Monday, July 25, 2016

Cerita Pulang Kampung : Fikih


Foto by: Salman Arif @copyright 2016
Saat pulang ke kampung halaman beberapa waktu lalu, sebenarnya saya ingin benar-benar menikmati waktu bersama keluarga, menghabiskan waktu dengan menyimpan sebanyak-banyaknya potongan memori yang nanti akan jadi kenangan yang akan saya rindukan saat kembali ke tanah rantau.


Namun ternyata keadaan menuntut saya untuk menyingkirkan bayang-bayang kampung halaman yang terbayang dahulu sebelum pulang. Jamaah Masjid At-Taqwa, masjid yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah saya, meminta saya untuk bisa berbagi ilmu sebelum kembali ke Mesir. Awalnya saya agak sungkan, mengingat pendeknya waktu yang saya punya di kampung. Sekitar 2 bulan lebih sedikit saja. Saya takut jika nanti saya memulai kajian, ujungnya malah tidak selesai dan tergantung-gantung di tengah jalan.

Namun karena mendesaknya permintaan, perintah orang tua, saya mulai menimbang. Bahwa ilmu yang saya punya adalah amanah, dan amanah mesti disampaikan. Saya pun mulai merancang apa yang akan saya sampaikan kepada masyarakat. Tentu yang masyarakat butuh sekarang adalah masalah yang berkaitan dengan tata cara ibadah praktis yang bisa langsung mereka praktekkan, fikih. Dan sayangnya, tak satupun ustaz pengisi kajian masjid yang menyampaikan tema ini. Kalaupun ada, itu pun tidak digunakan untuk menjadi pedoman dalam beribadah, namun malah untuk kualitas menghukumi ibadah orang lain, seperti yang memang banyak terjadi saat ini. “Si Anu itu lihat, ibadahnya macam itu. Itu bayangan penghuni neraka,”

Alhamdulillah, sebelum pulang kemarin saya sempat berkonsultasi dengan Syaikh Salim al-Khathib mengenai proses mengajar bagi masyarakat umum serta rujukan yang sebaiknya dijadikan bahan ajar. Beliau mengatakan, ajarkan masyarakat kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyah yang saat itu kami pelajari di bawah bimbingan beliau. Sebuah kitab yang memang hanya mencakup permasalahan ibadah, namun begitu ringkas, bahasanya mudah, dan lengkap hingga hal-hal yang rinci jika disandingkan dengan syarahnya. Saya pun merasa percaya diri untuk mengajar, karena saya sudah mempelajarinya di bawah bimbingan guru yang memiliki kredibilitas dan keilmuan yang bersambung sampai kepada imam mazhab, Imam Syafi’i.

Agar kajian fikih ini berjalan maksimal, saya hanya fokuskan kajian seputar taharah (kesucian), salat dan puasa. Bukan berarti saya menganggap enteng perkara haji dan zakat, namun mengingat dua ibadah ini termasuk ibadah kompleks, dan tidak dilakukan sesering ibadah lainnya, saya menunda kajiannya. Lagi pula, dua ibadah ini sudah memiliki panitia pelaksana. Ada BAZ, ada Seksi Haji di Kemenag. Dan apakah pegawai dua lembaga ini memiliki pengetahuan yang cukup tentang zakat dan haji? Mestinya ada.

Sebenarnya kajian fikih ini akan saya mulai langsung dengan membaca kitab. Namun mengingat banyak masyarakat kini yang telah lupa dengan konsep taklid mazhab, merasa sudah mampu mengambil hukum langsung dari Quran-Sunah tanpa paham Bahasa Arab, kepada ulama sekelas imam pun sudah hilang rasa hormat (istilahnya : mereka makan nasi, saya juga makan nasi), maka saya pun memulai kajian dengan menjabarkan sejarah perkembangan keilmuan Islam mulai dari zaman Rasulullah Saw, menjelaskan kerumitan proses pengambilan hukum dari al-Quran, memaparkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum bisa mengambil hukum langsung dari dalil-dalil yang ada. Tak lupa saya juga memberikan beberapa contoh kekonyolan yang muncul jika orang yang tidak memiliki kredibilitas alim mencoba-coba untuk mengambil hukum sendiri, seperti yang terjadi pada surat al-Baqarah ayat 115 dan ayat 187.

Alhamdulillah, rata-rata jamaah kembali memahami bahwa memang berijtihad itu tidak bisa sembarangan. Zahir dalil pun bisa jadi pemahamannya berbeda, karena dalil tidak Cuma satu, kita harus meneliti juga dalil lain. Intinya, saya menyampaikan bahwa taklid kepada Imam Mujtahid adalah satu-satunya cara beribadah bagi orang yang belum mencapai derajat mujtahid. Kalau sudah mencapai derajat mujtahid, silakan ambil hukum langsung dari dalilnya. Bahkan mujtahid dilarang untuk bertaklid kepada mujtahid lain. Kalau belum mampu namun memaksa untuk mengolah dalil, maka saya umpamakan itu sebagai tindakan sok berani, alias gadang sarawa.

Kegiatan kajian dilakukan setiap hari setelah salat subuh, hanya sekitar setengah jam paling lama. Ditambah dengan dua kali setelah magrib hingga isya, Selasa dan Kamis. Kajian secara keseluruhan berjalan lancar, saya kembali menjelaskan ibadah dari dasar. Mulai dari cara membedakan air yang boleh digunakan untuk bersuci dan yang tidak. Macam-macam najis serta cara menyucikannya tergantung sifat. Tak lupa juga saya sampaikan perihal wudu, mandi dan tayamum mulai dari rukun, syarat, sunah-sunah serta hal-hal yang makruh dilakukan pada saat bersuci. Ah, ya! Yang tak kalah penting juga, saya sampaikan tata cara istinjak/cebok, dan bagaimana tatacara istijmar (cebok tanpa air) berikut syarat dan ketentuannya.

Agaknya masyarakat menganggap sepele kajian ini, menganggapnya sebagai pelajaran anak-anak karena saya benar-benar mulai dari dasar. Di awal memang saya lihat tatapan meremehkan dari beberapa. Namun seiring berjalannya kajian, begitu rinci kajian yang saya berikan dan juga pemahaman-pemahaman yang ternyata keliru berkembang, masyarakat pun mulai menaruh perhatian. Contohnya saja, masih ada yang memegang mushaf al-Quran tanpa bersuci, padahal untuk memegangnya harus suci dari hadas kecil. Harus berwudu. Pun juga tentang najis anjing yang selama ini dipahami mesti disucikan dengan adonan tanah, layaknya mencuci pantat kuali yang hitam karena arang. Padahal cukup dengan mencampurkan tanah ke dalam air, kemudian alirkan air tersebut di tempat yang terkena najis. Dan juga perkara haid, dan pemahaman 15 hari maksimalnya yang hampir tidak pernah dijelaskan sehingga tidak ada satupun yang tahu.

Belum lagi tentang tayamum, yang syaratnya begitu banyak, dan ternyata tidak semua salat yang dilakukan dengan tayamum itu dihitung menggugurkan kewajiban. Dalam artian, ada beberapa keadaan yang membuat seseorang mesti mengganti salat yang ia lakukan dengan bertayamum. Apakah pembaca tahu hal ini? Kalau belum, segera cari guru untuk belajar agar tahu! :D

Meskipun lancar, terkadang dalam beberapa masalah rinci, ada sanggahan dari jamaah yang mungkin memiliki kajian berbeda sebelumnya. Seperti masalah qunut, masalah bacaan Fatihah bagi makmum yang salatnya jahar, masalah jumlah rakaat tarawih, juga perihal tayamum menggunakan debu yang basah.

Jika mendapatkan sanggahan macam ini, maka saya hanya akan menjawab bahwa kalau memang sanggahan tersebut didasarkan kepada hasil penelitian ulama mujtahid, dan didapatkan melalui sumber yang valid, maka silakan digunakan dalam beribadah. Namun jika pendapat tersebut hanya didapat dari bacaan, yang bisa jadi disalahpahami karena tidak divalidkan oleh bimbingan guru, maka saya tegaskan, cukup ikuti yang bisa kita pastikan sumbernya, yang bisa kita pastikan pemahamannya. Jika untuk kesehatan saja kita mesti merujuk kepada dokter, apalagi perkara agama.
Seiring berjalannya kajian, terlihat memang beberapa jamaah menghilang. Yang saya pahami, menghilangnya jamaah ini karena ada ketidaksesuaian metode. Seperti yang tadi saya sampaikan, kajian yang saya beri didasarkan pada pada pemahaman bahwa mengikuti ulama adalah satu-satunya cara agar ibadah kita (yang bukan mujtahid) berjalan sesuai syariat. Sedangkan beberapa jamaah memahami bahwa kita tidak perlu merujuk kepada ulama. Cukup langsung kepada Quran dan hadis, dan kalaupun ada pendapat ulama, ambil saja yang mudahnya. Barangkali mereka lupa pengantar yang saya berikan sebelum memulai kajian fikih, dan tak sadar, bahwa validnya suatu pendapat harus sesuai anjuran ulama, bukan sesuai dengan timbangan mudah atau sulit menurut pribadi. Ini namanya dorongan hawa.

Tetapi tak sedikit pula jamaah yang datang dari daerah yang agak jauh, sehingga rela mengendarai motor untuk salat subuh di masjid at-Taqwa. Jujur, yang begini yang membuat saya bahagia. 
Ehem, sehari sebelum saya kembali ke Mesir, pengurus memberikan bantuan logistik, karena memang salah satu program masjid kami adalah memberi bantuan dana bagi penduduk jorong yang mendapat kesempatan untuk kuliah di luar negeri. Alhamdulillah.

Setelah merampungkan kajian taharah, salat dan puasa, saya memberikan gambaran umum tentang kajian dari awal sampai akhir, dan memberikan modul pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun karena keterbatasan waktu, modul hanya sebatas taharah.

Mengingat kajian sudah berakhir dan waktu yang saya punya masih tersisa beberapa hari, maka saya berinisiatif untuk mengisinya dengan kajian akhlak. Saya menjadikan kitab At-Thariqah al-Muhammadiyah wa as-Sirah al-Ahmadiyah karya Imam Muhammad al-Barkawi yang dulu saya pelajari di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek sebagai bahan. Lain fikih, lain akhlak. InsyaAllah akan saya kisahkan di tulisan selanjutnya. :)

No comments:

Post a Comment