Tuesday, August 16, 2016

Sudah Sarjana Agama, Kok Masih Belum Jadi Ulama? (Bacaan Wajib Untuk Pelajar Ilmu Agama)

Seorang mahasiswa lulusan sebuah pesantren moderen mendatangi seorang ulama. Pikirannya kalut, orientasinya berkabut, ia hendak bertanya dan meminta nasihat.

"Abuya. Saya seorang lulusan pesantren terkemuka. Nilai-nilai saya cemerlang. Kini pun saya termasuk mahasiswa berprestasi. Namun kenapa saat saya terjun ke masyarakat, saya merasa ilmu saya tak jauh beda dengan masyarakat awam? Padahal bertahun sudah saya lalui, banyak materi sudah saya korbankan. Bahkan saya rela untuk menunda menikah dan berpisah dengan orang tua,"

Sang ulama sejenak diam. Kemudian bertanya.

"Sudah berapa lama kamu belajar agama, anakku?"

"Ada sekitar 9 tahun, Abuya," jawab si pemuda.

"Dalam 9 tahun itu, adakah Ananda sudah menghafal al-Quran serta hadis-hadis hukum, setidaknya yang terangkum dalam Bulughul Maram? Dan apakah sanadnya sampai kepada Nabi Saw?"

"Al-Quran alhamdulillah sudah, Abuya. Namun hadis hanya hadis populer saja. Juga tidak bersanad,"

"Dalam 9 tahun itu, adakah ananda sudah hafal dan menguasai Matan al-Ajurrumiyah, Alfiyyah Ibni Malik dan Amtsilah Tashrifiyah, Matan as-Sullam Munawwaraq?"

"Belum, Abuya,"

"Dalam 9 tahun itu, sudahkah Ananda menguasai fikih secara komprehensif hingga kitab Minhajut Thalibin Imam Nawawi As-Syafi'i?"

"Belum, Abuya,"

"Dalam 9 tahun itu, adakah Ananda mematangkan konsep akidah, dengan menguasai kitab Aqidatul Awwam dan Jauharatut-Tauhid?"

"Ada belajar, tapi sebatas yang dikurikulumkan dan tidak lengkap, Abuya. Kini pun sudah lupa-lupa,"

"Dalam 9 tahun itu, sudahkah Ananda pelajari akhlak serta metode penyucian diri, dengan mempelajari kitab-kitab akhlak seperti Ta'limul Muta'allim serta Ihya Ulumuddin?"

"Kitab-kitab itu pernah saya dengar, namun tidak pernah saya pelajari, Abuya,"

"Dalam 9 tahun itu, sudahkah Ananda mematangkan konsep untuk memilah dan memahami dalil agama, dari ilmu tafsir, mustalah hadis dan usul fikih?"

"Ada Abuya. Tetapi kembali pada permasalahan tadi, hanya sebatas kulit, yang diwajibkan oleh kurikulum. Bukunya pun sebatas buku ringkas, tidak sampai kepada kitab klasik,"

Si pemuda mulai sadar bahwa semua yang ditanyakan sang ulama sebenarnya hanyalah pengetahuan dasar yang harus dikuasai untuk menjadi ulama. Dan ternyata tak sampai setengah yang ia capai.

"Abah tidak ingin membuat Ananda putus asa. Namun juga tidak ingin membiarkan Ananda berlarut dalam rasa bimbang dan kalut karena merasa belum menjadi ulama,"

"Abah pikir, Ananda sudah paham sekarang, mengapa Ananda merasa tidak jauh berbeda dengan orang awam. Karena memang Ananda hanya orang awam. Tidak memiliki kredibilitas untuk jadi ulama,"

"Maksud Abuya, 9 tahun yang sudah saya lalui sia-sia?" si pemuda bertanya.

"Dikatakan sia-sia pun, tidak sepenuhnya benar. Karena paling tidak, ada manfaat satu-dua yang Ananda dapatkan. Lebih tepatnya, 9 tahun yang sudah ananda lalui ini tidak termaksimalkan,"

"9 tahun Ananda habiskan untuk belajar, jauh dari orang tua, banyak sudah habis waktu dan harta, pergaulan pun sempit hanya sebatas kawan sekolah dan asrama, badan juga kurus karena memang makan apa adanya, namun tak kunjung menjadi ulama.

Keadaan ananda ini, kalau boleh Abah umpamakan, seperti orang yang ingin pergi menuju Jakarta. Ia sudah membeli tiket, sudah check in bandara, bahkan sudah naik pesawat, namun ternyata ia salah beli tiket. Pesawatnya memang sampai tujuan, namun tujuannya bukan Jakarta. Entah kemana, pastinya, Ananda memang sudah berpindah tempat. Hanya saja tempat Ananda kini bukanlah tempat yang Ananda harapkan,"

Si pemuda semakin tertunduk. Semakin sadar bahwa 9 tahun hidupnya seolah terbuang percuma.

"Keadaan Ananda dalam bahasa kampung Abah, umpama 'minyak abih, samba ndak lamak'. Minyak goreng sudah habis, gas sudah terpakai, namun masakan yang telah jadi malah tidak enak sehingga terbuang. Karena proses memasaknya salah,"

"Abah tidak akan menyalahkan Ananda. Yang salah adalah sistem yang Ananda ikuti. Ananda percaya bahwa sistem tersebut akan membentuk Ananda menjadi ulama. Namun ternyata sistem tersebut malah membentuk Ananda menjadi preman tanggung, ulama tak jadi,"

"Namun, Ananda harus ingat. Tak ada kata terlambat dalam belajar. Cukup 9 tahun Ananda habiskan untuk menyadari bahwa Ananda memang belum patut disebut ulama. Untuk menyadari bahwa 'kereta' yang ananda tumpangi dulu salah. Kini saatnya Ananda perbaiki. Belajarlah dengan metode yang benar. Kuasai ilmu-ilmu terkait. Kalau perlu, hafal kitab-kitab ringkas agar pemetaan setiap cabang ilmu terpatri di dalam otak. InsyaAllah, Allah akan bukakan jalan untuk Ananda agar memang benar-benar bisa menjadi ulama,"

"Tetapi masyarakat sudah menuntut saya untuk sudah menjadi ulama, Abuya, mengingat sudah panjang tahun yang saya lalui," ujar si pemuda, masih resah.

"Ananda. Tak peduli apa ekspektasi masyarakat, jangan coba menjadi apa yang bukan dirimu. Kalaupun masyarakat sudah menganggapmu ulama, jangan biarkan anggapan itu berlarut. Akuilah jika kamu memang tidak tahu. Rendah hatilah untuk mengatakan kalau kamu masih dalam proses belajar. Katakan bahwa menjadi ulama itu memang butuh perjuangan seumur hidup. Bukan dengan perjuangan 3, 6, 4, maupun 10 tahun saja,"

Si pemuda mengangguk takzim. Ia tarik nafas. Ada kelegaan terasa di sana.

"Terima kasih banyak, Abuya. InsyaAllah, kini saya akan mulai belajar dengan metode yang benar, agar bisa menjadi ulama sejati, pewaris para nabi. Tolong bimbing saya, Abuya," pemuda menjawab mantap.

"InsyaAllah. Semoga Allah selalu membimbing langkah Ananda agar benar-benar menjadi lebih baik, benar-benar menjadi ulama," jawab sang ulama sambil menggosok ubun-ubun si pemuda.

"Jika nanti Ananda benar-benar menjadi ulama, ingat pesan ini. Mempermudah pembelajaran agama dengan mengabaikan aspek yang wajib untuk dipelajari, akan mencetak ulama-ulama separuh jadi. Saat ulama macam ini turun ke masyarakat, muruah ulama menjadi rusak, dan setiap orang pun menjadi merasa bisa untuk berlagak sebagai ulama, karena ulama yang mereka pandang selama ini ternyata tak jauh berbeda pengetahuannya dengan mereka,"

***

Yang ingin jadi ulama, namun masih menaiki kereta yang salah, masih ada kesempatan untuk pindah, agar sampai pada tujuan,

Yang ingin jadi dokter pun, jika ia rajin jungkir balik mempelajari keilmuan arsitek, ahli mesin, perawat dan suster, ia tak akan jadi dokter. Maka metode belajar ini harus kita perhatikan,

Makanya ungkapan 'man jadda wajada' (kesungguhan) tidak berdiri sendiri, ia diiringi dengan ungkapan 'man sara 'alad darbi washala' (kebenaran metode dan jalan),

Kesungguhan tanpa kebenaran metode adalah kesia-siaan. Kebenaran metode tanpa kesungguhan akan membuahkan kegagalan,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Apa yang Harus Dilakukan Jika Si Ayah Tidak Mampu Mengajari Si Kecil Beribadah?

Seorang pemuda mendatangi seorang alim, hendak bertanya perihal pendidikan agama dalam keluarga.

P (pemuda) : "Buya, beberapa waktu lalu, Abuya menyampaikan bahwa ilmu agama yang kita sampaikan kepada orang lain harus disandarkan kepada imam mujtahid, yang didapat dari proses belajar di bawah bimbingan ulama. Dan tanpa dua syarat ini, berarti ilmu agama yang dimiliki tidak valid. Begitukah, Buya?"

B (buya) : "Iya benar."

P : "Kalau begitu saya hendak bertanya, Buya. Bagaimana hukumnya seorang bapak awam yang hanya bermodal membaca buku tuntunan salat lengkap atau pun buku sejenis itu, kemudian ia ajarkan anaknya salat? Karena kan mengajarkan salat dan ibadah dasar lainnya adalah kewajiban orang tua kepada anak."

B : "Jika si bapak dahulu sudah belajar tata cara beribadah dari guru yang ahli, dan masih mantap dengan ilmu yang ia punya, maka ia boleh mengajarkan anaknya. Adapun buku tuntunan salat tadi, hanya ia gunakan sebagai pedoman, agar pendidikan yang ia berikan kepada anaknya rapi dan komprehensif."

P : "Lalu bagaimana dengan bapak yang tidak pernah belajar, ataupun yang pernah belajar, namun lupa ataupun ragu-ragu, Buya?"

B : "Orang tua dengan sifat-sifat yang ananda sebutkan tersebut harus mencarikan guru ahli yang bisa mengajarkan anaknya beribadah. Bukan hanya mengajarkan anaknya, si bapak pun harus ikut juga belajar. Pastikan bahwa ibadah yang dilakukan memang sesuai dengan tuntunan agama."

P : "Lho, bukankah kalau begini, beragama itu jadinya memberatkan, Buya? Setahu saya, agama itu turun sebagai rahmat, bukan beban. Agama itu kemudahan, bukan kesulitan."

B : "Lho, Ananda ini bertanya, kok malah membantah. Mestinya, kalau bertanya ya terima. Ini adab murid terhadap guru.

Tapi ayah paham. Mungkin Ananda masih belum paham konsep beragama.

Begini. Ananda sudah keliru mengatakan bahwa agama itu bukan beban. Silakan Ananda pelajari kembali ; seluruh syariat itu beban. Salat subuh di saat kantuk menjadi-jadi, perintah haji padahal uangnya bisa digunakan untuk memperkaya diri, larangan berzina padahal nafsu berontak. Istilah dalam Bahasa Arabnya 'taklîf'. Dan mengangkat beban itu memang tidak mudah. Sulit, berat.

Beribadah itu adalah kewajiban, karena beribadah adalah tujuan manusia dan jin diciptakan. Dengan kata lain, jangan anggap enteng ibadah, dan jangan anggap enteng pula PROSES belajar beribadah. Ibadahlah yang nanti akan membedakan antara penghuni surga dan neraka. Maka pastikan bahwa ibadah yang dilakukan sesuai tuntunan. Dan hanya ulama yang mampu untuk memastikan hal ini.

Kalaulah kita merasa ringan membiayai anak kita untuk sekolah, kursus, bimbel, bahkan privat, kenapa kita merasa berat untuk mencari ulama untuk mengajarkan anak kita beribadah? Padahal amal ibadah ini akan bertahan walaupun raga sudah berkalang tanah.

Bahkan kalau mendatangkan guru agama itu memerlukan biaya, sediakan! Berkorbanlah sedikit untuk kehidupan akhirat yang baik. Karena itu adalah satu dari 6 syarat ilmu sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafii.

Dan karena Ananda sudah mendengar ceramah ayah tentang beda antara ulama sejati dan ulama jadi-jadian yang hanya bermodal penampilan, carilah guru yang metode belajarnya pas dan mantap. Yang keilmuannya memang bertali dan bersambung sampai kepada para Imam Mujtahid. Karena keilmuan para Imam mujtahid itu tersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Mereka ini yang disebut pewaris para nabi. Wallahu a'lam."

P : "Ooh, begitu ya, Buya. Terima kasih banyak, Buya. Saya juga mohon maaf atas kesalahpahaman saya tadi. Mudah-mudahan anak saya nanti bisa saya ajarkan beribadah dengan pas dan benar. Namun untuk sekarang, cukup saya saja yang belajar kepada Buya."

B : "Lho kok tidak sekalian saja anak dan istri Ananda dibawa ke sini, agar bisa belajar bersama?"

P : "Iya, Buya. Begini, saya belum menikah. Jadi otomatis belum punya anak." :v

A : "Aiiiiiii..! Dasar bujangan! Ayah kira kamu sudah berkeluarga!"
:D

***

Betapa banyak orang tua yang berharap mendapat anak saleh, berbakti dan mampu membawa orang tuanya ke surga, namun yang dilakukan untuk mencapai harapan itu hanya sebatas doa minim usaha,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Ini yang Harus Anda Lakukan dalam Memilih Pendapat Ulama yang Bisa Diamalkan!

J : Buya, saya ingin bertanya. Saat ini saya sebagai muslim awam* mendapatkan banyak sekali informasi, termasuk juga informasi terkait perkara agama. Yang jadi masalah adalah, informasi yang saya dapat itu bermacam-macam sekali. Dalam satu kasus saja, pendapat ulama bisa banyak berbeda. Lalu bagaimana cara saya memilih pendapat yang akurat, agar saya bisa beramal dengan tenang? Pendapat mana yang akan saya gunakan?

B : Pakailah pendapat yang Saudara dapat langsung dari lisan guru.

Ilmu agama ini bukan sekedar informasi yang bisa diterima mentah-mentah saja langsung dari buku ataupun internet macam gosip selebriti. Kalau saudara salah paham, maka amal yang saudara lakukan nanti juga pasti salah.

Kalau amal salah, siapa yang nanti akan bertanggung jawab?

J : Berarti, dengan kata lain, Buya mengatakan kalau saya harus mencari guru yang bisa mengajarkan saya ilmu agama dan menjawab segala permasalahan yang muskil bagi saya?

B : Iya. Memang harus begitu. Begitulah ilmu agama Islam tetap utuh sampai saat ini. Nabi Saw mengajarkan agama kepada sahabat, sahabat kepada tabi'in, tabi'in kepada tabi' tabi'in, terus berlanjut kepada ulama di tiap masa, hingga sekarang.

J : Kalau saya harus mencari guru untuk belajar agama, lalu apa gunanya ulama-ulama dahulu menulis buku kalau bukan untuk dibaca oleh orang macam saya, Buya? Bukankah buku itu sumber ilmu?

B : Nah, ini mungkin yang perlu diluruskan, pemahaman kita tentang buku. Benarkah buku itu sumber ilmu? Ternyata bukan.

Imam As-Syafi'i berkata, "Ilmu bagaikan hewan buruan, dan menuliskan ilmu itu bagai mengikat hewan buruan,". Imam Syafi'i mengumpamakan buku atau tulisan sebagai IKATAN ilmu, agar ilmu tersebut tidak lari, tidak terlupa. Berarti buku itu bukan sumber ilmu. Ilmu tetap harus 'diburu'.

Dalam artian, kita belajar ilmu agama itu dari guru, dan buku hanya kita jadikan sebagai pedoman, agar ilmu tersebut bisa kita ulang, sebagai pengingat di kala lupa. Sebagai penolong dalam belajar. Ingat! Sumber ilmu itu adalah ulama, bukan buku.

Saya beri analogi. Misalkan Saudara punya buku tentang penyakit-penyakit umum beserta obatnya. Saudara berani tidak, ketika anak Saudara sakit, untuk berpedoman pada buku tersebut, kemudian langsung membeli obat tanpa berkonsultasi dengan dokter?

J : Wah, mana berani saya, Buya.

B : Kenapa?

J : Karena boleh jadi saya salah dalam memahami buku tersebut, atau pemahaman saya benar, tetapi penyakit yang dialami anak saya membutuhkan ketelitian yang tidak saya miliki. Atau kemungkinan lain, boleh jadi di buku tersebut terdapat kesalahan redaksi, ada kata yang hilang, huruf yang tertukar, ini hal wajar dalam penerbitan. Bisa tambah parah nanti penyakitnya.

B : Lalu solusinya bagaimana?

J : Ya saya datangi dokter untuk memeriksa serta memberi resep obat yang harus saya beli dan konsumsi.

B : Naaah.. Itu saudara tahu. Kalau urusan berobat saja saudara berhati-hati, maka urusan agama, saudara harus lebih berhati-hati. Urusan kesehatan, kejadian paling buruk ya mati. Kalau urusan agama tidak hati-hati, neraka menanti. Mau?

J : Nauzubillah, Buya. InsyaAllah mulai hari ini saya akan belajar agama dari guru.

B : Bagus, begitu dong! Tetapi jangan anggap remeh juga manfaat buku serta info dari internet. Anggap itu sebagai tambahan wawasan, untuk membuat kita lebih bijak, bukan untuk diamalkan.

Yang kita amalkan hanyalah yang terjamin sumbernya, terjamin pemahamannya. Yang kita dapatkan langsung dari guru, karena itulah satu-satunya sumber ilmu agama yang valid. Dari guru yang keilmuannya bersambung sampai berujung pada Nabi Saw. Dari guru yang ulama, yang mewarisi ilmunya dari anbiya.

Allah katakan, "Maka bertanyalah kepada orang yang punya pengetahuan apabila kamu tidak tahu,". Allah suruh kita mendatangi ulama apabila kita tidak tahu, bukan membaca. Perintah membaca itu bukan saat kita tidak tahu seperti sekarang ini.

Pendapat imam mujtahid pasti benar, karena melalui proses yang benar : ijtihad. Tetapi pemahaman kita terhadap hasil ijtihad mujtahid tersebut bisa jadi salah. Maka untuk memastikan kesesuaian pemahaman kita dengan hasil ijtihad mujtahid, pastikan bahwa proses belajar kita benar. Belajarlah dari guru.

***

Sudahkah kita belajar agama dengan proses yang benar? :)

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

*awam bukan berarti bodoh. Awam adalah istilah untuk orang yang tidak ahli di bidang lain. Insinyur adalah awam di mata dokter. Dokter pun adalah awam di mata ulama. Dst.

Ini Sebabnya, Mengapa Anda harus Benar-benar Berhati-hati Mengambil Sumber Ilmu Agama!

Siang itu suasana kelas terasa nikmat. Diskusi yang dikomandoi langsung oleh dosen kami, Dr. Mahmud Abu Sayyid juga terasa cair dan menarik.

Semua terasa normal, hingga kami masuk pada permasalahan 'hukum membaca al-fatihah dalam salat'. Entah kenapa, dengan konyol seorang mahasiswa menyeletuk, "Bukankah al-Fatihah bukanlah rukun salat dalam mazhab Imam Abu Hanifah, sehingga tidak perlu dibaca?"

Suasana kelas hening seketika. Air muka Dr. Mahmud berubah, tanda ada hal yang tidak beliau suka.

Beliau menatap tajam si mahasiswa yang tadi menyeletuk, "Kamu tahu secara rinci tidak, bagaimana ulama hanafiah (yang bermazhab Imam Abu Hanifah) memandang al-Fatihah dalam salat?"

Si mahasiswa hanya senyum-senyum salah tingkah. Ia sadar bahwa ia telah melakukan kekeliruan. Barangkali, jika ia punya cadar, tentu sudah dari tadi ia sembunyikan mukanya.

Dr. Mahmud pun melanjutkan. "Asal kalian tahu, membaca al-Fatihah dalam mazhab Imam Abu Hanifah memang bukan rukun salat. Namun hukum membacanya tetap wajib,"

Beliau memberi jeda. Mungkin karena sedang melihat wajah-wajah mahasiswa yang selama ini salah paham, mengalami apa yang jamak disebut 'mindblown'.

Beliau melanjutkan, "Dalam artian, orang yang tidak membaca al-Fatihah dalam salat, salatnya tetap sah, namun ia berdosa,"

Kini saya yang merasa seolah waktu berhenti, saya juga terkena 'mindblown'. Berdosa???!

"Nah, untuk menebus dosanya ini, ia harus mengulang kembali salatnya, dengan membaca surat al-Fatihah," Makanya, sebelum mengatakan pendapat ini pendapat itu, pastikan dulu bahwa kita sudah tahu luar dalam serinci-rincinya.

Whisssssss.. bisik-bisik dan helaan nafas bercampur baur. Tampaknya beberapa mahasiswa yang tadi mengalami 'mindblown', sudah mulai memahami bahwa membahas pendapat ulama sebatas kulitnya saja, sama dengan menelan kulit padi yang isinya hampa.

Karena saat kita selami pendapat masing-masing ulama, para imam mujtahid, kita akan dapati bahwa kebanyakan perbedaan mereka hanya sebatas redaksi. Namun esensi serta pengamalannya sama.

Contohnya masalah al-Fatihah tadi. Jumhur ulama memasukkan al-Fatihah sebagai rukun salat, sedangkan ulama Hanafiah tidak. Mereka memosisikan bacaan al-Fatihah sebagai sesuatu yang wajib dilakukan saat salat, bukan rukun. Rincian pendapat ini boleh dicek di kitab Hasyiyah Thahawiyah.

Berbeda dalam redaksi, sama dalam esensi. Buktinya menurut pendapat manapun, orang yang salat tanpa membaca al-Fatihah harus kembali mengulang salatnya. Menurut pendapat manapun, surat al-Fatihah tetap harus dibaca.

Kalaulah mengambil pendapat ulama hanya berbekal buku kompilasi hukum Islam, buku perbandingan mazhab, ataupun kumpulan fatwa saja, tentu hanya redaksi yang dibahas, perbedaan yang dikedepankan. Tidak akan ada pembahasan efek khilaf serta hal-hal yang membutuhkan kajian lebih dalam. Apalagi membaca buku-buku ini pasti tanpa pembimbing ahli. Bahaya.

Makanya, dalam mempelajari ilmu agama, kita harus merujuk kepada sumber aslinya, di bawah bimbingan guru yang juga ahli di bidangnya. Agar pemahaman kita pas, tidak kurang, dan nanti saat menyampaikan kepada masyarakat pun tenang, karena pasti bersandar kepada Imam Mujtahid.

Bukanlah seorang ulama, yang hanya bermodal buku kompalasi hukum Islam, kemudian berfatwa dan menulis macam-macam. Kalaulah yang seperti ini dianggap ulama, maka tentu semua orang pun bisa jadi ulama. Yang bodoh maupun cerdas, yang bisa berbahasa Arab maupun tidak.

Akan tetapi tidak. Ada perbedaan tipis yang memisahkan antara alim dan awam, antara faqih dan jamaah. Jika mujtahid harus memastikan bahwa metode pengolahan dalil yang ia gunakan harus sahih, maka pelajar agama yang masih belum mencapai derajat ijtihad harus memastikan bahwa pendapat dan fatwa yang ia nukilkan memang PAS dan SESUAI dari Imam Mujtahid. Dan untuk memastikan kesesuaian ini, ia harus mempelajarinya dari kitab-kitab yang muktabar, serta dibimbing oleh guru yang ahli, yang memiliki rantai keilmuan yang bersambung terus menerus sampai kepada imam mujtahid, dan kemudian terus sampai kepada Nabi Saw.

Sedangkan kitab kompilasi hukum hanya akan ia jadikan pengayaan, penambah wawasan. Bukan sumber fatwa.

Kalau tidak bisa memastikan kesesuaian pemahaman yang kita dapat dengan pemahaman mujtahid, lebih baik diam, dan sibukkan diri untuk lebih giat belajar. Belajarlah dari guru, bukan dengan otodidak. Jika otodidak dalam mempelajari kedokteran saja dianggap cacat secara intelektual, tentu otodidak mempelajari ilmu agama lebih cacat lagi. Cacat intelektual, cacat adab, cacat amal.

Dan tentu kita tak ingin jadi orang cacat, bukan?

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

Menggunakan Obat Tetes Hidung Saat Berpuasa, Batalkah?

Allah jelas-jelas mengatakan bahwa orang yang sakit dibolehkan untuk tidak berpuasa dan mengganti di hari lainnya,

Makanya, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa memakai obat tetes hidung, tetas telinga, ataupun obat dubur itu tidak membatalkan puasa,

Karena segala hal yang masuk ke dalam lubang terbuka di tubuh, itu membatalkan puasa, termasuk lubang kemaluan, dubur, hidung maupun telinga,

Tidak ada alasan bahwa hal-hal tersebut dilakukan untuk berobat. Kalaulah memang 'tujuan berobat' membuat puasa kita tidak batal, tentu minum obat maag di siang Ramadan tidak membatalkan puasa,

Jika kita terpaksa menggunakan obat tetes hidung, tetes telinga ataupun pil dubur, pastikan bahwa obat-obat tersebut digunakan pada malam hari, antara magrib hingga subuh. Atau kapan perlu, terima keringanan dari Allah. Jangan berpuasa, tapi menggantinya jangan lupa!

Hati-hati menerima fatwa atau apapun yang berkaitan dengan puasa. Karena hal-hal yang membatalkan puasa itu jelas, ada 4 :
1. Berhubungan badan
2. Keluar mani dengan sengaja
3. Muntah dengan sengaja
4. Memasukkan sesuatu benda ke dalam rongga* di tubuh melalui lubang yang terbuka (termasuk di sini makan, minum, memakai tetes hidung dan tetes telinga. Obat tetes mata tidak masalah, karena mata bukan lubang yang terbuka)

Pastikan bahwa ilmu yang kita dapat dan yang kita sampaikan itu memang berasal dari Imam Mazhab yang muktabar. Jangan berfatwa asal-asalan, jangan belajar dari sumber asal-asalan, neraka ganjarannya,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

*Rongga dalam tubuh itu ada dua.

Pertama rongga kepala, pintu masuknya itu dari hidung dan telinga. Mengupil ataupun mengorek telinga hanya diperbolehkan sampai batas secukupnya, jangan terlalu dalam. Cukup sampai batas yang terjangkau oleh telunjuk.

Kedua rongga badan. Pintu masuknya dari tenggorokan, kerongkongan (Dari makhraj huruf ha <ح>), dubur dan qubul. Hati-hati saat berkumur ataupun cebok (istinja). Jika ragu-ragu, jangan dilakukan saat berpuasa.

Pastikan dua rongga ini tidak dimasuki sesuatu apapun, melalui lubang terbuka selama berpuasa, walaupun itu obat. Jika terlanjur, maka puasa mesti diganti.

Wallahu a'lam.

Tiga Tingkatan Ikhlas yang Harus Diketahui

Ikhlas itu ada tiga tingkatan,

Pertama, yang terendah, adalah melakukan karena amal karena mengharapkan maslahat dunia yang Allah janjikan,

Contohnya bersedekah dan menyingkirkan beban hidup saudara kita, agar Allah juga singirkan beban yang kita hadapi. Ataupun berpuasa dengan alasan kesehatan,

Kedua, yang menengah, adalah beramal karena mengharapkan maslahat akhirat. Tak usah ditanya, sudah jelas kategori ini adalah keikhlasan yang termotivasi surga balasan, ataupun neraka sebagai ancaman,

Katiga, yang paling tinggi, yang sempurna, adalah amal yang dilakukan semata karena Allah. Tak peduli ada maslahat dunia, tak peduli di akhirat ada ganjaran,

Bukan berarti, saat orang beramal karena mengharap janji Allah di dunia ataupun di akhirat, Anda boleh katakan bahwa mereka tak tulus. Karena itu semua Allah-lah yang menjanjikan,

Jangan sampai karena ibadah Anda level ikhlasnya tinggi, orang yang level ikhlasnya masih belum sempurna Anda rendahkan,

Itu namanya takabur. Boleh jadi pahala ikhlas Anda tadi hilang karena dikikis dosa sombong. Di sini pintu masuk setan,

Biarkan saudara Anda beribadah sesuai kadar keikhlasan yang ia mampu. Selama masih masuk kategori ikhlas. Jangan paksakan ia untuk bisa selevel dengan Anda. Biarkan ia lewati proses agar keikhlasan sempurna bisa ia dapatkan,

Doakan ia, doakan pula saya, agar tak lagi peduli surga dan neraka dalam beramal dan mampu menjadikan Allah satu-satunya alasan,

Jangan sampai amal yang kita lakukan malah membuat sombong. Karena memang amal saleh adalah pintu masuk setan paling besar setelah ilmu. Begitu kata Imam Muhammad bin Ali Al-Barkawi. Hati-hati dengan permainan setan. Tingkatkan kewaspadaan,

Ah, ya, tentang pembagian keikhlasan, itu adalah salah satu mutiara hikmah yang disampaikan Syaikh Salim al-Khathib di salah satu pengajian,

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)