi seorang pun untuk berdalil dengan pendapat kami, jika ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya."
3) "Haram hukumnya bagi orang yang tidak mengetahui dalil yang aku gunakan, untuk berfatwa dengan pendapatku."
4) "Sesungguhnya kami hanyalah manusia biasa, kami terkadang mengeluarkan suatu pendapat mengenai masalah tertentu pada suatu hari, dan kami berpaling darinya pada esoknya."
5) Suatu ketika beliau berkata kepada murid terbaiknya yang bernama Ya'qub atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Yusuf,"Celaka kamu hai Ya'qub! Janganlah engkau menulis segala sesuatu yang telah engkau dengar dariku, karena aku terkadang mengeluarkan suatu pendapat pada suatu hari, dan esok harinya aku meninggalkannya, aku pun terkadang mengeluarkan pendapat pada esok harinya, dan pada lusanya aku meninggalkannya."
6) "Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang bertentangan dengan Kitab Allah dan khabar/sunnah yang datang dari Rasulullah SAW, maka tinggalkanlah perkataanku!"
Wasiat Imam Malik bin Anas
1) "Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa, aku bias benar, dan bisa juga salah, maka perhatikanlah oleh kalian pendapat-pendapatku!, semua pendapat yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, maka ambillah!, dan semua pendapat yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, maka tinggalkanlah!."
2) "Tidak seorang pun di dunia ini, melainkan pendapatnya bisa diambil dan bisa pula ditolak, kecuali Nabi SAW."
Wasiat Imam Syafi'i
1) "Tidak seorangpun di dunia ini, melainkan pasti ada sunnah/hadits yang tidak diketahuinya. Jika aku mengeluarkan sebuah perkataan ataupun kaidah yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka perkataanku adalah (kembali) kepada apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW."
2) "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah/hadits dari Rasulullah SAW (terhadap suatu masalah), maka tidak halal baginya untuk menggantinya dengan perkataan siapapun."
3) "Jika kalian menemukan dalam kitab karyaku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah SAW, maka berpendapatlah dengan menggunakan sunnah Rasulullah SAW, dan tinggalkanlah perkataanku."
4) "Jika telah shahih suatu hadits, maka itulah mazhabku."
5) Suatu ketika Imam Syafi'i berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal,"Engkau lebih mengetahui banyak hadits dan rijalnya dibandingkan denganku. Jika telah shahih suatu hadits, maka beritahukanlah kepadaku di daerah mana ia (periwayatnya) berada, Kuffah, Bashrah, ataupun Syam, hingga aku bisa pergi mendapatkannya, jika ia telah shahih."
6) "Setiap masalah yang telah shahih berasal dari Rasulullah SAW menurut para ahli hadits, dan menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku menyatakan diri untuk kembali (membatalkan perkataanku), baik ketika aku masih hidup, ataupun ketika aku sudah meninggal."
7) "Jika kalian menemukan aku mengatakan sebuah perkataan yang di dalamnya telah shahih hadits Rasulullah SAW dan aku menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa pada saat itu akal sehatku sudah tidak ada."
8) "Setiap pendapat yang aku katakan, dan hadits Nabi SAW yang shahih menyelisihi perkataanku, maka yang harus didahulukan adalah hadits Nabi SAW, dan janganlah taqlid kepadaku."
9) "Setiap hadits Nabi SAW adalah perkataan yang menjadi pendapatku, meskipun kalian tidak pernah mendengarnya dariku."
Wasiat Imam Ahmad bin Hanbal
1) "Janganlah kalian taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Al-Auza`i, ataupun Imam Al-Tsauri, dan ambillah oleh kalian sunnah itu dari tempat mereka mengambilnya."
2) "Janganlah taqlid kepada seorang pun dalam urusan agamamu, akan tetapi ambillah ilmu itu dari apa-apa yang dating dari Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan tabi'in yang terkenal kebaikannya."
3) "Imam Al-Auza`i telah mengeluarkan pendapat, demikian pula dengan Imam Malik dan Abu Hanifah. Semuanya hanyalah pendapat yang semuanya aku anggap sama saja. Akan tetapi, hujjah yang sebenarnya adalah yang terdapat dalam atsar (dari Nabi SAW dan para sahabatnya)."
Inilah pendapat dan wasiat para imam mazhab yang mereka ajarkan dan sampaikan kepada murid-murid mereka sebelum mereka meninggal (semoga Allah SWT merahmati mereka semuanya). Akan tetapi, nukilan-nukilan yang menjelaskan wasiat-wasiat mereka di atas, sangat jarang diajarkan dan disampaikan oleh para asatidz yang mengajar dan menjadi panutan umat ini, sehingga di sebagian kalangan yang memiliki keilmuan kurang muncul fanatisme ekstrim yang keluar dari sunnah Rasulullah SAW dan lebih memilih pendapat para imam mereka.
Mungkin akan muncul pertanyaan, bagaimana hukumnya jika kita tidak mampu melakukan pengkajian sendiri secara langsung kepada kitab-kitab referensi hadits, karena terbatasnya waktu dan kemampuan yang dimiliki..???
Dalam hal ini ana katakan bahwa jika memang faktanya demikian, maka merujuk dan bertanyalah kepada para asatidz dan ulama yang keilmuannya dianggap sangat mumpuni, karena para asatidz dan ulama tersebut adalah pewaris para nabi, yang di pundak mereka beban dakwah untuk menjawab berbagaimacam pertanyaan yang muncul dari umat ini diletakkan. Akan tetapi perlu diingat, jika suatu saat ditemukan bahwa ada pernyataan ulama ataupun asatidz yang dirujuk dan menjadi tempat bertanya tersebut menyelisihi hadits Rasulullah SAW, maka wajib untuk meninggalkan pendapat mereka untuk merujuk kembali kepada hadits Nabi SAW."
Untuk memperlengkap bahasan ini, ana merasa perlu menyampaikan dua buah pendapat Imam Syahid Hasan Al-Banna, yang beliau ungkapkan ketika menjelaskan rukun bai`at (al-Arkan al-Bai`at) pada poin al-Fahmu, yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Ushul al-Isyrin (dua puluh prinsip dakwah), yaitu:
"Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan menelaah terhadap dalil-dalil hukum furu` (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika bersamaan dengan sikap mengikutinya ini ia berusaha semampu yang ia lakukan untuk mempelajari dalil-dalilnya. Hendaknya ia juga menyempurnakan kekurangannya dalam hal ilmu pengetahuan, jika ia termasuk orang yang pandai, hingga mencapai derajat penelaah."
"Khilaf (perselisihan) dalam masalah fiqh furu' (cabang) hendaknya tidak menjadi factor pemecah belah agama, tidak menyebabkan pemusuhan, dan tidak menyebabkan kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu tidak ada larangan melakukan studi ilmiyah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih saying dan saling membantu karena Allah SWT, untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik."
Sebagai kesimpulan ana tegaskan kembali bahwa,"Tidak ada larangan untuk mengambil dan mengikuti berbagai pendapat imam mazhab dalam berbagai masalah jika di dalamnya terdapat ruang ijtihad, selama masih sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang bersumber dari Al-Qur'an, hadits-hadits Nabi SAW."
Ana juga ingin mempertegas bahwa,"Dibolehkan untuk mengambil pendapat dari Imam Mazhab tertentu dalam suatu masalah tertentu, dan mengambil pendapat Imam Mazhab yang lain dalam masalah yang lainnya."
Semoga Allah SWT memberikan kecintaan kepada kita, keluarga, pasangan hidup dan keturunan kita terhadap sunnah Rasulullah SAW, yang kemudian menjadi bekal utama dalam menempuh panjangnya perjalanan dakwah ini.
Semoga bermanfaat, jika tulisan ini dianggap sangat bermanfaat, maka silahkan disebarkan, dan di akhir tulisan ini ana minta keikhlasan antum antunna semua untuk mendoakan ana, agar diberi keberkahan dalam ilmu, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih luas untuk kaum muslimin dan dakwah ini.
Apakah boleh kita mempunyai Dua atau lebih dari satu mazhab?
Tidak dapat tidak, seseorang itu akan memulakan proses mempelajari dan mengamalkan sistem Islam dengan cara bertaqlid kepada satu Mazhab. Apabila seseorang itu melalui proses pembelajaran, dan melihat akan ada alternatif kepada padangan yang ada, dia dikatakan telah melalui proses Takhayyur. Takhayyur adalah proses memilih pendapat dari pelbagai pendapat atau Mazhab.
Proses Takhayyur ini selalunya terhasil tanpa seseorang itu mengetahui nas-nas atau dalil-dalil kenapa hukum itu terjadi. Hasil dari proses ini akan berlaku Talfiq. Seseorang itu akan dikatakan melakukan Talfiq apabila dia berpegang kepada satu Mazhab eg: Syafie, dan ada beberapa hukum yang lain memilih pandangan Mazhab yang lain eg: Hanafi. Contohnya seperti seorang bermazhab Syafie mengatakan tidak batal wudhu’ apabila besentuhan dengan wanita kerana berpegang kepada pandangan Mazhab Hanafi, walaupun tidak mengetahui dalilnya.
Seseorang yang melakukan Talfiq yang sedemikian, juga dikatakan melakukan Taqlid juga; iaitu berubah taqlid dari mazhab Syafie kepada bertaqlid kepada Mazhab Hanafi. Perkara perubahan ini, boleh diakibatkan oleh :
a. Pemerintah; misalnya membayar Zakat Fitrah menggunakan wang sebagaimana yang ditetapkan oleh Majlis Agama Islam Negeri.
b. Darurat; disebabkan keadaan dan suasana, misalnya menggunakan kaedah batal wudhu’ menurut Mazhab Hanafi atau Hanbali, kerana kesukaran menjaga diri di Mekah dari disentuh wanita ajnabi.
Keadaan (a) menyebabkan seseorang itu melakukan Talfiq tanpa dia sendiri sedar atau mengetahui. Sebagaimana kata Syiekh Ibn Utsaimin, Mazhab orang Awam ialah Mazhab Pemerintahnya. Apa sahaja keketapan yang telah dibuat oleh pihak pemerintah, itulah mazhab mereka.
Ada juga proses pemilihan hukum dilakukan dengan ijtihad, dengan menurut dalil-dalil dan nas yang kuat atau yang lebih Rajih. Di sini kita melihat proses Tarjih atau saringan hukum dijalankan. Peringkat ini bukan dimiliki oleh orang-orang awam. Ini adalah proses yang dilakukan oleh Imam-Imam yang Mujtahid atau satu badan Fatwa yang melakukan Ijtihad.
Secara umum dan ringkasnya, bolehlah kitakan bahawa proses dihadapi oleh orang awam adalah proses Talfiq. Apabila melihat (bukan memilh) nas atau dalil yang dipakai oleh Mujtahid tadi, kita dikatakan telah melakukan al-‘ittibaa’. Seseorang itu dikatakan telah memilih pandangan tersebut tanpa melihat akan Mazhab itu sendiri. Ketetapan nas dan dalil itu telah dilakukan oleh Mujtahid tersebut, dan kita Cuma al-‘ittibaa’ atau “menuruti” pendapat Imam tersebut.
Terdapat ulama’ yang melarang Talfiq atas beberapa syarat. Yang membenarkannya juga meletakkan beberapa syarat, dan diantaranya :-
a. Niat melakukan Talfiq; disebabkan keperluan, darurat, dsb. Tidak boleh dilakukan kerana mengikut nafsu.
b. Tidak bertujuan memilih keringanan dari pandangan Mazhab tersebut. Jumhur ulama’ melarang menghimpuan kesemua keringan didalam setiap Mazhab. Ini dinamakan Tatabu’ Rukhas (mengambil pendapat-pendapat yang ringan).
c. Tidak membawa kepada perlanggaran Ijma’.
c. Tidak boleh bertalfiq atas perkara yang bukan Ibadat badan; seperti nikah kahwin, hudud, penetapan awal bulan, dsb. Perkara ini memerluka kuasa yang memerintah. Contohnya, berkahwin tanpa wali sebagaimana bertalfiq dengan Mazhab Hanafi. WA.
Berdasarkan syarat-syarat ini, dan dilakukan dengan penuh hati-hati, seseorang itu dibolehkan melakukan Talfiq. Perlu ingat, ini merupakan talfiq diantara Mazhab yang muktabar dan orang awam tidak dibenarkan melakukan tarjih oleh kerana ia adalah sebahagian dari proses Ijtihad yang
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan keimanan dan keislaman ke dalam hati kita semua, serta telah menunjukkan kita ke jalan dakwah ini. Shalawat dan salam untuk junjungan kita Rasulullah SAW.
Berkaitan dengan pertanyaan ini, dalam bahasa pesantren dikenal dengan sebutan talfiq, ada satu statement yang ingin ana sampaikan bahwa,"Tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam, akan tetapi yang ada adalah kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang sudah dijelaskan dalam kitab-kitab hadits." Mungkin sebagian dari kaum muslimin yang belum pernah menelaah sejarah lengkap kehidupan dan proses pembelajaran tafsir dan hadits-hadits nabi SAW, yang berlangsung di berbagai belahan bumi khususnya Mekah, Madinah, Mesir, Irak (kufah dan Basrah), dan tempat-tempat lainnya, yang berlangsung dari Abad ke-1 hingga abad ke-7 Hijriyah akan mengatakan bahwa statement ana adalah suatu kesalahan.
Sebenarnya, ana ingin menyampaikan sejarah pengembangan hadits-hadits nabi di masa kejayaan islam, yaitu abad ke-1 hingga abad ke-7. Akan tetapi, jika hal itu ana sampaikan disini, maka akan sangat memerlukan tulisan yang panjang. Dengan demikian, bagi yang kurang setuju dengan statement ana di atas, ana anjurkan untuk menelaah sendiri langsung ke kitab-kitab sejarah yang membahas pengajaran tafsir dan hadits-hadits nabi SAW di 7 abad tersebut.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apa buktinya bahwa tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam…???
Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita lihat apa komentar dan wasiat langsung dari para Imam Mazhab yang terkenal, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sebenarnya imam mazhab sangatlah banyak, namun ana hanya menyebutkan imam yang empat ini, karena imam yang empat inilah yang sangat populer di Indonesia (semoga Allah merahmati mereka semuanya ).
Berikut ini ana sampaikan wasiat mereka yang secara langsung ataupun tidak langsung menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam, yaitu:
Wasiat Imam Abu Hanifah
1) "Jika telah shahih suatu hadits, maka ia adalah mazhabku." (Disebutkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Al-Hasyiyyah)
2) "Tidak halal bagi seorang pun untuk berdalil dengan pendapat kami, jika ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya."
3) "Haram hukumnya bagi orang yang tidak mengetahui dalil yang aku gunakan, untuk berfatwa dengan pendapatku."
4) "Sesungguhnya kami hanyalah manusia biasa, kami terkadang mengeluarkan suatu pendapat mengenai masalah tertentu pada suatu hari, dan kami berpaling darinya pada esoknya."
5) Suatu ketika beliau berkata kepada murid terbaiknya yang bernama Ya'qub atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Yusuf,"Celaka kamu hai Ya'qub! Janganlah engkau menulis segala sesuatu yang telah engkau dengar dariku, karena aku terkadang mengeluarkan suatu pendapat pada suatu hari, dan esok harinya aku meninggalkannya, aku pun terkadang mengeluarkan pendapat pada esok harinya, dan pada lusanya aku meninggalkannya."
6) "Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang bertentangan dengan Kitab Allah dan khabar/sunnah yang datang dari Rasulullah SAW, maka tinggalkanlah perkataanku!"
Wasiat Imam Malik bin Anas
1) "Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa, aku bias benar, dan bisa juga salah, maka perhatikanlah oleh kalian pendapat-pendapatku!, semua pendapat yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, maka ambillah!, dan semua pendapat yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, maka tinggalkanlah!."
2) "Tidak seorang pun di dunia ini, melainkan pendapatnya bisa diambil dan bisa pula ditolak, kecuali Nabi SAW."
Wasiat Imam Syafi'i
1) "Tidak seorangpun di dunia ini, melainkan pasti ada sunnah/hadits yang tidak diketahuinya. Jika aku mengeluarkan sebuah perkataan ataupun kaidah yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka perkataanku adalah (kembali) kepada apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW."
2) "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah/hadits dari Rasulullah SAW (terhadap suatu masalah), maka tidak halal baginya untuk menggantinya dengan perkataan siapapun."
3) "Jika kalian menemukan dalam kitab karyaku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah SAW, maka berpendapatlah dengan menggunakan sunnah Rasulullah SAW, dan tinggalkanlah perkataanku."
4) "Jika telah shahih suatu hadits, maka itulah mazhabku."
5) Suatu ketika Imam Syafi'i berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal,"Engkau lebih mengetahui banyak hadits dan rijalnya dibandingkan denganku. Jika telah shahih suatu hadits, maka beritahukanlah kepadaku di daerah mana ia (periwayatnya) berada, Kuffah, Bashrah, ataupun Syam, hingga aku bisa pergi mendapatkannya, jika ia telah shahih."
6) "Setiap masalah yang telah shahih berasal dari Rasulullah SAW menurut para ahli hadits, dan menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku menyatakan diri untuk kembali (membatalkan perkataanku), baik ketika aku masih hidup, ataupun ketika aku sudah meninggal."
7) "Jika kalian menemukan aku mengatakan sebuah perkataan yang di dalamnya telah shahih hadits Rasulullah SAW dan aku menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa pada saat itu akal sehatku sudah tidak ada."
8) "Setiap pendapat yang aku katakan, dan hadits Nabi SAW yang shahih menyelisihi perkataanku, maka yang harus didahulukan adalah hadits Nabi SAW, dan janganlah taqlid kepadaku."
9) "Setiap hadits Nabi SAW adalah perkataan yang menjadi pendapatku, meskipun kalian tidak pernah mendengarnya dariku."
Wasiat Imam Ahmad bin Hanbal
1) "Janganlah kalian taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Al-Auza`i, ataupun Imam Al-Tsauri, dan ambillah oleh kalian sunnah itu dari tempat mereka mengambilnya."
2) "Janganlah taqlid kepada seorang pun dalam urusan agamamu, akan tetapi ambillah ilmu itu dari apa-apa yang dating dari Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan tabi'in yang terkenal kebaikannya."
3) "Imam Al-Auza`i telah mengeluarkan pendapat, demikian pula dengan Imam Malik dan Abu Hanifah. Semuanya hanyalah pendapat yang semuanya aku anggap sama saja. Akan tetapi, hujjah yang sebenarnya adalah yang terdapat dalam atsar (dari Nabi SAW dan para sahabatnya)."
Inilah pendapat dan wasiat para imam mazhab yang mereka ajarkan dan sampaikan kepada murid-murid mereka sebelum mereka meninggal (semoga Allah SWT merahmati mereka semuanya). Akan tetapi, nukilan-nukilan yang menjelaskan wasiat-wasiat mereka di atas, sangat jarang diajarkan dan disampaikan oleh para asatidz yang mengajar dan menjadi panutan umat ini, sehingga di sebagian kalangan yang memiliki keilmuan kurang muncul fanatisme ekstrim yang keluar dari sunnah Rasulullah SAW dan lebih memilih pendapat para imam mereka.
Mungkin akan muncul pertanyaan, bagaimana hukumnya jika kita tidak mampu melakukan pengkajian sendiri secara langsung kepada kitab-kitab referensi hadits, karena terbatasnya waktu dan kemampuan yang dimiliki..???
Dalam hal ini ana katakan bahwa jika memang faktanya demikian, maka merujuk dan bertanyalah kepada para asatidz dan ulama yang keilmuannya dianggap sangat mumpuni, karena para asatidz dan ulama tersebut adalah pewaris para nabi, yang di pundak mereka beban dakwah untuk menjawab berbagaimacam pertanyaan yang muncul dari umat ini diletakkan. Akan tetapi perlu diingat, jika suatu saat ditemukan bahwa ada pernyataan ulama ataupun asatidz yang dirujuk dan menjadi tempat bertanya tersebut menyelisihi hadits Rasulullah SAW, maka wajib untuk meninggalkan pendapat mereka untuk merujuk kembali kepada hadits Nabi SAW."
Untuk memperlengkap bahasan ini, ana merasa perlu menyampaikan dua buah pendapat Imam Syahid Hasan Al-Banna, yang beliau ungkapkan ketika menjelaskan rukun bai`at (al-Arkan al-Bai`at) pada poin al-Fahmu, yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Ushul al-Isyrin (dua puluh prinsip dakwah), yaitu:
"Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan menelaah terhadap dalil-dalil hukum furu` (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika bersamaan dengan sikap mengikutinya ini ia berusaha semampu yang ia lakukan untuk mempelajari dalil-dalilnya. Hendaknya ia juga menyempurnakan kekurangannya dalam hal ilmu pengetahuan, jika ia termasuk orang yang pandai, hingga mencapai derajat penelaah."
"Khilaf (perselisihan) dalam masalah fiqh furu' (cabang) hendaknya tidak menjadi factor pemecah belah agama, tidak menyebabkan pemusuhan, dan tidak menyebabkan kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu tidak ada larangan melakukan studi ilmiyah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih saying dan saling membantu karena Allah SWT, untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik."
Sebagai kesimpulan ana tegaskan kembali bahwa,"Tidak ada larangan untuk mengambil dan mengikuti berbagai pendapat imam mazhab dalam berbagai masalah jika di dalamnya terdapat ruang ijtihad, selama masih sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang bersumber dari Al-Qur'an, hadits-hadits Nabi SAW."
Ana juga ingin mempertegas bahwa,"Dibolehkan untuk mengambil pendapat dari Imam Mazhab tertentu dalam suatu masalah tertentu, dan mengambil pendapat Imam Mazhab yang lain dalam masalah yang lainnya."
Semoga Allah SWT memberikan kecintaan kepada kita, keluarga, pasangan hidup dan keturunan kita terhadap sunnah Rasulullah SAW, yang kemudian menjadi bekal utama dalam menempuh panjangnya perjalanan dakwah ini.
Semoga bermanfaat, jika tulisan ini dianggap sangat bermanfaat, maka silahkan disebarkan, dan di akhir tulisan ini ana minta keikhlasan antum antunna semua untuk mendoakan ana, agar diberi keberkahan dalam ilmu, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih luas untuk kaum muslimin dan dakwah ini.
Apakah boleh kita mempunyai Dua atau lebih dari satu mazhab?
Tidak dapat tidak, seseorang itu akan memulakan proses mempelajari dan mengamalkan sistem Islam dengan cara bertaqlid kepada satu Mazhab. Apabila seseorang itu melalui proses pembelajaran, dan melihat akan ada alternatif kepada padangan yang ada, dia dikatakan telah melalui proses Takhayyur. Takhayyur adalah proses memilih pendapat dari pelbagai pendapat atau Mazhab.
Proses Takhayyur ini selalunya terhasil tanpa seseorang itu mengetahui nas-nas atau dalil-dalil kenapa hukum itu terjadi. Hasil dari proses ini akan berlaku Talfiq. Seseorang itu akan dikatakan melakukan Talfiq apabila dia berpegang kepada satu Mazhab eg: Syafie, dan ada beberapa hukum yang lain memilih pandangan Mazhab yang lain eg: Hanafi. Contohnya seperti seorang bermazhab Syafie mengatakan tidak batal wudhu’ apabila besentuhan dengan wanita kerana berpegang kepada pandangan Mazhab Hanafi, walaupun tidak mengetahui dalilnya.
Seseorang yang melakukan Talfiq yang sedemikian, juga dikatakan melakukan Taqlid juga; iaitu berubah taqlid dari mazhab Syafie kepada bertaqlid kepada Mazhab Hanafi. Perkara perubahan ini, boleh diakibatkan oleh :
a. Pemerintah; misalnya membayar Zakat Fitrah menggunakan wang sebagaimana yang ditetapkan oleh Majlis Agama Islam Negeri.
b. Darurat; disebabkan keadaan dan suasana, misalnya menggunakan kaedah batal wudhu’ menurut Mazhab Hanafi atau Hanbali, kerana kesukaran menjaga diri di Mekah dari disentuh wanita ajnabi.
Keadaan (a) menyebabkan seseorang itu melakukan Talfiq tanpa dia sendiri sedar atau mengetahui. Sebagaimana kata Syiekh Ibn Utsaimin, Mazhab orang Awam ialah Mazhab Pemerintahnya. Apa sahaja keketapan yang telah dibuat oleh pihak pemerintah, itulah mazhab mereka.
Ada juga proses pemilihan hukum dilakukan dengan ijtihad, dengan menurut dalil-dalil dan nas yang kuat atau yang lebih Rajih. Di sini kita melihat proses Tarjih atau saringan hukum dijalankan. Peringkat ini bukan dimiliki oleh orang-orang awam. Ini adalah proses yang dilakukan oleh Imam-Imam yang Mujtahid atau satu badan Fatwa yang melakukan Ijtihad.
Secara umum dan ringkasnya, bolehlah kitakan bahawa proses dihadapi oleh orang awam adalah proses Talfiq. Apabila melihat (bukan memilh) nas atau dalil yang dipakai oleh Mujtahid tadi, kita dikatakan telah melakukan al-‘ittibaa’. Seseorang itu dikatakan telah memilih pandangan tersebut tanpa melihat akan Mazhab itu sendiri. Ketetapan nas dan dalil itu telah dilakukan oleh Mujtahid tersebut, dan kita Cuma al-‘ittibaa’ atau “menuruti” pendapat Imam tersebut.
Terdapat ulama’ yang melarang Talfiq atas beberapa syarat. Yang membenarkannya juga meletakkan beberapa syarat, dan diantaranya :-
a. Niat melakukan Talfiq; disebabkan keperluan, darurat, dsb. Tidak boleh dilakukan kerana mengikut nafsu.
b. Tidak bertujuan memilih keringanan dari pandangan Mazhab tersebut. Jumhur ulama’ melarang menghimpuan kesemua keringan didalam setiap Mazhab. Ini dinamakan Tatabu’ Rukhas (mengambil pendapat-pendapat yang ringan).
c. Tidak membawa kepada perlanggaran Ijma’.
c. Tidak boleh bertalfiq atas perkara yang bukan Ibadat badan; seperti nikah kahwin, hudud, penetapan awal bulan, dsb. Perkara ini memerluka kuasa yang memerintah. Contohnya, berkahwin tanpa wali sebagaimana bertalfiq dengan Mazhab Hanafi. WA.
Berdasarkan syarat-syarat ini, dan dilakukan dengan penuh hati-hati, seseorang itu dibolehkan melakukan Talfiq. Perlu ingat, ini merupakan talfiq diantara Mazhab yang muktabar dan orang awam tidak dibenarkan melakukan tarjih oleh kerana ia adalah sebahagian dari proses Ijtihad yang
No comments:
Post a Comment