Mendengar tasawuf, terkadang nalar liar tak bisa ditahan-tahan. Sosok lelaki menari berputar tanpa merasa mual bisa jadi muncul dalam bayangan. Boleh jadi, yang muncul malah ritual ziarah kubur dengan hiasan kepulan asap kemenyan. Ada lagi yang membayangkan tasawuf sebatas zikir dan salawatan. Lebih ekstrim, malah tasawuf dikaitkan dengan ilmu kebal serta kanuragan. Mamangnya apa sih, tasawuf itu?
Sejatinya, tasawuf adalah satu dari tiga komponen agama yang dijelaskan Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits yang cukup panjang. Iman, Islam dan Ihsan. Iman mencakup aspek akidah keyakinan. Islam adalah perbuatan lahir, terangkum dalam fikih. Ihsan, ini yang termanifestasi dalam tasawuf serta akhlak. Satu saja dari tiga aspek ini luput, tujuan beragama tidak akan terwujud.
Tak heran banyak yang salah tanggap saat mendengar tasawuf. Batasannya yang masih tidak jelas terkadang malah membuat sebagian orang menganggap hal yang bukan tasawuf pun menjadi tasawuf. Jika hal nontasawuf ditasawufkan, saat itulah tasawuf menjadi keruh, ternoda, dan mempelajarinya dianggap sesat.
Keadaan bertambah runyam karena kurikulum pendidikan tidak memberikan ruang yang cukup untuk pengajaran dan pembelajaran tasawuf serta akhlak, di pesantren sekalipun. Berbeda dengan Iman (akidah) dan Islam (fikih), aspek Ihsan (tasawuf) masih jauh dari harapan.
Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, mantan Mufti Republik Arab Mesir menulis gambaran umum tasawuf serta klarifikasi tentang pemahaman tasawuf yang salah di pembukaan buku Risalatul Mustarsyidin karya Syaikh Abu Abdillah Al Harits bin Asad Al-Muhasibi yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah.
Beliau menjelaskan bahwa tasawuf murni merupakan kombinasi antara ilmu dan amal untuk melatih jiwa seorang muslim. Tasawuf merupakan obat segala penyakit hati, yang mencabut segala bentuk kenistaan diri, mengekang buruknya dorongan nafsu, melatih kesabaran, kerelaan, serta ketaatan.
Ia merupakan aspek penting dalam jiwa seorang muslim. Jika Iman merupakan pondasi awal yang menjadi dasar setiap tindakan, maka Islam (fikih) serta Ihsan (tasawuf) merupakan sayap, yang jika salah satunya tidak ada, seorang muslim tidak akan bisa terbang menuju kebenaran hakiki. Begitu kira-kira perumpamaan para ahli sufi.
Secara garis besar, Syaikh Hasanain membagi tasawuf yang ada saat ini menjadi tiga.
Pertama, adalah tasawuf murni, yang amalannya berdasarkan sumber-sumber yang jelas. Terbebas dari segala bidah dan ajaran di luar batas. Ini adalah tasawuf yang dijelaskan di atas.
Kedua, adalah tasawuf palsu, yang dianut oleh sekelompok orang yang mengaku-ngaku sufi. Mereka menjadikan hulul (paham bahwa Allah bisa menitis ke wujud manusia) sebagai patokan amalan nurani. Ini bukanlah tasawuf, namun hanya memakai kedok tasawuf untuk menarik simpati. Penganut tasawuf sejati menolak keras aliran tasawuf sesat ini. Bahkan, konon, sebab dinamakan tasawuf, karena untuk membedakan antara yang sesat, dan yang suci (shafi -> tashawwuf : murni)
Ketiga, adalah tasawuf melenceng dari riwayat asalnya. Tasawuf ini pada dasarnya memiliki sumber jelas dari Quran, hadits dan ijtihad ulama. Namun seiring berjalannya waktu, pengikutnya mulai mencampuradukkan ajaran guru dengan amalan lain yang tidak jelas asal-usulnya. Inilah yang ujung-ujungnya menyebabkan adanya alirang tasawuf yang merasa berhak menentukan awal bulan puasa, ataupun kapan hari raya. Padahal kita tahu, tasawuf adalah ilmu penyucian diri, bukan ilmu astronomi.
Meskipun tasawuf telah terbagi dalam 3 klasifikasi, di dunia nyata, membedakan mana yang murni dan mana yang terkontaminasi tetap menjadi masalah tersendiri. Karena manusia hanya bisa menilai dari penampilan, dan penampilan dari 3 kelompok tasawuf di atas sulit untuk dibedakan.
Imam Asy-Syathibi memberi solusi untuk memecahkan masalah ini. Beliau menukilkan sebuah kisah di dalam kitab beliau, Al-I’tisham, bahwa suatu ketika, Abu Yazid Al-Bisthami diajak untuk menemui seorang lelaki yang terkenal sebagai sufi karena kezuhudannya. Beliau dan kawannya pun berjalan, hingga dari jauh melihat lelaki sufi yang dimaksud.
Saat hendak memasuki masjid, lelaki yang dianggap sufi tadi meludah ke arah kiblat, terkejutlah Abu Yazid saat menyaksikannya. Ia pun berbalik, pulang, tak jadi menemuinya. Kemudian ia berkata, “Lelaki ini tidak bisa mempraktekkan adab yang diajarkan Nabi Saw, lalu bagaimana mungkin ia mengaku-ngaku sebagai seorang sufi?”
Bijak sekali, bahwa tidak mungkin seorang yang tidak beradab akan menjadi seorang sufi. Menjalankan ibadah wajib saja tidak cukup. Seorang sufi adalah mereka yang malu saat meninggalkan yang sunnah. Meninggalkan perbuatan haram saja tidak cukup, seorang sufi adalah mereka yang meninggalkan perihal makruh, juga perkara yang musytabihât (dikeragui hukumnya). Lebih dari itu, seorang sufi adalah mereka yang juga menjaga adab serta akhlak islami, dapat dilihat dari kebersihan, kerapian, juga kesopanan.
Jika Abu Yazid Al-Bisthami menafikan sifat sufi dari seorang yang hanya meludah ke arah kiblat, bagaimana mungkin seseorang yang melakukan hal yang lebih berat dari itu mengaku sebagai pimpinan tarikat?
Makanya, sudah saatnya kita bersikap adil terhadap tasawuf, juga kepada para sufi. Karena jika fikih menjamin keselamatan beribadah, maka tasawuf akan memberi kedamaian hati. Tasawuf melatih jiwa, mengingatkan diri bahwa dimanapun, kapanpun, segala perbuatan kita selalu Allah amati.
Tasawuf bukanlah aliran yang mengajarkan untuk bisa berjalan di atas api. Tasawuf bukanlah ajaran kebal dari tusukan belati. Tasawuf bukanlah ilmu untuk menentukan awal ramadan yang seharusnya diurus oleh ilmu falak dan astronomi. Tasawuf adalah kombinasi ilmu dan amal untuk mengekang nafsu manusiawi, dengan berkomitmen menjalankan fikih, pun juga konsisten menjaga adab-adab Islami.
Tasawuf adalah satu dari tiga pokok beragama, yang membuat seorang muslim menjadi seorang muslim. Wallâhu a’lam.
*Tulisan pernah dimuat di Buletin Informatika Orsat ICMI Kairo
No comments:
Post a Comment