Thursday, February 27, 2014

Jangan Bermental Kera!

Ibu Kera terpaksa jadi janda
Ah, ya,
Ada satu lagi serial kancil yang belum kukisahkan,

Ini cerita tentang kancil dan seekor kera besar, bisa jadi siamang atau urangutan,

Kera bertanya, "Kancil, kau lihat benda besar yang bergantung di pohon itu? Benda coklat aneh yang bentuknya sedikit merusak pemandangan?"

Kancil tahu bahwa benda yang ditunjuk si kera adalah sarang lebah, yang di dalamnya terdapat manisan,

Kancil tak ingin si kera mendekat, apalagi mengganggu, karena lebah bisa membunuh hanya dengan sengatan,


Satu sengatan mungkin tak terlalu berarti, namun jika ada ribuan?

Kancil menjawab, "Oh, itu adalah rumah nenek moyang kita, kera," Jawaban dusta, namun untuk kebaikan kera, agar ia menjauh, atau paling tidak agar sarang lebah itu tidak dirusakkan,

Namun apa yang terjadi? Si kera malah mengambil batu, kemudian ke arah sarang lebah ia lemparkan,

"Pergi kalian ke akhirat, nenek moyang. Sekarang masa kami, bukan masa kalian!"

Bagaimana kira-kira nasib si kera setelah melakukan tindakan nekat tanpa pertimbangan?

Mati, karena ribuan lebah yang merasa terusik menghadiahinya banyak gigitan,

***

Ternyata aspek menghormati warisan nenek moyang juga kancil ajarkan,

Apalagi di zaman banyak anak muda yang meniru sifat kera, jangan leluhur yang jauh, orang tua pun tidak mereka hiraukan,

Jika ada yang tidak menghargai warisan budaya dan bahasa pendahulu, maka kisah kancil ini pantas kita kisahkan,

Ini bukan rekaanku, namun dikisahkan oleh ayah, nenek dan sepupu-sepupuku, bukan warisan benda, namun tetap harus tetap diabadikan,

Karena adat, khususnya adat Minang, punya aturan,

Nan elok dijadian pusako, nan buruak dipaelokan,

Semoga adat buruk barat tidak semakin merajalela dan merusak anak kemenakan,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Kami Butuh Jagoan Sungguhan, Bukan Dadakan!

Wabah sebelum pemilu itu biasanya adalah munculnya jagoan-jagoan dadakan,
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba banyak diliput media, seolah pahlawan,

Gelar haji, datuak, bangsawan, semuanya dipamerkan,

Seolah ia sosok yang dicintai rakyat, ya, dibuat-buat melalui pencitraan,

Jika ingin kritis, tentu akan muncul pertanyaan,

Sebelum pemilu, kemana saja Anda? Kenapa baru sekarang batang hidung Anda tampakkan?

Tak perlulah dibahas niat hati Anda, karena Anda lebih tau. Tapi jika Anda memang punya banyak uang untuk kampanye, bukankah lebih baik jika orang miskin Anda beri makan?

Atau anak yatim dan terlantar Anda sekolahkan?

Ah, mungkin memang aku saja yang berburuk sangka. Karena bisa jadi Anda punya banyak anak binaan,

Kalau boleh, saya hanya ingin berpesan,

Jika Anda telah memberikan banyak jasa kepada rakyat, maka Anda tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk kampanye besar-besaran,

Anda tak perlu menempel poster di tembok-tembok dan pepohonan,

Merusak, kata pemerhati lingkungan,

Karena tanpa itu semua, rakyat tetap akan memilih Anda, dengan keikhlasan,

Aku tak ingin menggurui, namun bagaimana aku bisa percaya jika nasib kami sebagai rakyat ditompangkan pada jagoan dadakan yang hanya sebelum pemilu sibuk pencitraan?

Semoga para pemimpin bisa merakyat, penuh tanggung jawab terhadap amanah yang harus dijalankan,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Taimpik di Ateh

Ada lagi kisah lain, saat kancil mendapati seekor kerbau dililit oleh ular yang berdiameter kurang lebih 30 senti,
Kerbau minta bantuan kancil, karena ia merasa telah dizalimi,

Karena sebelumnya, ia menolong ular tersebut dari himpitan batang kayu. Namun saat ular bebas, malah ia berusaha menjadikan kerbau sebagai santapan bergizi,

Begitulah, air susu dibalas dengan air tuba, umpama orang yang tak tahu balas budi,

Kancil menggunakan kelihaian berkomunikasi,

Ia katakan pada ular, bahwa cerita kerbau terlihat tak masuk akal, sehingga kancil perlu melihat reka ulang apa yang telah terjadi,

Ular melepaskan lilitannya, kemudian di atasnya kayu dihimpitkan lagi,

Ular berkata, "Kancil, beginilah awal kejadian tadi,"

Kancil berkata, "Kerbau, kau bebas pergi,"

"Ular, rasakan akibat kelicikanmu! Biar kau tetap terhimpit disini! Dasar hewan licik tak tahu diri!"

Ini penjelasan prinsip Minang "Taimpik di ateh" yang banyak dipahami salah arti,

Bukan ular yang menghimpit kerbau dan kancil, malah ular yang ada di bawah, menanggung akibat kelicikan dan busuknya hati,

Semoga kita terhindar dari sifat licik dan tak tahu diri,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Cadiak nan Indak Galia

Lain dengan buaya, lain pula kisah kancil dengan macan belang,
Saat dijepit macan, kancil berusaha mencari peluang,

Ia katakan pada macan, bahwa ada mahkota raja hutan yang harusnya dipakai macan, sehingga penampilannya sebagai raja hutan tidak kurang,

Kancil menawarkan jasanya untuk mengantarkan macan menuju tempat dimana terdapat mahkotanya yang hilang,

Setelah jauh berjalan, mereka melihat sesuatu yang berwarna indah, berkilau terrgantung di sebuah batang,

Kancil berkata, "Itu dia! Pakailah agar kau terlihat semakin garang,"

Harimau mendekat, "mahkota" tersebut ia pasang,

Namun ternyata itu bukan mahkota, namun ular besar yang merasa diusik di tempatnya bersarang,

Reflek, ia melilit macan, hingga ia remuk, patah tulang-belulang,

Kancil lolos, ia bisa lanjut berpetualang,

Nah lihat kan? Kancil tidak jahil pada semua binatang,

Hanya mereka yang buas yang ia serang,

Begitulah seharusnya kita, di saat banyaknya macan-macan licik berkeliaran zaman sekarang,

Semoga mereka yang berjiwa kancil bisa memberi pelajaran pada manusia buas yang di otaknya hanya uang,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Takuruang di Lua

Ijinkan aku berbagi tentang kisah kancil dan buaya,
Kisah saat di pinggir sungai, kancil digigit kakinya oleh buaya,

Kancil takut? Pasti! Namun menariknya ia masih bisa mencari solusi lolos dari bahaya,

Ia tanyakan pada buaya, "jumlah buaya di sungai ada berapa?"

Buaya tentu tidak bisa menjawab, dan dengan lihai kancil pun menawarkan bantuannya,

Ia bersedia membantu menghitung jumlah buaya, asal dilepaskan terkaman kakinya,


Dan kancil juga menyuruh buaya untuk berbaris agar terlihat rapi dan mudah menghitungnya,

Kancil pun mulai berjalan di punggung satu persatu buaya,

Hingga ia sampai di ujung sungai satunya,

Menarik, karena akhirnya ia tak jadi dimangsa buaya,

Bahkan lebih hebatnya lagi, ia bisa jadikan buaya sebagai jembatan, menyebrangi sungai yang tidak bisa dengan berenang melewatinya,

Ini mungkin kira-kira penjelasan prinsip orang Minang, "Takuruang di lua",

Sesaat terkesan kancil akan "dikurung" oleh buaya,

Namun akhirnya malah buaya yang "terkurung", karena kancil lihai akalnya,

Bukan, bukan licik! Ini cerdas namanya,

Karena jika licik tak mengenal kawan dan lawan, maka cerdas atau cerdik hanya menyerang mereka yang jahat, buruk wataknya,

Cerdik dan licik berbeda,

Aku bersyukur diceritakan kisah kancil sehingga aku bisa berpikir cerdik, tidak seperti yahudi yang licik dalam praktek bisnisnya,

Atau juga licik seperti pedagang asing di Tanah Abang yang tega membakar kios pesaingnya,

Itulah kira-kira bedanya, antara cerdik dan licik, sangat ketara,

Semoga kita terhindar dari sifat licik, juga tidak menjadi korban orang licik, dengan selalu meminta perlindungan-Nya,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Bukik Tinggi, Kurai dan Bukittinggi, Mana yang Dahulu Menjadi Ibukota PDRI?


Kadang saya pun bingung bagaimana untuk membahasakan, karena nyatanya, empat nama di atas berbeda, meski sedikit orang yang menyadari,
 
Baiknya kita mulai dari Agam, sebuah Kabupaten Madani,

 

Ia kokoh mengelilingi sebuah kota kecil di bagian timurnya, yang bernama Bukittinggi,

Tapi jangan salah, Bukittinggi sekarang berbeda dengan Bukittinggi yang dulu pernah menjadi ibukota PDRI,

Karena nyatanya, ibukota PDRI dulu lokasinya ada di Kabupaten Lima Puluh Koto, tepatnya di Kecamatan Gunuang Omeh, Nagari Koto Tinggi,

Sedangkan Bukittinggi kini adalah sebuah kota madya yang didirikan di Tanah Kurai, salah satu daerah di Kabupaten Agam, karena aktifitas ekonomi serta kepadatan penduduk di sana yang mulai tinggi,

Lalu Bukittinggi yang tertulis di buku sejarah itu Bukittinggi yang mana? Nah, itu yang mau saya terangkan kini,

Bukittinggi yang dikenal luas, sebenarnya adalah daerah tanpa batas pasti,

Yang pasti, ia adalah daerah yang dikawal tiga gunung tertinggi di Sumatera Barat, yaitu Gunung Sago*, Gunung Singgalang dan Gunung Marapi,

Tri Arga, begitulah gelarnya, jika dilihat dari puncak Gunung Merapi, maka kawasan Bukik Tinggi terlihat bagai kuali,

Ia juga dikawal oleh Bukit Barisan yang berjejer rapi,


Lihatlah di peta, foto, google map, maka Anda akan temukan keindahan yang membuat bangsa lain iri, hingga mereka berniat menguasai,


 Anda masih tinggal di kawasan yang dikawal tiga gunung tadi?

 

Berarti Anda orang Bukik Tinggi, meskipun KTP Anda bukan Bukittinggi, pemimpin Anda bukan Pak Ismet Amziz dan Pak Harma Zaldi,
 

Karena Agam, Bukik Tinggi dan Kurai sudah ada sedari dulu, bahkan jauh sebelum saya juga Anda menginjakkan kaki di Bumi,
 

Namun Bukittinggi sebagai kota madya adalah sebuah kota baru (sekitar tahun 90-an), tegak di tanah Rang Kurai, pusat kegiatan wisata, transportasi dan ekonomi,
 

Menarik bukan? Menarik saat menyadari bahwa kadang, fakta yang lama kita percaya ternyata keliru, karena bertentangan dengan fakta, tidak didukung oleh bukti,
 

Semoga Kota Bukittinggi tidak tertular penyakit kota-kota besar yang rawan kriminal, subur prostitusi,

Semoga urang kurai tetap dapat memahami, bahwa meski kini berbeda secara tatanegara, Kurai tetaplah satu dari kecamatan-kecamatan di Luhak Agam, Luhak Madani,

 

Semoga Allah menjaga Ranah Minang dari penjajahan moderen yang merusak akhlak dan membutakan nurani,
 

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
 

Nb:
*Sebagian versi menyebut Gunung Tandikek, tapi bukti validnya masih diperdebatkan, karena mirisnya, tulisan sejarah Minang telah dijual kepada pihak asing, dengan iming-iming sebungkus Indomi.

Perbedaan Kita Bukanlah Rahmat

Perbedaan yang merupakan rahmat bukanlah perbedaan yang menimbulkan permusuhan,

Perbedaan yang merupakan rahmat, adalah perbedaan cara dalam mencapai satu tujuan,

 

Tujuan kita -sebagai muslim khususnya- adalah menebar kebaikan,
 

Maka cara seseorang bisa saja berbeda dengan yang orang lain lakukan,

Ada yang melakukannya dengan membuat tulisan,



Ada yang melakukannya dengan menjaga ketertiban lalu lintas di jalan,

Ada yang melakukannya dengan selalu merasa diawasi Allah saat melakukan perdagangan,

Ada juga yang melakukannya dengan mengajar penuh keikhlasan,

Jika boleh jujur, perbedaan yang marak terjadi kini, apa bisa sebagai rahmat dikatakan?

Tak usah dijawab, namun hanya untuk direnungkan,

Karena perbedaan itu terkadang perlu, namun jika bisa dan memungkinkan, mengapa tidak disatukan?

Karena walau beda misi itu biasa, namun beda visi tetap harus dikhawatirkan,

Visi seorang Muslim adalah mulia di dunia, selamat di yaumul mizan,

Semoga Indonesia bisa mencetak banyak pribadi seperti Pak BJ Habibie, berhati Mekah, berotak Jerman,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Suuzan, Suuzan, Suuzan, Jangan Pernah Dekati Dia Lagi!

Seorang wanita muda naik ke sebuah bus kota. Penuh sesak, tak ada satu pun tempat duduk tersisa. Namun ia tak kehabisan akal, ia mendekat pada bangku seorang pemuda, berharap sang pemuda bermurah hati memberinya tempat duduk.
Sepuluh detik, dua puluh detik, lima menit, bahkan hingga akhir tujuan, sang pemuda masih asyik dengan buku yang ia baca.

Si wanita kesal, kesal karena merasa seorang wanita seperti dirinya haruslah dimuliakan. Dalam hal ini, seorang pemuda haruslah rela memberinya tempat duduk.

Lucunya, malam sebelum tidur, ia mengungkapkan kekesalannya di akun facebook miliknya. Ia menulis sebuah status, yang bunyinya kira-kira seperti ini:

"Lelaki yang tidak memberi tempat duduk untuk wanita di dalam bus, maka tak pantas disebut laki-laki,"

Tanpa diketahui si wanita, sang pemuda tadi sebelum tidur juga menulis sebuah status, yang bunyinya seperti ini :

"Alhamdulillah, puasa hari ini lancar, meskipun kaki lemas karena tidak sempat sahur. Semoga kawan-kawan yang berpuasa juga dapat merasakan nikmatnya berbuka. Semoga yang belum puasa, bisa puasa ke depannya,"

***

Prasangka buruk, prasangka buruk, prasangka buruk,

Adalah sebuah penyakit hati yang sangat mudah menggerogoti,

Makanya selalu ingat untuk selalu berprasangka baik, apalagi kepada saudara sendiri,

Semoga kita selalu terjaga dari prasangka yang merusak hati,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Karena Beda Persepsi

Ada perbedaan pemahaman antara ulama dan masyarakat awam mengenai tasawuf dan para sufi,
Saat ulama memahami tasawuf sebagai ilmu untuk menyucikan hati,

Masyarakat awam masih banyak yang menganggap tasawuf sebagai ilmu agar kebal api,

Dengan meminta bantuan pada roh-roh orang yang sudah mati,

Melalui banyak ritual, sesajen, semedi,

Padahal tasawuf sebenarnya adalah bagaimana menambah nikmat ibadah, merasakan kehadiran ilahi,

Makanya, tak heran jika ada orang yang mengharamkan tasawuf untuk dipelajari,

Tugas ulamalah, agar pemahaman tentang tasawuf lurus kembali,

Hingga ilmu tasawuf oleh masyarakat luas bisa lagi dipelajari,

Tanpa penyimpangan, tanpa kemusyrikan, murni ilmu penyucian hati,

Tentu, dengan cara-cara syar'i yang diajarkan Nabi SAW,

Terakhir, aku ingin tegaskan, keeratan nyata antara tasawuf dan tempat belajarku kini,

Orang yang tidak bertasawuf, bukanlah Azhariy,

Karena tasawuf adalah manifestasi "ihsan" yang telah disebut dalam percakapan Jibril dan Rasulullah SAW suatu hari, dahulu sekali,

Semoga Allah selalu menolong kita untuk membentengi hati, menjaga diri,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Sukses Adalah Usaha

Jika kesuksesan dan kegagalan itu dilihat dari tercapainya tujuan,
Maka beberapa Nabi akan dicap gagal, karena tidak bisa membuat umatnya beriman,

Namun ternyata tidak! Ternyata kesuksesan diukur dari besarnya usaha yang telah dilakukan,

Karen hidayah sejatinya adalah dari Allah, bahkan seorang Nabi pun hanya bisa mengusahakan, tidak bisa memberikan,

Lalu kenapa kebanyakan manusia memandang hina mereka yang mengalami kegagalan?


Kenapa mereka tak melihat bagaimana proses dan usaha yang telah ia lakukan?

Seperti prinsip tawakal, "Kita yang berusaha, Allah yang menentukan,"

Maka sudah sepantasnya, orang yang gagal setelah berusaha bukannya dilecehkan, namun apresiasi tetap diberikan,

Semoga adik-adik yang akan UN tahun ini dapat berikhtiar dengan istiqamah dan penuh kesabaran,

Semoga mendapat hasil yang memuaskan,

Semoga para guru juga bisa membimbing mereka, agar semangat bisa dipertahankan,

Selalu ingat, seburuk apapun hasilnya setelah berusaha, akan ada rahasia indah di belakangnya tersimpan,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Belajar dari Bali




Aku sempat terkejut saat tahu bahwa ayah melakukan studi banding ke Bali. Bagaimana bisa? Kenapa harus Pulau Dewata? Kenapa bukan Aceh yang jelas dengan kanun agamanya? Masih banyak kenapa-kenapa lain yang menggelayut di benak, membuat sesak otak.

Bagaimana tidak? Ayah adalah pegawai negeri Kementrian Agama Kabupaten Agam, sebuah kabupaten dengan mayoritas penduduk muslim. Malah aku berani mengatakan bahwa 100% penduduk di kabupatenku adalah muslim. Lalu ilmu macam apa yang akan dibawa dari sebuah provinsi dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu?

Sebenarnya aku sempat mengatakan pada ayah, “Bukankah lebih baik jika studi banding itu dilakukan dengan mengajak para pimpinan pondok pesantren untuk mempelajari kurikulum pondok pesantren di Pulau Jawa, yang masih eksis dengan kurikulum pendalaman kitab klasiknya,”. Karena memang selama ini ku lihat, pondok pesantren di daerahku mengalami kegalauan kurikulum, antara mempertahankan kurikulum pendalaman kitab-kitab klasik dan mengejar target kelulusan UN.

Sedikit kecewa, tentu wajar. Namun semua menguap saat aku menelpon ayah kemarin sore. Dan itulah yang menjadi inspirasi tulisanku hari ini. Ternyata banyak hal yang perlu dipelajari sekelompok orang yang hidup di lingkungan mayoritas Muslim, apalagi pelayan masyarakatnya dari sekelompok masyarakat Hindu.

Awalnya memang, aku hanya bertanya basa-basi, apa kira-kira ilmu yang didapat dari sebuah pulau tempat para bule berenang, nyaris telanjang? Nah, pertama, ayah mencoba meluruskan pemahamanku tentang Bali.

“Bali itu bukan Kuta, Bib. Kuta memang sudah disediakan bagi turis yang hanya ingin menikmati keindahan pantai. Kuta disediakan bagi nonbali. Dan Kuta bukan tujuan studi ayah. Ayah mengambil ilmu dari Bali yang sebenarnya. Mengambil ilmu dari Bali selain Kuta,”

Wow! Menarik. Ini kira-kira kesalahanku selama ini yang memandang Bali hanya sebagai tempat berjemur para turis pucat.

“Habib tahu? Paling tidak ada 3 hal menarik yang bisa kita pelajari dari Bali,” ujar beliau.

Nah, ini yang kutunggu-tunggu. Inti dari sebuah studi banding.

“Yang pertama, kita bisa melihat dari ketaatan mereka terhadap agama yang mereka anut. Jika hanya melihat pada Kuta, maka memang hanya aspek wisata dan bisnis yang terlihat. Namun saat melihat kawasan selain Kuta, maka Habib akan lihat bahwa orang Bali, adalah umat yang taat beragama. Setiap rumah punya pure. Setiap pagi, mereka mengantarkan sesajen ke pure tersebut,”

“Nah, lalu siapa yang akan menghabiskan sesajen itu, Yah?” ujarku ingin tahu.

“Tidak ada. Sesajen itu diganti setiap hari. Lihat betapa pedulinya mereka terhadap agama yang mereka anut, hingga setiap rumah punya Pure sendiri,”

Aku agak terkejut. Tentu saja. Ku kira orang Hindu hanya mengunjungi pure mereka sekali setahun. Ku kira hanya Islam yang mengajarkan umatnya untuk memperbaharui iman dalam rentang waktu yang singkat. Ternyata Hindu juga, meski frekuensinya tidak sesering umat Islam yang lima kali sehari semalam. Bahkan dengan kewajiban yang lima itu pun, umat Islam masih banyak yang lalai.

Namun dari pada menunjukan rasa kagumku, aku lebih tertarik mengomentari pronunciation saat melafalkan “pure”. Ayah menggunakan E jelas, bukan E lembut yang agak dibaca ke arah U, menjadi EU.

“Pure? Mungkin maksud Ayah, yang Bahasa Indonesianya Pura kan?” aku terkekeh.

“Ya, pokoknya itu, pureu,” ku bayangkan ayah memelintir bibir saat menyebut pure dengan E lembut.

“Lalu yang kedua, Yah?” ujarku semakin bersemangat.

“Yang kedua, selain mereka taat beragama, mereka juga menghargai dan mempertahankan budaya yang mereka punya. Contohnya, di sana ada sebuah mata air suci, namanya Mata Air Tampak Siring. Siapapun yang ingin masuk ke sana harus memenuhi persyaratan. Tidak peduli yang ingin masuk ke sana adalah orang besar, kiyai, bahkan presiden pun. Mereka yang perempuan harus menggunakan songket khas Bali, sedangkan laki-lakinya harus menggunakan selendang,”

Wow! Bukan hanya agama, tapi mereka juga peduli pada budaya. Aku jadi teringat dengan kawan-kawan Minangku yang mulai buta adat budaya. Yah, mungkin karena terkadang adat memang sedikit rumit. Namun yang lebih membuat khawatir itu saat mereka melupakan bahasa. Jika bahasa hilang, lalu apa tanda kalau mereka berasal dari sebuah adat dan kultur tertentu? Tak jarang ku lihat ibu-ibu yang mengajarkan anaknya bahasa planet (bahasa Minang yang dipaksakan menjadi bahasa Indonesia). Kalaupun ada yang menggunakan bahasa Minang, kebanyakan mereka hanya menerjemahkan bahasa gaul ibukota menjadi bahasa Minang, sehingga istilah kayak, pengen menjadi ada. Sehingga kata hubung dan kata depan “jo”, “ka” dan “dek” semakin hilang dikikis bahasa dari sinetron-sinetron dan FTV tak mendidik.

Kembali ke Bali, hebat benar mereka. Bahkan bule pucat yang ingin menghitamkan kulit pun harus mengikuti persyaratan tadi. Dengan kata lain, orang luar Bali harus mengikuti bagaimana orang Bali berpakaian sebelum bisa menikmati objek wisata tersebut.

“Sekarang coba Habib lihat keadaan di daerah kita. Melihat bule memakai baju sempit, anak-anak gadis kita lupa dengan baju kurung mereka. Melihat bule memakai celana sebatas paha, anak-anak gadis kita juga latah meniru agar terlihat sama,” ku dengar nada keprihatinan dari suara beliau.

“Lalu yang ketiga, Yah?” ujarku tak ingin larut dalam stres membayangkan bobroknya pergaulan anak muda.

“Hmm, yang ketiga adalah bagaimana mereka sangat menghargai tamu. Setiap makanan selalu diberi label, mana yang boleh dimakan oleh orang Islam, mana yang tidak. Yang halal diberi label halal, yang haram diberi label rajawali,”

Nah itu dia toleransi. Pikirku. Kita menghargai orang lain, namun apa yang menjadi identitas kita tidak dilupakan. Bahkan orang lain yang kadang harus menyesuaikan jika mereka berada di daerah kita.

Mantap, tiga ilmu pokok yang bisa diambil dari Bali sudah kudapat. Aku kemudian mengambil kesimpulan, bahwa daerah dengan serangan budaya asing yang kuat, seperti Bali, akan memberikan reaksi yang tak kalah kuat. Sebuah aksi, jika tidak menghancurkan objek, maka ia akan mendapat reaksi yang tak kalah kuat dari objek.

Lihat bagaimana memang para turis membawa disain pakaian yang jika dibandingkan dengan budaya kita, maka pakaian itu tak lebih dari pakaian dalam. Malah masih jauh lebih baik jika karung goni digunakan. Namun jangan khawatir, reaksi dari orang Bali pun tak kalah keras. Mereka budayakan pula pakaian mereka. Bahkan para turis pun harus tunduk pada aturan berpakaian tersebut.

Berbeda dengan daerahku, dan kebanyakan daerah-daerah di Indonesia yang diberi serangan sepoi-sepoi oleh budaya Barat. Bagai ombak lembut yang menyisir pantai, namun sejatinya ia mengikis sedikit demi sedikit. Abrasi.

Dulu kata guruku, seorang wanita yang memakai celana panjang saja bisa menjadi sasaran umpatan masyarakat, namun kini perempuan yang hanya memakai celana kolor keluar rumah sudah dipandang wajar.

“Berarti kita punya PR besar, Yah,” ujarku sedikit lesu. Bagaimana tidak? Negeriku mungkin punya banyak ulama, namun mereka tidak memiliki satu misi. Tentu aku sudah pernah menuliskan bahwa visi harus sama, meski misi harus berbeda-beda.

Ku catat tiga aspek yang kudapat dari ayah. Ada agama, budaya, dan toleransi. Tiga hal yang sering disalahkaprahkan oleh mereka yang sok tahu. Berlagak akademisi, namun otaknya seperti tong kosong tak berisi. Sudah, sudah.

Tak mau lamunan panjang membuat pulsa komunikasi internasionalku habis tak berarti, ku minta ayah untuk memberikan telepon kepada adikku yang terkecil, Ejieb. Dan episode pembicaraan baru dimulai.

Dari masalah belajar, olahraga, hingga masalah sejauh mana perkembangan pengetahuan agama adikku yang kini mulai berbadan subur itu. Subur? Iya! Kini, saat ia berusia 10 tahun, duduk di kelas 4 SD, berat badannya sudah mencapai 35kg. Aku saja saat kelas 6 SD hanya mampu mencapai berat badan 24 atau 29kg, hmmm aku lupa.

Jaman berubah, ya. Aku semakin yakin kalau saat aku pulang nanti, aku tak bisa lagi menggendong Ejieb. Namun sepertinya aku masih punya kesempatan untuk mencubit pipinya yang masih akan tetap bulat.

***


Kairo, 27 Februari 2014
 

Saturday, February 15, 2014

Ini Salah Menteri Pendidikan



Dua bulan lagi UN akan ku jalani. Walaupun belajar di pesantren, yang notabenenya adalah institusi pendidikan agama yang harusnya independen, ternyata peraturan mentri pendidikan tetap saja menghantui kami. Rasa ngeri mulai terasa, entah kenapa, mungkin karena banyaknya try out, dan juga pelajaran sore yang tak kenal istirahat.

Bukan UN yang kutakutkan. Tentu saja jika hanya mengejar “lulus”, nilai rata-rata 5,1 bisa kuraih. Namun aku lebih mencemaskan siapa aku, akan jadi apa aku. Aku bersekolah di pesantren dengan kurikulum belum matang. Aku mulai bingung, apakah aku akan menjadi da’i berjubah, atau seorang bisnismen berjas.


Jika akan menjadi ulama, sekolahku tidak memberikan dasar keilmuan yang memadai. Tidak ada kewajiban menghafal Al-Quran, kitab-kitab gundul hanya dibaca paling banyak 30 halaman, tidak ada kegiatan menghafal matan-matan[1]. Jadi ulama tanpa hafalan Al-Quran? Jangan mimpi!

Atau bisnismen berjas. Ini lebih tidak mungkin lagi. 99% waktuku kuhabiskan di sini. Bahkan bulan Ramadhan pun dihabiskan dengan belajar. Aku tak punya koneksi, tak lihai berkomunikasi, jarang sosialisasi, sedikit kenalan, sempit pertemanan. Sekarang coba jelaskan, dari mana aku bisa menjadi seorang miliarder sekelas pengusaha Taipan?

Gila, gila, gila!

Pernah suatu hari, dengan nekad ku sampaikan kegalauanku ini pada salah seorang guru, yah, seorang guru yang memegang kebijakan di sekolahku. Setelah beliau selesai menerangkan pelajaran, dan sedikit memberi pesan kepada kami yang akan segera naik level ke universitas.

“Ustad, menurut Ustad, saya harus jadi apa?

Jadi preman pasar, saya tidak bisa silat, badan pun kecil karena kebutuhan gizi masa pubertas tidak tercukupi.

Mau jadi bisnismen, teman-teman yang saya kenal hanya ada di sini. Asrama dan sekolah tidak memberi banyak kesempatan dengan orang-orang luar untuk berinteraksi.

Mau jadi ulama, hafalan Quran tidak ada, kitab fikih hanya sebatas shalat, zakat, puasa, comot sini comot sana.

Saya bingung, Ustad. Bisa jadi apa saya?”

Kau tahu jawaban apa yang aku dapat?

“Buang ulatnya, ambil tebunya!”

Wow! Lalu hubungannya dengan pertanyaanku apa?

***

Aku mungkin terperangkap ragu, bingung, galau beberapa waktu lalu. Tapi kini aku sadar, galau yang terendap lama akan berubah menjadi energi negatif yang kadang bisa membuat gila, sebagian orang menyebutnya marah. Ya, aku marah, tapi tidak tahu pada siapa!

Waka kurikulum?

Ah, ya, dialah yang mengatur segala apa yang harus dipelajari. Dialah yang menyunat setiap menit-menit yang seharusnya digunakan untuk mempelajari ilmu agama secara total. Ah, ya, dialah yang mengontrol kegiatan belajar-mengajar. Waka kurikulum! Aku marah padamu!

Tapi tunggu, bukankah waka kurikulum hanya bekerja? Bukankah ia hanya melakukan tugas yang diberikan oleh kepala sekola? Ah, ya, kepala sekolah, kepala sekolah, kau lah yang membuat kami disorientasi. Bingung apa kami akan berakhir jadi pribadi sampah masyarakat tak berguna!

Tapi tunggu, ini juga bukan salah kepala sekolah sepenuhnya. Jika diteliti, pemotongan jam belajar agama disebabkan karena tuntutan UN, sehingga beberapa pelajaran rela disunat demi diulangnya 6 buah pelajaran yang akan di-UN-kan. Siapa yang bertanggung jawab? Kepala dinas pendidikan? Bukan, bukan, bukan. Ini pasti salah menteri pendidikan. Ini salah menteri pendidikan!

***

Saat marah tak bisa dilampiaskan, hanya sesal yang dapat dirasakan. Aku menyesal mengapa harus bersekolah di sekolah yang tidak punya kurikulum paten sehingga tidak menyebabkan murid-muridnya galau.

Ku dengar pesantren-pesantren di pulau seberang sana telah mengkaji kitab-kitab secara sempurna. Mereka sudah menghafal Al-Quran sejak belia. Mereka bahkan diijinkan untuk terjun ke masyarakat paling tidak 2 bulan setiap tahunnya.

Sedangkan aku? Aku siapa? Bisa jadi apa?

***

Kairo, 15 Februaru 2014



[1] Kitab keilmuan dasar Islam ringkas yang biasanya dihafal oleh para ulama