J : Buya, saya ingin bertanya. Saat ini saya sebagai muslim awam* mendapatkan banyak sekali informasi, termasuk juga informasi terkait perkara agama. Yang jadi masalah adalah, informasi yang saya dapat itu bermacam-macam sekali. Dalam satu kasus saja, pendapat ulama bisa banyak berbeda. Lalu bagaimana cara saya memilih pendapat yang akurat, agar saya bisa beramal dengan tenang? Pendapat mana yang akan saya gunakan?
B : Pakailah pendapat yang Saudara dapat langsung dari lisan guru.
Ilmu agama ini bukan sekedar informasi yang bisa diterima mentah-mentah saja langsung dari buku ataupun internet macam gosip selebriti. Kalau saudara salah paham, maka amal yang saudara lakukan nanti juga pasti salah.
B : Pakailah pendapat yang Saudara dapat langsung dari lisan guru.
Ilmu agama ini bukan sekedar informasi yang bisa diterima mentah-mentah saja langsung dari buku ataupun internet macam gosip selebriti. Kalau saudara salah paham, maka amal yang saudara lakukan nanti juga pasti salah.
Kalau amal salah, siapa yang nanti akan bertanggung jawab?
J : Berarti, dengan kata lain, Buya mengatakan kalau saya harus mencari guru yang bisa mengajarkan saya ilmu agama dan menjawab segala permasalahan yang muskil bagi saya?
B : Iya. Memang harus begitu. Begitulah ilmu agama Islam tetap utuh sampai saat ini. Nabi Saw mengajarkan agama kepada sahabat, sahabat kepada tabi'in, tabi'in kepada tabi' tabi'in, terus berlanjut kepada ulama di tiap masa, hingga sekarang.
J : Kalau saya harus mencari guru untuk belajar agama, lalu apa gunanya ulama-ulama dahulu menulis buku kalau bukan untuk dibaca oleh orang macam saya, Buya? Bukankah buku itu sumber ilmu?
B : Nah, ini mungkin yang perlu diluruskan, pemahaman kita tentang buku. Benarkah buku itu sumber ilmu? Ternyata bukan.
Imam As-Syafi'i berkata, "Ilmu bagaikan hewan buruan, dan menuliskan ilmu itu bagai mengikat hewan buruan,". Imam Syafi'i mengumpamakan buku atau tulisan sebagai IKATAN ilmu, agar ilmu tersebut tidak lari, tidak terlupa. Berarti buku itu bukan sumber ilmu. Ilmu tetap harus 'diburu'.
Dalam artian, kita belajar ilmu agama itu dari guru, dan buku hanya kita jadikan sebagai pedoman, agar ilmu tersebut bisa kita ulang, sebagai pengingat di kala lupa. Sebagai penolong dalam belajar. Ingat! Sumber ilmu itu adalah ulama, bukan buku.
Saya beri analogi. Misalkan Saudara punya buku tentang penyakit-penyakit umum beserta obatnya. Saudara berani tidak, ketika anak Saudara sakit, untuk berpedoman pada buku tersebut, kemudian langsung membeli obat tanpa berkonsultasi dengan dokter?
J : Wah, mana berani saya, Buya.
B : Kenapa?
J : Karena boleh jadi saya salah dalam memahami buku tersebut, atau pemahaman saya benar, tetapi penyakit yang dialami anak saya membutuhkan ketelitian yang tidak saya miliki. Atau kemungkinan lain, boleh jadi di buku tersebut terdapat kesalahan redaksi, ada kata yang hilang, huruf yang tertukar, ini hal wajar dalam penerbitan. Bisa tambah parah nanti penyakitnya.
B : Lalu solusinya bagaimana?
J : Ya saya datangi dokter untuk memeriksa serta memberi resep obat yang harus saya beli dan konsumsi.
B : Naaah.. Itu saudara tahu. Kalau urusan berobat saja saudara berhati-hati, maka urusan agama, saudara harus lebih berhati-hati. Urusan kesehatan, kejadian paling buruk ya mati. Kalau urusan agama tidak hati-hati, neraka menanti. Mau?
J : Nauzubillah, Buya. InsyaAllah mulai hari ini saya akan belajar agama dari guru.
B : Bagus, begitu dong! Tetapi jangan anggap remeh juga manfaat buku serta info dari internet. Anggap itu sebagai tambahan wawasan, untuk membuat kita lebih bijak, bukan untuk diamalkan.
Yang kita amalkan hanyalah yang terjamin sumbernya, terjamin pemahamannya. Yang kita dapatkan langsung dari guru, karena itulah satu-satunya sumber ilmu agama yang valid. Dari guru yang keilmuannya bersambung sampai berujung pada Nabi Saw. Dari guru yang ulama, yang mewarisi ilmunya dari anbiya.
Allah katakan, "Maka bertanyalah kepada orang yang punya pengetahuan apabila kamu tidak tahu,". Allah suruh kita mendatangi ulama apabila kita tidak tahu, bukan membaca. Perintah membaca itu bukan saat kita tidak tahu seperti sekarang ini.
Pendapat imam mujtahid pasti benar, karena melalui proses yang benar : ijtihad. Tetapi pemahaman kita terhadap hasil ijtihad mujtahid tersebut bisa jadi salah. Maka untuk memastikan kesesuaian pemahaman kita dengan hasil ijtihad mujtahid, pastikan bahwa proses belajar kita benar. Belajarlah dari guru.
***
Sudahkah kita belajar agama dengan proses yang benar? :)
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
*awam bukan berarti bodoh. Awam adalah istilah untuk orang yang tidak ahli di bidang lain. Insinyur adalah awam di mata dokter. Dokter pun adalah awam di mata ulama. Dst.
No comments:
Post a Comment