|
mirip kan? :D |
“Bagus, kan?” ibu bertanya, sambil menatap gorden yang terpasang cantik di pintu setiap kamar. Aku mengangguk, karena memang gorden yang ibu jahit dengan tangan beliau sendiri tak kalah dengan gorden istana yang ku lihat di televisi.
Aku tahu beliau merasa senang, puas, atau apalah perasaan itu disebut. Sebuah perasaan yang dirasakan oleh setiap seniman saat menyelesaikan sebuah karya. Wajah beliau makin cerah saat setiap orang yang berkunjung ke rumah bertanya, “Beli dimana gorden secantik ini?”
Ibu hanya menjawab pendek sambil tersipu, “Saya jahit sendiri,”
Ah, anak mana yang tak bangga jika punya ibu seperti beliau?
***
Aku berjalan mendampingi ibu membeli perlengkapan yang akan ku bawa merantau jauh, ke Negeri Piramid. Yah, boleh dibilang ini adalah simbiosis mutualisme. Ibu yang lihai menawar saat berbelanja bertugas sebagai negosiator, sedangkan aku, anak bujangnya yang tertua, bertugas untuk membawa semua barang belanjaan. Namun jangan samakan aku dengan mesin traktor!
Suasana Pasar Aua Kuniang memang tak seramai saat sebelum lebaran tiba, namun tetap saja sesaknya masih bisa membuat beberapa orang kambuh asma. Tak heran, karena pasar ini adalah pusat grosir tekstil di Sumatera. Ditambah lagi lokasinya yang mengelilingi terminal paling sibuk di Bukittinggi.
Saat aku asyik memperhatikan suasana pasar, ibu tiba-tiba berhenti. Beliau melihat sebuah toko yang menjual banyak gorden cantik. Ibuku masuk, melihat, dan mengusap beberapa gorden, mengetes kelembutan dasar kainnya.
Sesaat terjadi percakapan antara ibu dan wanita penjaga toko. Aku tahu ibu tidak berniat membeli, karena beliau lebih suka menjahit sendiri. Ibu pun keluar dari toko, menatapku dengan muka datar.
“Murah kirono arago gorden disiko pado manjaik surang, Bib,” ujar ibu sedikit lesu.
Tentu saja, gorden yang dijual di sini dibuat secara masal, sehingga biaya produksinya akan lebih murah dibanding harga gorden yang dibuat satuan.
“Memangnya harganya berapa, Bu?”
“Yah, rugi sekitar sepuluh ribu, ditambah lagi tenaga dan waktu yang digunakan selama menjahit,”
Sejenak aku teringat wajah antusias ibu saat beliau menjahit gorden-gorden yang menghias rumah kami. Aku teringat saat beliau tetap menjahit meskipun masih banyak tugas rumah tangga yang harus beliau kerjakan. Aku teringat bahwa ibu menyelesaikan semuanya, tugas beliau sebagai guru, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai seniman jahit, dalam satu waktu. Bahkan lebih dahsyatnya, semua itu beliau lakukan dua pekan sebelum lebaran, pada saat beliau puasa. Ah, betapa luar biasanya beliau, betapa beruntungnya Ayah karena mendapatkan istri seperti beliau.
Tiba-tiba aku mendapat jawaban luar biasa untuk menghibur beliau.
“Tapi rasa bahagia saat gorden yang ibu jahit selesai tidak dapat diganti dengan uang sepuluh ribu, bukan? Rasa bahagia yang ibu rasakan saat orang takjub melihat hasil keringat ibu tidak bisa diganti dengan uang, bukan? Yang penting ibu senang bukan, jika rumah kita dihias oleh karya yang ibu jahit sendiri?”
Ah, tentu saja aku tahu bagaimana rasanya bahagia saat menuntaskan sebuah karya. Bukankah aku juga seniman, meskipun karya seniku semuanya berbentuk dua dimensi. Gambar, poster, ataupun kaligrafi. Berbeda dengan ibu, yang karya seninya kebanyakan dibuat dengan mesin jahit kesayangannya.
Sejenak ibu tersenyum, “Ah, iya juga,”
Langkah kaki beliau kembali normal. Kami berjalan beriringan menuju tempat Ayah menunggu kami.
***
Orang bilang, materi dan harta itu seperti air laut, makin diminum, makin bertambah rasa dahaga. Makanya, banyak orang yang punya kelebihan materi, namun ternyata hatinya kosong, hampa.
Terbukti bahwa tak segalanya bisa dibeli dengan materi. Cinta, kasih sayang, rasa bahagia, pun juga rasa puas yang dirasakan seniman saat menyelesaikan sebuah karya. Pun juga rasa puas penjahit saat menyelesaikan jahitannya.
Seperti ibuku, yang mungkin sedikit kecewa karena gorden yang beliau jahit ternyata tak lebih murah dari yang dijual oleh pedagang grosir. Aku paham kekecewaan beliau, beliau adalah manajer rumah tangga, yang pastinya memikirkan bahwa sedikit kerugian tadi bisa untuk membeli satu ons bawang. Itu memang tabiat wanita, yang merasa bertanggung jawab terhadap rumah tangganya.
Sore itu, aku menemukan sebuah rumus, sebuah kuota yang selalu aku ingat, hingga kini, setelah 2 tahun lebih aku meninggalkan kampung halaman. “Kepuasan seorang seniman adalah kepuasan unik yang tidak akan bisa dirasakan oleh orang lain, dan tidak akan bisa diganti dengan harta.” Begitulah kita-kira bunyinya.
Bolehlah kau samakan perasaan itu dengan perasaanmu saat melihat teman-temanmu makan dengan lahap, menghabisakan semua masakanmu. Rugi secara materi? Mungkin saja. Tapi coba periksa jauh di dalam hati, ada sebuah perasaan senang yang tak tergambarkan bukan?
Semoga kita bukan orang yang memuja harta dunia, karena terbukti, tak semua hal bisa dibeli dengannya. Dan sepantasnya kita tak lupa untuk berdoa semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^