Siang itu suasana kelas terasa nikmat. Diskusi yang dikomandoi langsung oleh dosen kami, Dr. Mahmud Abu Sayyid juga terasa cair dan menarik.
Semua terasa normal, hingga kami masuk pada permasalahan 'hukum membaca al-fatihah dalam salat'. Entah kenapa, dengan konyol seorang mahasiswa menyeletuk, "Bukankah al-Fatihah bukanlah rukun salat dalam mazhab Imam Abu Hanifah, sehingga tidak perlu dibaca?"
Suasana kelas hening seketika. Air muka Dr. Mahmud berubah, tanda ada hal yang tidak beliau suka.
Semua terasa normal, hingga kami masuk pada permasalahan 'hukum membaca al-fatihah dalam salat'. Entah kenapa, dengan konyol seorang mahasiswa menyeletuk, "Bukankah al-Fatihah bukanlah rukun salat dalam mazhab Imam Abu Hanifah, sehingga tidak perlu dibaca?"
Suasana kelas hening seketika. Air muka Dr. Mahmud berubah, tanda ada hal yang tidak beliau suka.
Beliau menatap tajam si mahasiswa yang tadi menyeletuk, "Kamu tahu secara rinci tidak, bagaimana ulama hanafiah (yang bermazhab Imam Abu Hanifah) memandang al-Fatihah dalam salat?"
Si mahasiswa hanya senyum-senyum salah tingkah. Ia sadar bahwa ia telah melakukan kekeliruan. Barangkali, jika ia punya cadar, tentu sudah dari tadi ia sembunyikan mukanya.
Dr. Mahmud pun melanjutkan. "Asal kalian tahu, membaca al-Fatihah dalam mazhab Imam Abu Hanifah memang bukan rukun salat. Namun hukum membacanya tetap wajib,"
Beliau memberi jeda. Mungkin karena sedang melihat wajah-wajah mahasiswa yang selama ini salah paham, mengalami apa yang jamak disebut 'mindblown'.
Beliau melanjutkan, "Dalam artian, orang yang tidak membaca al-Fatihah dalam salat, salatnya tetap sah, namun ia berdosa,"
Kini saya yang merasa seolah waktu berhenti, saya juga terkena 'mindblown'. Berdosa???!
"Nah, untuk menebus dosanya ini, ia harus mengulang kembali salatnya, dengan membaca surat al-Fatihah," Makanya, sebelum mengatakan pendapat ini pendapat itu, pastikan dulu bahwa kita sudah tahu luar dalam serinci-rincinya.
Whisssssss.. bisik-bisik dan helaan nafas bercampur baur. Tampaknya beberapa mahasiswa yang tadi mengalami 'mindblown', sudah mulai memahami bahwa membahas pendapat ulama sebatas kulitnya saja, sama dengan menelan kulit padi yang isinya hampa.
Karena saat kita selami pendapat masing-masing ulama, para imam mujtahid, kita akan dapati bahwa kebanyakan perbedaan mereka hanya sebatas redaksi. Namun esensi serta pengamalannya sama.
Contohnya masalah al-Fatihah tadi. Jumhur ulama memasukkan al-Fatihah sebagai rukun salat, sedangkan ulama Hanafiah tidak. Mereka memosisikan bacaan al-Fatihah sebagai sesuatu yang wajib dilakukan saat salat, bukan rukun. Rincian pendapat ini boleh dicek di kitab Hasyiyah Thahawiyah.
Berbeda dalam redaksi, sama dalam esensi. Buktinya menurut pendapat manapun, orang yang salat tanpa membaca al-Fatihah harus kembali mengulang salatnya. Menurut pendapat manapun, surat al-Fatihah tetap harus dibaca.
Kalaulah mengambil pendapat ulama hanya berbekal buku kompilasi hukum Islam, buku perbandingan mazhab, ataupun kumpulan fatwa saja, tentu hanya redaksi yang dibahas, perbedaan yang dikedepankan. Tidak akan ada pembahasan efek khilaf serta hal-hal yang membutuhkan kajian lebih dalam. Apalagi membaca buku-buku ini pasti tanpa pembimbing ahli. Bahaya.
Makanya, dalam mempelajari ilmu agama, kita harus merujuk kepada sumber aslinya, di bawah bimbingan guru yang juga ahli di bidangnya. Agar pemahaman kita pas, tidak kurang, dan nanti saat menyampaikan kepada masyarakat pun tenang, karena pasti bersandar kepada Imam Mujtahid.
Bukanlah seorang ulama, yang hanya bermodal buku kompalasi hukum Islam, kemudian berfatwa dan menulis macam-macam. Kalaulah yang seperti ini dianggap ulama, maka tentu semua orang pun bisa jadi ulama. Yang bodoh maupun cerdas, yang bisa berbahasa Arab maupun tidak.
Akan tetapi tidak. Ada perbedaan tipis yang memisahkan antara alim dan awam, antara faqih dan jamaah. Jika mujtahid harus memastikan bahwa metode pengolahan dalil yang ia gunakan harus sahih, maka pelajar agama yang masih belum mencapai derajat ijtihad harus memastikan bahwa pendapat dan fatwa yang ia nukilkan memang PAS dan SESUAI dari Imam Mujtahid. Dan untuk memastikan kesesuaian ini, ia harus mempelajarinya dari kitab-kitab yang muktabar, serta dibimbing oleh guru yang ahli, yang memiliki rantai keilmuan yang bersambung terus menerus sampai kepada imam mujtahid, dan kemudian terus sampai kepada Nabi Saw.
Sedangkan kitab kompilasi hukum hanya akan ia jadikan pengayaan, penambah wawasan. Bukan sumber fatwa.
Kalau tidak bisa memastikan kesesuaian pemahaman yang kita dapat dengan pemahaman mujtahid, lebih baik diam, dan sibukkan diri untuk lebih giat belajar. Belajarlah dari guru, bukan dengan otodidak. Jika otodidak dalam mempelajari kedokteran saja dianggap cacat secara intelektual, tentu otodidak mempelajari ilmu agama lebih cacat lagi. Cacat intelektual, cacat adab, cacat amal.
Dan tentu kita tak ingin jadi orang cacat, bukan?
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
No comments:
Post a Comment