Monday, July 25, 2016

Cerita Pulang Kampung : Akhlak

Saya tegaskan, bahwa belajar fikih tanpa akhlak efeknya sama dengan belajar silat tanpa pekerti. Ilmu yang kita miliki malah dijadikan sebagai alat untuk menyerang orang lain, bukan malah untuk melindungi dan memperbaiki kualitas diri.

Bagaimana bisa?
Ya iya. Imam Muhammad al-Barkawi jelaskan, bahwa pintu masuk setan nomor satu adalah ilmu yang kita punya. Saat ilmu yang dimiliki tidak dibarengi dengan akhlak memadai, ditambah dengan dorongan setan yang pasti menjadi, efeknya ilmu tadi akan kita gunakan untuk menilai kualitas orang lain. “Oh, si anu kok masih tidak berjanggut.” “Ah, si anu kok pas mau sujud malah lututnya yang dahulu menyentuh sajadah.” “Bodoh. Sudah azan tapi masih berleha-leha bekerja. Mereka ini calon penghuni neraka.”

Jika ilmu seharusnya bisa membuat orang berderajat rendah menjadi tinggi, tanpa akhlak ilmu tersebut malah akan menjadi pemberat yang akan menghalangi seseorang untuk menggapai kemuliaan hakiki. Sama seperti orang yang pintar silat tadi. Tanpa pekerti, ia boleh jadi gunakan ilmunya untuk menindas orang lain. Nah, ini yang ingin saya imbangi.

Kajian akhlak yang hanya akan saya sampaikan sekitar seminggu saya fokuskan untuk membahas penyakit-penyakit akhlak yang batin. Imam al-Barkawi mengisitilahkannya dengan âfâtu’l qulûb (penyakit hati). Saya mulai dengan penyakit hati paling berbahaya, sombong.

Tak dapat dihitung banyaknya dalil yang menjelaskan betapa tecelanya penyakit sombong. Bahkan tak perlu  merujuk kepada dalil, siapapun akan paham bahwa sombong bukanlah sifat terpuji. Yang jadi masalah adalah saat orang yang sombong tidak menyadari kalau ia sombong. Nah, ini yang perlu saya jelaskan berikut contoh-contoh dari kajadian sehari-hari.

“Bapak ibu, hati-hati! Permainan setan sangat halus, sering kita tidak sadar kalau kita sudah termakan rayuan setan dalam penyakit sombong ini. Contoh, sehabis salam saat salat jamaah, kita masih celingak-celinguk lihat kiri-kanan, melihat siapa saja jamaah yang masbuk. Nah, saat melihat si anu masbuk, si fulan tidak ikut salat ke masjid, kita mulai merasa kalau kita lebih saleh dari pada mereka yang masbuk ataupun tak hadir di masjid. Disini setan telah sukses dengan misinya,”

Ini karena memang amal saleh adalah penyebab sombong paling banyak, setelah ilmu. Orang yang merasa ibadahnya sempurna, baik, jika memandang orang lain dengan tatapan sombong, maka yang muncul adalah amarah. Amarah untuk menumpas orang lain tadi. Paham kan? Yang ditumpas bukan amal buruknya, melainkan pelakunyalah yang ingin mereka tumpas. “Ini agaknya mengapa ISIS tak ragu untuk mengebom siapa saja yang berbeda dengan mereka. Karena mereka merasa satu-satunya golongan yang benar dan pantas hidup. Nyawa orang lain tak berharga. Ini bentuk sombong paling tampak saat ini,” jamaah mengangguk takzim.

Saya pun melanjutkan penjelasan mengenai sebab-sebab sombong yang lain. Ada harta, nasab, bentuk rupa, usia, status sosial. Apapun yang membuat seseorang merasa lebih dari orang lain, maka harus diwanti-wanti.

Kesempatan ini juga saya gunakan untuk menyindir jamaah yang sempat hilang dan tak pernah kembali untuk mengikuti pengajian. “Juga salah satu bentuk sombong, adalah meninggalkan majlis ilmu karena sudah merasa tahu dan tak perlu diajari lagi mengenai agama. Apalagi diajari oleh anak kemarin sore seperti si Habib,” beberapa jamaah tertawa. 

“Tentu Bapak dan Ibu melihat, setelah sekian bulan kita mengaji, banyak ilmu baru yang Bapak-Ibu dapat. Hukum memandikan mayat dengan air bunga, tata cara salat gerhana, cara sujud sukur dan sujud sahwi, ilmu-ilmu seperti ini tidak akan didapatkan jika sedari awal hati kita sudah menganggap enteng kajian ibadah. Tetapi, saya pikir di masjid at-Taqwa ini tidak ada jamaah yang meninggalkan majlis karena merasa sombong. Pasti karena ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan,” jamaah kembali tertawa.

Bukan akhlak namanya jika hanya menjabarkan penyakit sikap, tanpa memberi obat. Imam al-Barkawi memberikan banyak obat untuk penyakit sombong ini. Namun semua itu merujuk kepada satu hal, menyadari bahwa kita semua punya aib serta kelemahan, serta melihat yang lemah dari sisi positif.

Saat melihat anjing kurap, kita mesti sadar bahwa anjing tersebut tak pernah berdosa, amalnya tak akan dihisab. Kita jadi lebih tawadu. Melihat anak kecil ingusan, kita juga tak pantas sombong, karena mereka masih kecil, hatinya masih suci, berbeda dengan kita yang entah berapa kali berdosa. Melihat orang yang berdosa, jika kita tidak mampu menegur, doakan agar ia mendapat hidayah. Jangan malah menjadi besar kepala, dan merasa dijamin masuk surga, karena boleh jadi si pendosa akan bertaubat sebelum meregang nyawa, sedangkan kita mati bergelimang dosa. Nauzubillah. Begitu seterusnya.

Berkali-kali saya jelaskan kerugian yang akan dialami oleh orang sombong. Saya kisahkan tentang seorang santri di pondok saya dahulu yang berasal dari keluarga miskin. Benar-benar tidak mampu. Saat pihak sekolah mengumumkan adanya beasiswa, dan santri yang merasa miskin diminta untuk mendaftarkan diri, si kawan ini enggan. Alasannya klise, merasa gengsi untuk mendaftar, malu untuk mengakui kalau ia tidak mampu. Ini juga salah satu bentuk sombong, merasa mampu padahal tidak. Ujung-ujungnya, ia tidak mendapat beasiswa. Ini efek buruk sombong yang nyata. Gara-gara sombong, ia tak jadi mendapat kemudahan. Gara-gara sombong, tak jadi mendapat ilmu. Gara-gara sombong, tak jadi mendapat menantu. Nah lho!

“Makanya, ilmu yang kita kaji saat ini pun, jangan menjadi alasan Bapak-Ibu untuk sombong. Saat kita melihat orang tak berilmu dengan tatapan sombong, yang muncul adalah keinginan untuk memusnahkan orangnya, bukan amalnya, seperti yang tadi kita bahas. Orang macam ini juga akan pelit dengan ilmunya, membiarkan orang yang tak tahu terbelenggu kebodohan. Berbeda dengan orang berilmu yang melihat orang lain dengan tatapan berakhlak. Saat menemukan orang yang tidak berilmu, ia akan didik, ajarkan. Melihat orang keliru, akan ia luruskan,”

Selanjutnya saya juga menjelaskan beberapa penyakit hati yang sering terjadi. Ada marah (bukan ekspresinya, tetapi benar-benar marahnya), iri, malas dan lain sebagainya. Saya juga tambahkan penyakit akhlak zahir, seperti dusta, gunjing, berkata yang buruk. Nah, dalam hal ini, saya tekankan bahwa akhlak untuk berkata yang baik harus sesuai dengan tanah yang dipijak. Di Arab biasa saja jika istri memanggil suami atau adik memanggil kakaknya dengan sekedar nama, tanpa embel-embel penghormatan seperti ‘bang’, ‘kak’. Berbeda dengan kita di Indonesia. Khususnya di Ranah Minang, aturan berkata baik ini kembali kepada aturan kato nan ampek, jangan lupa untuk mengajarkan generasi mudah tentang aturan bertutur ini.

Menghabiskan masa liburan dengan mengajar telah memberi saya pula banyak pelajaran. Ternyata ilmu yang saya punya, walaupun boleh dikatakan cukup untuk pribadi, tetapi masih sangat kurang jika akan dibagikan kepada masyarakat. Saya juga belajar untuk memahami metode berbicara di depan umum dari berbagai golongan, yang akan berbeda jika saya berbicara di hadapan mahasiswa. Mahasiswa akan tetap menikmati jika yang disuguhkan adalah ‘makanan pokok’, sedangkan masyarakat umum membutuhkan banyak penyedap rasa.

Pernah sekali saya memberi pengajian, tentang meneladani Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin hebat, berdasarkan perjuangan yang beliau lalui sebelum masa kenabian. Meskipun apa yang saya sampaikan begitu ilmiah, jamaah tak mampu mengikuti, tidak termakan. Berbeda dengan pembicara setelah saya yang hanya menyampaikan hal-hal ringan, simpel, yang sudah diketahui bersama, tetapi itu yang menjadi daya tarik, karena jamaah mampu mengikuti pembicaraan beliau, meskipun hampir 90%-nya hanyalah penyedap. Ini ilmu berharga yang saya dapat saat itu. Beri juga ‘MSG’. Tetapi kalau terlalu banyak, ilmu yang disampaikan nanti malah tidak bermanfaat karena masyarakat lupa. Hanya ingat lelucon, lupa intinya.

InsyaAllah, saat saya kembali pulang nanti saya akan kembali mewakafkan waktu saya untuk menyampaikan amanah ilmu yang saya punya. Tentu dengan metode yang lebih matang, tetap dengan tujuan untuk menjadi lebih baik bersama. Mohon doa agar saya mampu mengambil semua yang bisa dan hanya bisa saya ambil di sini sehingga nanti saat pulang saya siap untuk total mengabdi.

Cerita Pulang Kampung : Fikih


Foto by: Salman Arif @copyright 2016
Saat pulang ke kampung halaman beberapa waktu lalu, sebenarnya saya ingin benar-benar menikmati waktu bersama keluarga, menghabiskan waktu dengan menyimpan sebanyak-banyaknya potongan memori yang nanti akan jadi kenangan yang akan saya rindukan saat kembali ke tanah rantau.


Namun ternyata keadaan menuntut saya untuk menyingkirkan bayang-bayang kampung halaman yang terbayang dahulu sebelum pulang. Jamaah Masjid At-Taqwa, masjid yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah saya, meminta saya untuk bisa berbagi ilmu sebelum kembali ke Mesir. Awalnya saya agak sungkan, mengingat pendeknya waktu yang saya punya di kampung. Sekitar 2 bulan lebih sedikit saja. Saya takut jika nanti saya memulai kajian, ujungnya malah tidak selesai dan tergantung-gantung di tengah jalan.

Namun karena mendesaknya permintaan, perintah orang tua, saya mulai menimbang. Bahwa ilmu yang saya punya adalah amanah, dan amanah mesti disampaikan. Saya pun mulai merancang apa yang akan saya sampaikan kepada masyarakat. Tentu yang masyarakat butuh sekarang adalah masalah yang berkaitan dengan tata cara ibadah praktis yang bisa langsung mereka praktekkan, fikih. Dan sayangnya, tak satupun ustaz pengisi kajian masjid yang menyampaikan tema ini. Kalaupun ada, itu pun tidak digunakan untuk menjadi pedoman dalam beribadah, namun malah untuk kualitas menghukumi ibadah orang lain, seperti yang memang banyak terjadi saat ini. “Si Anu itu lihat, ibadahnya macam itu. Itu bayangan penghuni neraka,”

Alhamdulillah, sebelum pulang kemarin saya sempat berkonsultasi dengan Syaikh Salim al-Khathib mengenai proses mengajar bagi masyarakat umum serta rujukan yang sebaiknya dijadikan bahan ajar. Beliau mengatakan, ajarkan masyarakat kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyah yang saat itu kami pelajari di bawah bimbingan beliau. Sebuah kitab yang memang hanya mencakup permasalahan ibadah, namun begitu ringkas, bahasanya mudah, dan lengkap hingga hal-hal yang rinci jika disandingkan dengan syarahnya. Saya pun merasa percaya diri untuk mengajar, karena saya sudah mempelajarinya di bawah bimbingan guru yang memiliki kredibilitas dan keilmuan yang bersambung sampai kepada imam mazhab, Imam Syafi’i.

Agar kajian fikih ini berjalan maksimal, saya hanya fokuskan kajian seputar taharah (kesucian), salat dan puasa. Bukan berarti saya menganggap enteng perkara haji dan zakat, namun mengingat dua ibadah ini termasuk ibadah kompleks, dan tidak dilakukan sesering ibadah lainnya, saya menunda kajiannya. Lagi pula, dua ibadah ini sudah memiliki panitia pelaksana. Ada BAZ, ada Seksi Haji di Kemenag. Dan apakah pegawai dua lembaga ini memiliki pengetahuan yang cukup tentang zakat dan haji? Mestinya ada.

Sebenarnya kajian fikih ini akan saya mulai langsung dengan membaca kitab. Namun mengingat banyak masyarakat kini yang telah lupa dengan konsep taklid mazhab, merasa sudah mampu mengambil hukum langsung dari Quran-Sunah tanpa paham Bahasa Arab, kepada ulama sekelas imam pun sudah hilang rasa hormat (istilahnya : mereka makan nasi, saya juga makan nasi), maka saya pun memulai kajian dengan menjabarkan sejarah perkembangan keilmuan Islam mulai dari zaman Rasulullah Saw, menjelaskan kerumitan proses pengambilan hukum dari al-Quran, memaparkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum bisa mengambil hukum langsung dari dalil-dalil yang ada. Tak lupa saya juga memberikan beberapa contoh kekonyolan yang muncul jika orang yang tidak memiliki kredibilitas alim mencoba-coba untuk mengambil hukum sendiri, seperti yang terjadi pada surat al-Baqarah ayat 115 dan ayat 187.

Alhamdulillah, rata-rata jamaah kembali memahami bahwa memang berijtihad itu tidak bisa sembarangan. Zahir dalil pun bisa jadi pemahamannya berbeda, karena dalil tidak Cuma satu, kita harus meneliti juga dalil lain. Intinya, saya menyampaikan bahwa taklid kepada Imam Mujtahid adalah satu-satunya cara beribadah bagi orang yang belum mencapai derajat mujtahid. Kalau sudah mencapai derajat mujtahid, silakan ambil hukum langsung dari dalilnya. Bahkan mujtahid dilarang untuk bertaklid kepada mujtahid lain. Kalau belum mampu namun memaksa untuk mengolah dalil, maka saya umpamakan itu sebagai tindakan sok berani, alias gadang sarawa.

Kegiatan kajian dilakukan setiap hari setelah salat subuh, hanya sekitar setengah jam paling lama. Ditambah dengan dua kali setelah magrib hingga isya, Selasa dan Kamis. Kajian secara keseluruhan berjalan lancar, saya kembali menjelaskan ibadah dari dasar. Mulai dari cara membedakan air yang boleh digunakan untuk bersuci dan yang tidak. Macam-macam najis serta cara menyucikannya tergantung sifat. Tak lupa juga saya sampaikan perihal wudu, mandi dan tayamum mulai dari rukun, syarat, sunah-sunah serta hal-hal yang makruh dilakukan pada saat bersuci. Ah, ya! Yang tak kalah penting juga, saya sampaikan tata cara istinjak/cebok, dan bagaimana tatacara istijmar (cebok tanpa air) berikut syarat dan ketentuannya.

Agaknya masyarakat menganggap sepele kajian ini, menganggapnya sebagai pelajaran anak-anak karena saya benar-benar mulai dari dasar. Di awal memang saya lihat tatapan meremehkan dari beberapa. Namun seiring berjalannya kajian, begitu rinci kajian yang saya berikan dan juga pemahaman-pemahaman yang ternyata keliru berkembang, masyarakat pun mulai menaruh perhatian. Contohnya saja, masih ada yang memegang mushaf al-Quran tanpa bersuci, padahal untuk memegangnya harus suci dari hadas kecil. Harus berwudu. Pun juga tentang najis anjing yang selama ini dipahami mesti disucikan dengan adonan tanah, layaknya mencuci pantat kuali yang hitam karena arang. Padahal cukup dengan mencampurkan tanah ke dalam air, kemudian alirkan air tersebut di tempat yang terkena najis. Dan juga perkara haid, dan pemahaman 15 hari maksimalnya yang hampir tidak pernah dijelaskan sehingga tidak ada satupun yang tahu.

Belum lagi tentang tayamum, yang syaratnya begitu banyak, dan ternyata tidak semua salat yang dilakukan dengan tayamum itu dihitung menggugurkan kewajiban. Dalam artian, ada beberapa keadaan yang membuat seseorang mesti mengganti salat yang ia lakukan dengan bertayamum. Apakah pembaca tahu hal ini? Kalau belum, segera cari guru untuk belajar agar tahu! :D

Meskipun lancar, terkadang dalam beberapa masalah rinci, ada sanggahan dari jamaah yang mungkin memiliki kajian berbeda sebelumnya. Seperti masalah qunut, masalah bacaan Fatihah bagi makmum yang salatnya jahar, masalah jumlah rakaat tarawih, juga perihal tayamum menggunakan debu yang basah.

Jika mendapatkan sanggahan macam ini, maka saya hanya akan menjawab bahwa kalau memang sanggahan tersebut didasarkan kepada hasil penelitian ulama mujtahid, dan didapatkan melalui sumber yang valid, maka silakan digunakan dalam beribadah. Namun jika pendapat tersebut hanya didapat dari bacaan, yang bisa jadi disalahpahami karena tidak divalidkan oleh bimbingan guru, maka saya tegaskan, cukup ikuti yang bisa kita pastikan sumbernya, yang bisa kita pastikan pemahamannya. Jika untuk kesehatan saja kita mesti merujuk kepada dokter, apalagi perkara agama.
Seiring berjalannya kajian, terlihat memang beberapa jamaah menghilang. Yang saya pahami, menghilangnya jamaah ini karena ada ketidaksesuaian metode. Seperti yang tadi saya sampaikan, kajian yang saya beri didasarkan pada pada pemahaman bahwa mengikuti ulama adalah satu-satunya cara agar ibadah kita (yang bukan mujtahid) berjalan sesuai syariat. Sedangkan beberapa jamaah memahami bahwa kita tidak perlu merujuk kepada ulama. Cukup langsung kepada Quran dan hadis, dan kalaupun ada pendapat ulama, ambil saja yang mudahnya. Barangkali mereka lupa pengantar yang saya berikan sebelum memulai kajian fikih, dan tak sadar, bahwa validnya suatu pendapat harus sesuai anjuran ulama, bukan sesuai dengan timbangan mudah atau sulit menurut pribadi. Ini namanya dorongan hawa.

Tetapi tak sedikit pula jamaah yang datang dari daerah yang agak jauh, sehingga rela mengendarai motor untuk salat subuh di masjid at-Taqwa. Jujur, yang begini yang membuat saya bahagia. 
Ehem, sehari sebelum saya kembali ke Mesir, pengurus memberikan bantuan logistik, karena memang salah satu program masjid kami adalah memberi bantuan dana bagi penduduk jorong yang mendapat kesempatan untuk kuliah di luar negeri. Alhamdulillah.

Setelah merampungkan kajian taharah, salat dan puasa, saya memberikan gambaran umum tentang kajian dari awal sampai akhir, dan memberikan modul pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun karena keterbatasan waktu, modul hanya sebatas taharah.

Mengingat kajian sudah berakhir dan waktu yang saya punya masih tersisa beberapa hari, maka saya berinisiatif untuk mengisinya dengan kajian akhlak. Saya menjadikan kitab At-Thariqah al-Muhammadiyah wa as-Sirah al-Ahmadiyah karya Imam Muhammad al-Barkawi yang dulu saya pelajari di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek sebagai bahan. Lain fikih, lain akhlak. InsyaAllah akan saya kisahkan di tulisan selanjutnya. :)